Langit bergemuruh pertanda hujan. Namun, tak ada orang yang berniat pergi. Beranjak meninggalkan pemakaman. Menunggu selesai dikuburkan. Sosok ratu rumah tangga tercinta. Sang raja masih setia sembari mendekap tuan putri dan pangeran.
Air mata mengalir deras bahkan sosok ayah yang berusaha tegar tak mampu menahan air matanya. Hatinya sangat sesak melihat tanah yang semakin menimbun tubuh dingin istrinya. Kenangan indah bersama istri menghantui pikiran.
“Sila... Bagaimana bisa aku hidup tanpamu? Anak-anak masih perlu kasih sayangmu, sedang kau tau bukan? Aku berjanji bahwa hanya ada kamu hingga aku mati. Aku… Aku mencintaimu… Aku mencintaimu,” batin sang ayah.
Sepuluh tahun berlalu. Angin berhembus. Daun-daun berguguran. Gerombolan awan gelap kala itu telah berhasil mencapai samudra. Meninggalkan manusia yang masih tersiksa dengan perasaannya.
“Il, giliran lo tuh.”
“Eh?”
Tuan putri tersentak keluar dari pikirannya tentang berbagai pelajaran sekolah yang membebani mental, bahkan mengurangi waktu bersantainya. Tak tau hidup memang sesusah ini atau sekolah yang mulai terasa menyebalkan.
“Kosong tuh, sana pake busurnya.”
“Eh, perasaan aku ngga denger suara peluit deh Za.”
“Yee salah lo itu, kebanyakan ngelamun sih.”
Ila beranjak berjalan menuju garis berdiri. Mengambil busur berdiri sejajar dengan bantalan; sasaran. Mode tatapan elangnya aktif ke arah sasaran. Telinganya siap sedia menunggu aba-aba. Suara peluit melengking. Pertanda saatnya mengaitkan panah ke busur. Menarik udara dalam-dalam ke dada. Merilekskan tubuh. Menenangkan pikiran dan juga menajamkan penilaian.
Ayo Il, santai aja.
Fokus.
Dengan penuh keyakinan tali busur tertarik ke belakang. Ila membidiknya. Mengarah sedikit ke bawah. Tap! Wush! Panah melesat.
“Hah?!”
“Tepat sasaran!”
“Kuning?! Keren banget!”
Sontak suasana menjadi riuh. Semua orang kagum dengan pencapaian Ila. Jarak antara sasaran dengan tempat berdiri itu 30 meter jauhnya bahkan para laki-laki masih meleset tapi bisa-bisanya Ila berbeda. Dia jauh di atas. Lima anak panah selanjutnya bahkan turut serta melesat tepat sasaran. Bukan hoki semata. Ila meletakkan busurnya ke tanah. Membalikkan badan. Sebuah pertanyaan menyambutnya.
“Il, kamu ikut lomba mau ngga?” celetuk guru pengawas yang melihat bakat memanah Ila.
“Ngga deh pak. Ila ngga minat. Saya ngga ada waktu buat latihan ekstra. Fokus sekolah dulu pak, hehe.”
“Hmm. Sayang loh kamu ada bakat soalnya,”
“Lain kali aja deh pak, kalo udah minat.”
Ila berjalan menjauhi gurunya. Mendekati Zafa.
“Widihh, stargirl kita balik. Nih ponsel lo,” ucap Zafa menyerahkan ponsel Ila.
Ila meraih ponselnya, “Apaan sih Za, biasa aja kali.”
“Besok lo mau ikut nggak? Gua sama temen-temen mau latihan mandiri. Soalnya minggu depan kan kita ada seleksi buat nentuin siapa yang maju lomba.”
“Ngga ah, ngapain? Orang aku aja ngga minat.”
“Yaa siapa tau lo mau ngajarin kita.”
“Lihat besok deh.”
Ila duduk di tanah. Menghidupkan ponsel lalu muncul notifikasi pesan. Ila tersenyum.
Udah pulang La?
Belum bang. Ila ikut ekstra panahan.
Buset, emang diijinin sama abah?
Pake nanya lagi, Ila ngga masukin nilainya ke raport. Gapapa lah ya, Ila juga pengen nyoba hal baru. Kata orang nih ya, masa muda itu dipuas-puasin nyari pengalaman biar ngga nyesel pas tua.
Hidih sok puitis. Emang kamu bilang apa ke abah? Kerja kelompok?
Iyalah, apalagi emang?
Kaga ada yang lain apa? Udah kelas 2 SMA kreatif dikit napa. Terserah deh, abang mau lanjut kerja dulu. Semangat adek cantikk.
Iya abang ganteeng. Jangan lupa transfer Ila kalau ada uang lebih, mayan buat jajan hehe.
Cekrek! Ila mengirim foto dirinya ke abangnya. Sebagai tanda bahwa Ila bahagia di sekolah jadi abangnya tak perlu khawatir di perantauan.
“Ciee Ila. Abang lo ya?”
“Iyalah, siapa lagi emang? Stay halal sis.”
Dih, jangan males belajar. Abah ngamuk nanti haha.
Ila tersenyum masam.
Amann.
Pritt. Pritt. Pritt.
Suara peluit menarik kesadaran Ila dari ponselnya ke dunia nyata. Dia menyadari teman-temannya sudah beranjak berdiri dan membentuk formasi lingkaran. Melakukan pendinginan lalu pulang. Sendirian mengendarai sepeda motor ke rumah. Dibukanya pintu rumah. Menampakkan rumah yang bersih tertata rapi. Namun, pemandangan indah itu malah membuat dahi Ila mengernyit.
“Udah selesai kerja kelompoknya?”
Suara seorang lelaki paruh baya mengagetkan Ila. Ia menyesap secangkir kopi di tangannya sedikit demi sedikit. Menutup buku yang sedang ia baca dan menatap Ila.
“Iya bah, baru selesai. Ila mandi dulu ya.”
Kaki Ila melangkah pergi. Langkahnya tenang menyembunyikan suasana hatinya yang bergemuruh.
“Ila.”
Ila berhenti berjalan.
“Kalo sampe abah liat kamu pulang jam segini terus selama satu bulan dan kamu ngga juara di lomba besok, abah akan sita ponselmu dan kamu ngga boleh pergi ke mana-mana.”
“Iya bah.”
Sahutan Ila terkesan mantap. Namun, suara tak nyaman dan terpaksa tetap saja bocor keluar. Sembari menahan tangis dia kembali berjalan ke arah kamarnya. Membersihkan tubuhnya yang sudah bertempur seharian. Mendinginkan kepala yang sudah terlalu panas.
Menghidupkan laptop, menghubungkan earphone lalu memutar musik tuk mengurai untaian tali di kepalanya. Untaian yang mengendur dan menegang tanpa bisa dikendalikan.
“Haah…”
Ila menarik nafas panjang. Entah mengapa setiap kali dia mempelajari materi pelajaran sekolah selalu saja ada rasa seperti dia salah masuk jurusan. Baginya seperti tak ada pelajaran yang mampu menarik cintanya. Alih-alih bahasa, kimia dan juga fisika sejarah masih menjadi pemenang di hatinya. Sialnya lomba besok -dua bulan lagi- tidak ada soal sejarah. Hal ini membuat semangat juang Ila turun sangat drastis. Matanya berputar sayu menatap foto berbingkai yang ada di depannya. Memegang foto itu dengan lembut.
Ma… Ila kangen…
Semenjak mama pergi, abah jadi keras…
Keras banget sama abang… sama Ila juga… Ila ngga kuat ma…
Kalau bukan karena abang selalu menuhin ekspektasi abah dulu, hidup Ila pasti lebih nggak nyaman. Di suruh belajar tiap waktu. Ngga ada waktu buat refresh pikiran. Harus menang di lomba yang bahkan Ila aja ngga suka. Hiks… Ila capek ma…
Kesedihan mengendalikan pikiran. Kepala Ila terjatuh ke atas meja dengan berbagai kertas di atasnya. Air mata mengalir. Membasahi lembaran-lembaran kertas yang penuh coretan tak karuan. Matanya sembab dan perlahan mulai menutup. Membuatnya pergi jauh dari dunia menuju pulau impian.
Hah!?
Ila terbangun terbelalak. Sang fajar sudah menyelinap melalui ventilasi menerangi kamar yang gelap. Dia tak memahami apa yang sedang terjadi.
Bukannya Ila tadi malam ketiduran di atas meja belajar? Kok bisa ada di tempat tidur sekarang? Siapa yang mindahin Ila? Siapa yang matiin lampu kamar?
Cekrek! Gagang pintu diputar. Pintu terbuka. Mata Ila bersinar begitu melihat sosok yang berdiri di balik pintu.
“Buruan siap-siap. Abang anterin pake mobil.”
“Loh abang?! Sejak kapan pulang?”
“Abang mau nikah,” ucap abangnya Ila sembari melihat jalanan.
“Ha?!” kaget Ila.
Mereka kini berada di dalam mobil. Berkendara menuju sekolahnya Ila.
“Abang tega sama Ila? Ninggalin Ila sendirian sama abah?”
“Justru itu, abang nggak tenang kalo ninggalin kamu gitu aja. Kamu harus belajar jadi lebih terbuka La. Adek harus sadar, adek emang ga bisa hidup cuman buat nyenengin orang lain doang.”
“Nggak mungkin bang. Tau sendiri abah kayak gimana. Pasti malah makin ngekang Ila.”
“Kalau gitu lupain aja. Kamu bisa terus begini selama sisa hidupmu terus abang bakal nikah dan ninggalin kamu. Tapi Ila nggak pengen itu kan? Jangan batasi jiwamu, dengerin kata hatimu. Yang perlu kamu lakuin hanya nyoba hal baru.”
Mata Ila melebar.
“Abah lagi dinas keluar kota jadi ngga ada yang ngehalangin kamu. Ini kesempatan kamu La buat ngepakin sayapmu terbang sebebas mungkin.”
“Gep, hahaha. Maaf-maaf Ila ngga bisa nahan ketawa. Lagian abang sih sok puitis jadi motivator segala. Haha,” ucap Ila lepas.
Matanya yang sayu menghilang. Memang masih agak lembab, tapi sorot matanya penuh dengan energi kehidupan sekarang.
Musik diputar, lirik disenandungkan. Energi positif menyelimuti Ila. Energinya meluap-luap. Bukan untuk membangkitkan semangat juang, dia bernyanyi untuk menyalurkan energinya yang terlampau banyak.
Guru-guru dan teman-temannya merasakan perubahan ini. Cukup terkejut orang yang selama ini pendiam kurang ekspresif bisa menjadi begitu ekspresif hari ini. Teman-teman kelasnya sampai bertanya-tanya bahkan mengira kalau hari ini hari ulang tahunnya. Guru yang mengampu kelasnya hari ini pun merasakan hal yang berbeda. Mereka merasa wajah Ila menjadi lebih berseri dari biasanya.
Di sisi lain, entah mengapa Ila merasa hari ini banyak berkah yang berdatangan. Pikirannya lebih jernih, daya ingat otaknya menguat bahkan kemampuan komunikasinya meningkat. Tak tau kenapa! Semua kalimat yang diucapkan oleh gurunya berhasil dipahami oleh Ila. Jika biasanya dia tersendat oleh sebuah soal lalu menyerah, kali ini berbeda. Dia tak pernah lagi menyerah. Gagal dan menemui jalan buntu. Kembali ke awal dan intropeksi baris per baris, angka per angka, huruf per huruf. Tak ada keraguan dalam ucapannya bahkan disaat harus mengakui kekurangannya sekalipun.
Sore hari sepulang sekolah. Ila ikut teman-temannya berlatih panahan tanpa ada pengawas. Tanpa Ila duga, kedatangannya ke tempat berlatih ternyata seperti bensin yang mendatangi api. Semakin mengobarkan api semangat teman-temannya. Mereka semua tanpa terkecuali meminta Ila untuk melihat kesalahan apa yang terjadi selama memanah. Dengan senang hati Ila mengiyakan permintaan temannya itu. Menikmati tugasnya sembari mengasah kemampuan sosialisasi dan mengingat teknik memanahnya sendiri. Pulang ke rumah. Dia dijemput abangnya. Mereka mampir ke restoran untuk makan malam. Menikmati obrolan keluarga yang nyaman dan bersenda gurau bersama.
Sesampai di rumah, Ila masih belajar seperti biasa. Kali ini bukan karena sebuah kewajiban, tapi murni keinginan untuk juara. Dia ingin menang di lomba besok.
Hidupnya terus berjalan secara menyenangkan. Memang masih ada banyak hal yang terasa sulit tapi itu tak masalah. Ila menyukai kehidupannya yang seperti ini. Alih-alih paksaan, orang-orang di sekitar membersamai dia merangkulnya dan berjalan bersama bukan malah mendorong maupun menariknya.
“Bang, lain kali Ila mau nyoba seblak deh kayaknya enak,” ucap Ila sembari keluar dari mobil.
“Boleh, tapi awas aja ya kalo sampe ngerjain abang,” ucap abang Ila mengambil tas lalu keluar dari mobil.
Mereka berdua berjalan bersama ke arah pintu rumah. Ila berada di depan. Dia memutar gagang dan membuka pintunya. Mereka berdua masuk ke ruang tamu lalu perlahan berjalan ke ruang keluarga. DAG! Jantung Ila tiba-tiba berdetak dengan sangat cepat. Tubuhnya berhenti berjalan. Di depan ada abahnya yang sedang memegang secarik kertas.
“Ila apa kamu bisa jelaskan apa ini?”
Abah Ila memegang kertas dan menunjukkannya kepada Ila. Terpampang jelas di sana formulir pendaftaran Indonesia memanah 2024. Kaki Ila gemetar. Mentalnya tak kuat untuk menatap lurus ke depan.
“Abah ulangi, apa kamu bisa jelasin kertas apa ini ha!?”
“Jawab abah Ila Putri Sila!”
Otot wajah Ila mengencang bak ekspresi orang yang terkejut dan ketakutan karena mendengar guntur di tengah hujan badai. Tak hanya memengaruhi tubuhnya tapi juga mentalnya. Abang Ila maju menghalangi tatapan abah.
“Minggir Rawa. Abah ngga bicara sama kamu.”
“Bah, aku yang akan bicara sama abah,” ucap Rawa menatap tajam.
“Rawa Putra Wana jangan ngehalangin abah. Kamu paham?”
“Sayangnya abah sama Rawa harus bicara empat mata sekarang,” ucap Rawa tak gentar sekalipun abahnya sedang menggunakan seragam angkatan militer khusus upacara.
Tatapan Rawa tak meninggalkan abahnya. Tubuh Rawa santai, kepalanya dingin untuk membuat keputusan sebijak mungkin. Dia menengok kebelakang.
“La, masuk kamar dulu gih. Biar abang aja oke?”
Ila mengangguk sembari mengeluarkan air mata. Menangis dalam kesepian. Dia berjalan menuju kamarnya. Abah tak menghentikannya, membiarkan dia masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
“Sebaiknya kamu punya argumen yang bagus Rawa Putra Wana,” ucap Wana duduk di kursi ruang keluarga.
Rawa mengeluarkan sebuah map amplop coklat. Menyerahkannya ke Wana.
“Rawa yakin abah bisa paham cuman dengan baca kumpulan kertas ini. Rawa tinggal dulu bah, mau bikin kopi.”
Wana menatap kepergian Rawa, “bikinin abah sekalian. Kopi item.”
Wana mulai membuka map amplop yang diberikan Rawa. Di bagian teratas ada hasil tes psikologi.
Tanggal di sini 23 November, dua hari setelah aku pergi. Dua hari setelah Rawa kembali ke rumah. Ila merasa stress, cemas dan depresi tingkat tinggi. Bahkan ada beberapa indikasi dia hampir menyerah dalam hidup.
Lembar kedua… ini… kumpulan nilai ulangan milik Ila? Semuanya adalah nilai yang diambil sebelum tanggal 23. Rata-rata nilainya hanya sekitar 75 sampai 78. Ila itu pintar itu sebabnya aku keras padanya, memberinya target. Karena itu nilai-nilai ini… seharusnya adalah cerminan langsung psikologis Ila.
Lembar ketiga… mataku terpaku. Foto Ila dengan teman-teman sekelasnya. Senyum tipis dan tatapan sayu itu. Dia berusaha tegar tapi jelas matanya mengandung ketegangan dan kesedihan.
Ini! Dia terlihat sangat gembira. Senyumnya sangat lebar dan tatapannya penuh energi keberanian, kehidupan dan sedikit kesombongan. Persis seperti abahnya. Tanggal 29 November! Tunggu, foto ini. Dia juga tersenyum lebar setelah panahan.
Wana meletakkan foto-foto itu. Mengulik dokumen di bawahnya. Nilai–nilai ujian Ila yang membaik selepas kepergiannya. Menandai bangkitnya semangat hidup Ila dan pulihnya kondisi mental emosional Ila. Wana menggeser dokumen yang ia pegang lalu membaca dokumen terakhir. Tes!
Tanggal 7 Desember. Ila Putri Sila dinyatakan sembuh dari segala gangguan psikologis. Tapi, kenapa dia ketakutan ketika melihat abahnya sendiri!?
Air mata Wana mengalir deras bagaikan air terjun. Membasahi kertas digenggamannya. Menyadari bahwa dirinya adalah sumber ketakutan terbesar putrinya sendiri. Dia gagal menjadi seorang ayah yang harusnya menjadi tempat teraman bagi putrinya. TEG! Rawa meletakkan kopi di atas meja di samping kursi. Tak mau memulai pembicaraan dengan abahnya. Dia memilih duduk di kursi satunya dan hendak menyeruput kopi susunya.
“Rawa…” ucap Wana lalu mengusap air mata dengan kaosnya.
Rawa berhenti bergerak dan memerhatikan dengan seksama.
“Tukeran kopi sama abah. Abah butuh yang manis-manis,” ucap Wana mendekatkan kopi itemnya dengan Rawa.
“Kirain apa bah…” ucap Rawa memberikan kopinya ke Wana.
Wana menyeruput kopinya. Menenangkan tubuh dan pikiran.
“Bah, Rawa ingin terimakasih karena udah mendidik Rawa dengan keras. Kalau enggak Rawa pasti nggak akan punya kemampuan programming sehebat sekarang. Makasih juga udah menyetujui permintaan Rawa dulu. Tapi bah, Rawa pengen abah tau kalo Ila ngga bisa dididik dengan cara yang sama kayak Rawa. Hati Ila itu lebih rapuh, dia belum tau arahnya sendiri dan dia itu nggak bisa ngungkapin isi hatinya dengan baik bah.”
“Abah udah paham. Awalnya abah ngira dengan mendidik kalian dengan keras kalian akan aman kalau abah tinggal. Dengan ketidakhadiran ibunda kalian abah merasa kalian harus bisa mandiri secepat mungkin. Tapi ternyata abah cuman bersembunyi di balik kata-kata itu untuk membenarkan tindakan abah.”
Wana menatap Rawa, “Rawa, kamu harus bantu abah berbaikan sama Ila.”
Rawa mengangguk.
Krek!
Rawa membuka pintu lebar-lebar. Menatap kondisi Ila yang tertidur di ranjang. Matanya sembap. Air mata membasahi kain di bawahnya. Rawa masuk ke dalam kamar. Membantu Ila menegakkan tubuhnya. Duduk di pinggiran ranjang kayu.
“Ila, abah mau ngomong. Kasih abah kesempatan oke. Dengerin abah,” ucap Rawa hangat.
Wana memasuki kamar. Wana menarik kursi di dekat meja belajar, duduk berhadapan dengan Ila. Memandangnya dengan penuh penyesalan di mata. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
“Ila… abah tahu selama ini abah keras sama kamu. Abah terlalu menuntut kamu untuk jadi sempurna. Abah pikir itu yang terbaik buat Ila. Tapi abah salah, nggak pernah dengerin Ila, nggak pernah lihat gimana Ila berjuang di tengah semua tekanan. Abah pikir, kalau abah keras, kamu akan lebih kuat. Tapi ternyata malah buat Ila jadi terpuruk,” ujar Wana dengan suara gemetar.
Ila menunduk, masih menahan air matanya. Ia merasa tak ada yang bisa ia katakan. Semua kata-kata yang ingin keluar terasa terhambat oleh rasa sakit yang begitu dalam.
“Abah...” suara Ila terdengar lirih. “Ila nggak pernah minta untuk dipaksa jadi sempurna. Ila cuma mau bebas, bisa jadi diri sendiri tanpa takut ada yang menghakimi. Ila capek bah. Harus Menuhin target abah,” lanjut Ila, suara mulai pecah di ujung kalimatnya.
Wana menatap putrinya dengan hati yang hancur. Ia merasa sesal yang begitu dalam, menyadari betapa selama ini ia telah gagal menjadi tempat yang aman bagi Ila.
“Ila, abah janji, abah akan berubah. Abah nggak akan lagi menuntut Ila lebih dari apa yang kamu bisa. Abah ingin Ila bahagia, tidak hanya karena seperti yang abah harapkan, tapi juga karena apa yang Ila inginkan. Abah janji, abah akan belajar untuk lebih sabar, lebih pengertian. Kita mulai lagi dari awal ya, abah ingin Ila merasa didengar,” kata Wana, menahan air mata yang sudah hampir tumpah.
Ila perlahan mengangkat wajahnya. Ia menatap ayahnya dengan tatapan yang penuh kebingungan dan keraguan. Sebuah perasaan campur aduk menyelimuti dirinya. Ada rasa rindu akan kasih sayang yang ia hilang, tapi juga ada luka yang begitu dalam.
“Abah, gimana Ila bisa percaya kalau abah nggak berubah? Selama ini Ila selalu ngerasa terjebak di dalam aturan-aturan yang nggak pernah Ila buat. Ila nggak tahu lagi siapa diri Ila sendiri. I… Ila nggak bisa begini terus bah,” ujar Ila sambil menangis.
Rawa, yang sejak tadi hanya mengamati, mendekat dan meletakkan tangan di bahu Ila.
“Ila nggak sendirian kok. Abang di sini, sama abah. Kita bisa mulai semuanya dari awal. Kita harus saling memberi kesempatan La,” kata Rawa dengan lembut.
Ila menangis lebih keras, melepaskan semua perasaan yang sudah lama terpendam. “Tapi Ila takut bang. Aku takut kalau semua ini cuma sementara, kalau nanti abah kembali keras seperti dulu…”
Wana menghela napas dan mendekat, menggenggam tangan Ila. “Abah nggak akan pernah lagi buat kamu merasa seperti itu La. Abah janji. Abah akan belajar lebih banyak tentang Ila. Abah nggak mau putri abah takut sama abah. Abah ingin Ila tahu, nggak ada yang lebih penting buat abah selain kebahagiaan Ila.”
Ila terdiam sejenak, matanya masih basah oleh air mata. Perlahan, ia melepaskan tangannya dari genggaman ayahnya dan mengusap air matanya. Ada rasa harapan yang muncul di hatinya, meskipun masih ada keraguan.
“Iya, bah... Ila harap ini bukan cuma janji kosong.”
“Abah nggak akan pernah janji kosong La. Abah janji kita akan bersama, dan abah akan berusaha jadi ayah yang kamu butuhkan. Jangan takut lagi putriku. Kita akan hadapi semuanya bersama-sama,” jawab Wana, mencoba meyakinkan putrinya.
Ila mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi banyak perasaan yang membingungkan. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit kelegaan, sedikit cahaya di ujung terowongan yang gelap. Wana berinisiatif, memeluk Ila dan Rawa. Terdiam dalam keheningan, hanyut dalam kehangatan.
Dua bulan kemudian.
Ila sedang mengemas kopernya. Dia mau pergi liburan sama abang dan abahnya ke Jakarta untuk liburan. Dari Yogyakarta ke Jakarta. Ini liburan keluarga pertama yang Ila rasakan setelah sepeninggal ibunya. Dia sangat senang dan berekspektasi tinggi.
Kira-kira kota kelahirannya Zafa kayak gimana ya?
Cekrek!
Ila membuka pintu, menghadap ke belakang. Tatapannya terpaku pada dua medali emas yang tergeletak di atas mejanya. Wajahnya tersenyum menatap bangga. Ia kemudian menutup pintu lalu keluar dari rumah untuk masuk ke dalam mobil dan berangkat bersama abangnya.
Sayang banget abah udah duluan ke sana gara-gara ada panggilan dinas.
Di perjalanan, Rawa dan Ila tak henti-henti bercengkrama, saling bertukar cerita.
“Bang, kenalin Ila ke calon kakak ipar dong. Udah penasaran banget nih.”
Rawa tersenyum, “Ya elah La, tiba-tiba banget sih. Ngga dari kemaren apa? Lagian ya, calon istri abang tu sibuk kerja sama kuliah.”
“Bagus dong, kalo ketemu calon adek ipar kan bisa tambah semangat bang.”
“Lain kali aja, atau Ila mau balik ke Jogja sekarang?”
“Hah?! Maksud abang?! Dia bukan orang Jakarta?”
“Haha, bukan La. Dia orang Jogja juga, kayak abang dia juga anak sulung. Dia orangnya pinter terus pemberani, pekerja keras, baik hati, manis, cantik apalagi. Abang yakin Ila bakalan suka kok ketemu sama dia.”
“Ah, serius?! Jadi ngga sabar ketemu nih. Ila pengen tau wanita kayak gimana yang bisa ngeluluhin abang, hahaha.”
“Haha, sabar aja dulu La. Abang juga belum boleh ketemu dia soalnya.”
“Eh, kok bisa bang?”
“Kata ayah mertua, abang harus punya penghasilan tetap sama bisa beli rumah dulu kalo mau nikah. Dia juga harus kuliah dulu biar dibolehin nikah sama ayah mertua.”
“Bentar! Abang udah bicara empat mata sama keluarganya??”
“Ya engga empat mata juga sih, orang abang sama abah ke sananya.”
“Loh, berarti abang udah lamaran dong?!”
“Ya anggap aja gitu haha. Hari itu kayak simulasi hidup dan mati tau ngga? Hati abang kayak dag-dig-dug, aku meriang.”
“Ish, apaan sih, alay. Tapi, alesan abang buat ngerantau ternyata itu ya? Biar bisa cepet-cepet beli rumah.”
“Hehe, ketauan deh. Lagian ya, abah udah ngancem abang. Ngingetin kalo abang udah komitmen dan semisal abang nyakitin hati dia dan cuman jadiin dia mainan, abah sendiri yang bakal nyeret abang buat ngehadap keluarganya. Gimana abang ngga ketar ketir, haha.”
Ila merenung menatap dalam Rawa.
“Abang dari dulu akrab banget ya sama abah, bisa bebas lepas.”
“Emangnya keliatan gitu kah? Sebenernya sama aja sih La. Abang juga pernah kayak Ila, nangis, depresi. Cuma abang dari dulu udah sadar, kalo abang gini terus gimana nasib adik abang tercinta? Masih ada orang yang pengen abang bahagiain.”
“Ibunda juga pernah bilang ke abang. Gapapa buat nangis sesekali. Semua manusia ada kalanya kok. Tapi, jadiin air mata yang mengalir itu kayak air hujan. Yaa kayak pohon La, meskipun air hujan itu membuatnya sakit tapi itu juga yang buat pohon bertumbuh kembang sampai akhirnya cukup besar dan kokoh untuk menahan terpaan dunia.”
“Mata hujan, kalo kata bunda sih gitu. Kata-kata ini yang jadi pegangan abang dari kecil,” ucap Rawa dengan penuh senyuman.
Di tengah percakapan ringan itu, mobil mereka terus melaju menuju Jakarta. Waktu terasa cepat berlalu, dan meskipun masih ada banyak hal yang belum selesai dalam diri Ila. Hari ini ia merasa sedikit lebih tenang. Keluarga kecilnya ini, meskipun penuh ketegangan dan kesalahpahaman, masih bisa memberikan ruang untuk saling mendukung dan berbagi.
Di saat yang bersamaan, pikirannya tak henti-hentinya kembali pada medali-medali emas yang ia peroleh, simbol dari perjuangan dan pencapaian yang kini ia mulai hargai. Mungkin memang jalan hidupnya masih panjang, tapi saat ini, untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih yakin untuk melangkah ke depan.
"Mungkin, perjalanan ini baru dimulai. Dengan abang dan abah, aku yakin bisa menemukan jalan yang tepat, bukan hanya untuk memenuhi harapan mereka, tapi juga untuk memenuhi hatiku sendiri," batin Ila.
Selesai.