Langit sore di SMA Wijaya Kusuma berubah menjadi kelabu saat hujan mulai turun. Adit berdiri di depan ruang OSIS, merapikan tumpukan dokumen acara prom yang harus ia bereskan hari itu. Sebagai ketua OSIS, dia dikenal tegas dan bertanggung jawab, tapi ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya akhir-akhir ini: permintaan teman-temannya yang cukup gila.
"Dit, lo tau kan, prom tahun ini bakal beda kalau lo bisa bikin gebrakan. Gue punya ide keren nih," ucap Bimo, sahabat Adit, beberapa minggu lalu.
"Ide apa?" tanya Adit, meski dalam hati ia sudah tahu ini pasti ide aneh.
"Lo pacarin Amara," jawab Bimo sambil terkekeh.
Adit tertegun. "Amara? Maksud lo, Amara si ‘Ratu Hati’ itu?"
Amara adalah ketua ekskul seni dan gadis paling populer di sekolah. Bukan hanya karena parasnya yang menawan, tapi juga karena bakatnya dalam melukis dan menyanyi. Semua orang memujanya, termasuk Bimo dan teman-teman lainnya.
"Ya. Lo pacarin dia sampai prom selesai. Gue jamin, acara kita bakal jadi perbincangan satu sekolah. Bayangin, ketua OSIS dan ketua seni barengan. Itu bakal jadi iklan gratis!"
Adit tertawa getir. "Bim, lo pikir hubungan itu barang dagangan?"
"Ya bukan gitu, bro. Tapi lo sendiri nggak tertarik sama Amara? Dia kan cantik, pintar, semua cowok pasti suka," goda Bimo.
Adit hanya menghela napas. Ia memang pernah memerhatikan Amara dari jauh, tapi menjalin hubungan palsu hanya untuk kepentingan acara? Itu tidak masuk akal baginya. Namun, semakin lama, desakan dari teman-teman OSIS membuatnya mulai mempertimbangkan ide itu.
***
Dua hari kemudian, Adit memberanikan diri menghampiri Amara di ruang seni. Gadis itu sedang sibuk menggambar di kanvas, tak menyadari kehadiran Adit.
"Amara," sapa Adit pelan.
Amara menoleh, tersenyum. "Oh, Adit. Ada apa?"
Adit merasa gugup, tapi ia berusaha terlihat santai. "Aku mau ngomong sesuatu. Bisa kita ngobrol sebentar?"
"Sure, apa yang bisa aku bantu?" Amara meletakkan kuasnya dan duduk di kursi dekat jendela.
Adit menghela napas panjang. "Ini mungkin terdengar aneh, tapi… aku punya permintaan. Aku ingin kita berpura-pura pacaran sampai acara prom selesai."
Amara terdiam, menatap Adit dengan ekspresi tak terbaca. "Pura-pura pacaran? Kenapa?"
"Untuk prom. Teman-teman OSIS pikir ini ide bagus untuk menarik perhatian. Aku tahu ini nggak masuk akal, tapi aku janji, ini cuma sementara. Setelah prom selesai, kita bisa kembali seperti biasa."
Amara memiringkan kepala, seperti sedang mencerna permintaan itu. "Jadi, kamu mau aku jadi semacam alat promosi?"
"Bukan begitu!" Adit cepat-cepat membantah. "Aku nggak bermaksud mengecewakan kamu. Aku hanya pikir ini… ya, strategi. Tapi kalau kamu nggak mau, aku ngerti."
Amara tersenyum tipis, lalu berdiri. "Baiklah, aku setuju. Tapi ada syaratnya."
"Apa saja. Aku akan ikutin, selagi itu bukan yang aneh-aneh ya."
Amara mengangguk kemudian menjelaskan, "Pertama, kamu harus jujur kalau ini hanya rekayasa. Jangan sampai orang lain berpikir kita serius. Kedua, kamu harus bantu aku menyiapkan pameran seni bulan depan."
Adit tersenyum lega. "Deal. Terima kasih, Amara."
***
Sejak saat itu, Adit dan Amara mulai terlihat lebih sering bersama. Mereka pergi makan siang bersama, berjalan pulang dari sekolah, bahkan sesekali saling mengirim pesan. Dalam waktu singkat, gosip tentang hubungan mereka menyebar dengan cepat.
"Adit, lo seriusan sama Amara? Wah, hebat juga lo bisa dapetin dia," ujar salah satu teman Adit di kantin.
Adit hanya tersenyum tipis, tak tahu harus menjawab apa.
Di sisi lain, Amara tampak menikmati situasi itu. Ia tetap bersikap biasa saja, seolah tak terganggu oleh perhatian banyak orang. Tapi di balik senyumannya, ada sesuatu yang mulai ia rasakan—perasaan yang tak seharusnya muncul.
Amara tahu bahwa hubungan mereka hanyalah pura-pura, tapi semakin sering ia bersama Adit, semakin sulit baginya untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak.
"Adit," ucap Amara suatu hari saat mereka sedang menghias aula untuk prom.
"Iya?"
"Kamu pernah kepikiran, gimana kalau hubungan ini nggak cuma rekayasa?" tanya Amara, sambil memandangi dekorasi di tangannya.
Adit terdiam sejenak. "Maksud kamu?"
"Ya… gimana kalau aku mulai merasa ini lebih dari sekadar pura-pura?"
Adit menatap Amara, mencoba membaca ekspresinya. "Amara, aku nggak mau kamu merasa terbebani. Kita bisa berhenti kalau kamu nggak nyaman."
"Tapi aku nggak mau berhenti," potong Amara cepat. "Aku cuma… bingung dengan perasaanku sendiri."
Adit menelan ludah, tak tahu harus berkata apa. Baginya, Amara adalah gadis yang luar biasa, tapi ia takut mengambil risiko merusak hubungan mereka yang sekarang.
"Aku nggak mau kasih jawaban sekarang," kata Adit akhirnya. "Tapi aku janji, aku akan jujur sama kamu setelah prom selesai."
***
Hari prom pun tiba. Aula sekolah berubah menjadi tempat yang megah, dengan lampu-lampu gantung dan dekorasi yang indah. Semua orang tampak menikmati malam itu, termasuk Adit dan Amara yang menjadi pusat perhatian.
Mereka menari bersama di lantai dansa, tertawa, dan sesekali saling melempar candaan. Tapi di balik keriuhan itu, hati Adit diliputi keraguan.
Ketika malam semakin larut, Adit membawa Amara ke balkon aula. Udara malam yang dingin membuat mereka terdiam sejenak.
"Amara," ucap Adit akhirnya. "Aku mau jawab pertanyaan kamu waktu itu."
Amara menoleh, matanya penuh harap.
"Aku juga bingung dengan perasaanku. Awalnya, aku pikir ini hanya permainan, tapi semakin lama aku merasa nyaman sama kamu. Aku nggak tahu apakah ini cinta atau cuma kagum, tapi aku mau mencoba."
Amara tersenyum, tapi air matanya mulai menggenang. "Aku juga, Dit. Aku nggak tahu ini apa, tapi aku senang kamu mau jujur."
Malam itu, di bawah bintang-bintang, Adit dan Amara memutuskan untuk memberi hubungan mereka kesempatan.