Perlahan aku membuka mataku, kepalaku pusing, mataku melirik ke samping "Farhan" setetes air mataku jatuh
"Ya Allah, jika memang ini jalan terakhir untukku, biarkan orang orang bahagia dengan ketiadaaku" dengan susah payah aku menghapus air mataku, tanganku beralih untuk mengelus kepala Farhan yang tertidur pulas di sampingku.
Tiba tiba tangan Farhan bergerak dan menyentuh memegang tanganku. Ia terbangun dari tidurnya, dan menatapku.
Kulihat keadaannya sangat buruk.
Rambut acak acakan, wajahnya yang pucat "aku tau kalau kamu bisa Bangun" lirihnya, matanya juga mengeluarkan butiran bening yang sama denganku. "Aku bisa bangun untuk saat ini, namun tidak untuk setelah ini" aku menangis, suaraku bergetar. "Aku optimis kamu bisa sembuh" ujarnya mencoba menyemangatiku.
Aku tersenyum sambil memandang kosong pada langit langit rumah sakit "gak ada yang peduli lagi sama aku" lirihku pelan
Farhan menggeleng"aku peduli sama kamu!, kamu harus kuat ya, kamu harus sembuh"
Aku memalingkan wajahku saat Farhan menatapku sambil menangis. Aku benci pada wajahnya, wajah yang pernah mencintaiku dan juga menggoreskan banyak luka bagiku dan juga kami.
"Aku mau tidur" ucapan terakhirku padanya, sembari mengucapkan dua kalimat syahadat di dalam hatiku. Aku tidur, dan tidak akan bangun lagi sampai Allah menyuruhku untuk lahir kembali di alam yang berbeda.
Flashback on
"Dia, siapa namanya?" Tanya pemuda yang tengah duduk di depanku. Bisa terlihat dari ekor mataku dia melirikku.
Lia tersenyum kecil melihat tingkah kedua temannya yang sama sama gengsi untuk sekedar bertanya langsung.
"Dia Ella, teman satu jurusan gue"
merasa sudah tau namanya, pemuda itu memanggilku
"Ella"
aku menoleh saat Lia menyenggol lenganku
"Ella" ulangnya lagi.
"Boleh nggak minta nomor WhatsApp nya, biar kalau ada tugas tugas mata kuliah gue bisa nanya ke Lo"
aku ingin tertawa rasanya melihat wajahnya yang gugup.
Dasar buaya! Minta nomer WhatsApp dengan alasan tugas.
Namun entah dorongan apa aku memberikan nomer ku padanya, tiba tiba aku berprasangka bahwa dia orang yang baik, terlihat dari teman temannya dan juga tingkah lakunya.
💫
Bersama dengan Farhan, aku tahu arti dunia luar yang biasanya teman temanku ceritakan. Tak segan selepas pulang kuliah dia mengajak ku keluar keliling taman atau Alun alun kota. Membuatku sering menghabiskan waktu sore atau malam bersamanya.
Hubungan kami semakin intens saat Farhan menyatakan perasaannya kepadaku. Dan aku menerimanya dengan senang hati.
Dan yang lebih membuatku kagum, ia bukan menyatakan perasaannya kepadaku untuk mengajakku berpacaran, melainkan mengajakku menikah.
Setelah melakukan ta'aruf di semester empat kuliah ku. Farhan dan keluarga nya memutuskan untuk pergi kerumahku.
Dan dari sini, kejadian itu bermula.
Ibuku.
Aku tidak pernah bertanya tentang Ayah atau yang berhubungan dengan Ayah. Karna aku juga sedikit membencinya. Ibuku dan Ayahku cerai, saat aku masih kecil. Yang membuat aku semakin membencinya adalah, bersamaan aku lahir, anak dari selingkuhan Ayahku juga lahir. Dan aku tak pernah tahu ataupun mencari tahu tentang ayahku maupun saudaraku.
Dan disini, setelah keluarga Farhan pulang. Ibu langsung membanting semua barang barang yang ada di sampingnya. Ia menangis.
"Ella, bunda mohon, jangan teruskan hubungan ini"
Seakan mengarti ke mana arah pembicaraan ibu. Aku juga ikut menangis sesenggukan "kita udah sejauh ini bunda" lirihku.
"Tapi dia saudaramu Ella! Dia anak ayahmu dengan perempuan lain"
Seakan ribuan paku menusuk jantungku yang lemah, membuatku bergeming. Tak bisa mengatakan apa apa lagi. Kenyataan itu menghantam dinding otak ku dengan keras. Hingga rasa pusing menjalar pada tubuhku.
Aku menggeleng. Di sisi lain, aku kasihan melihat ibuku yang sudah bertahun tahun sejak mereka cerai tidak pernah bertemu lagi. Namun sekarang, di rumahku. Tempat Farhan ingin melamarku. Ayahku muncul Dengan label akan menjadi calon besan nya. Anak kesayangannya yang jatuh cinta pada seseorang dari hasil darah daging suaminya sendiri dengan perempuan lain.
Aku mencintai Farhan, namun aku juga mencintai ibuku.
Sungguh lucu, alur kehidupanku ini. Andai dari dulu aku tahu jika Ayah Farhan adalah Ayahku. Cukup sampai pertemuan di kantin menjadi pertemuan pertama dan terakhir kami. Tanpa ada perasaan di antara kami. Atau lebih tepatnya, andai dulu aku tak mengenalnya, mungkin aku tak akan pernah memiliki perasaan untuknya.
Berkali kali aku mencoba sadar. Bahwa Farhan adalah Kakakku, kakak kandungku. Namun hati ku menyangkal fakta tersebut. Hingga diam diam aku kembali menghubunginya . Tanpa tahu dampak yang terjadi setelahnya.
Dua Minggu setelah kejadian tersebut, saat ponselku berkali kali berbunyi dan aku sedang mandi. Jadi, ibuku yang menjawabnya.
Saat terdengar suara Farhan di balik telpon, spontan ia melempar ponselku. Membuat aku buru buru keluar dari kamar mandi. Pecahan ponsel yang berserakan di lantai membuat jantungku seakan berhenti berdetak.
Apalagi saat melihat ibuku menatapku tajam.
"Ya Allah maafkan hamba"
"Bun, maafin Ella" lirihku tak kuasa menahan tangis.
"Gak ada cara lain buat bunda tidak mempertemukan kalian, kecuali dari kamu sendiri" setelah mengatakan itu, ibuku keluar dan mengunciku dari dalam. Menghiraukan teriakan dan tangisan memilukan dariku.
Di semester empat, yang harusnya menyiapkan skripsi, aku menjadi di kurung dalam kamar. Tanpa ponsel dan juga hal hal yang berhubungan dengan Farhan.
Namun tiga bulan kemudian, dengan tangis haru ibu yang membuka kamarku. Beliau mengizinkan ku untuk ke kampus lagi. Berulang ulang ucapan terima kasih pada ibu karna sudah percaya lagi padaku.
Di lorong kampus yang lumayan sepi, kejadian itu lebih pedih dari pada yang aku alami di rumah selama ini. Tanganku mengepal kuat kuat. Hingga darah mengalir dari sana. Pandanganku mulai buram. Di sana, di ujung kampus, yang hanya aku melihatnya. Farhan sedang bercumbu dengan temanku Lia, teman yang mempertemukan aku dengannya.
Brakkk
Mereka spontan menoleh saat mendengar aku yang menendang sebuah balok kayu.
Farhan terkejut, apalagi Lia. Wajahnya pucat pasi.
"Se-sejak ka-kapan kamu ada di sana" tanya Farhan gugup.
Aku berdecih pelan "kalian sejak kapan?" Tanyaku mencoba terlihat tegar.
Jangan di tanya perasaan itu sudah hilang atau belum di dalam hatiku. Yang pasti perasaan cintaku untuk Farhan susah untuk hilang, meski berbulan bulan kami tidak bertemu.
"A-aku u-udah nikah sama Lia" perkataan Farhan seakan membuat oksigen di koridor seakan habis. Mataku memanas. Di sisi lain memang bukan salah Farhan jika meninggalkan ku untuk menikahi wanita lain, karna aku hanya saudaranya. Yang tidak bisa untuk dinikahi dan mempunyai keluarga bersamanya. Tak peduli berapa banyak anak anak yang memandangiku dengan tatapan kasihan. Yang entah mulai dari kapan, koridor yang awalnya hanya terisi mereka berdua dan juga diriku, menjadi banyak orang yang menonton kisah kami.
Aku berjalan mundur, mulutku seakan terkunci untuk sekedar membalas perkataan Farhan. Aku berlari menjauh tak peduli dengan teriakan Farhan yang menyuruhku berhenti. Tak peduli dengan Truk yang melaju cepat ke arahku, membuat aku spontan menghentikan lariku.
"ELLA AWASSS!!!"
BRAKKK!
Badanku yang ringan dengan gampangnya terpental jauh, dengan darah yang sudah memenuhi jalan.
"Sampai mati, perasaan ini tidak akan pernah pudar"