Malam itu, hujan deras mengguyur kota kecil tempat Raka tinggal. Suara gemericik air mengiringi angin yang berdesir di luar jendela rumahnya. Raka, seorang mahasiswa yang sedang menyiapkan tesis, duduk di meja kerjanya sambil membaca buku tebal tentang arsitektur kuno.
Rumah yang ia tinggali adalah peninggalan kakeknya, sebuah bangunan tua dengan lorong-lorong panjang dan kamar-kamar yang jarang digunakan. Namun, ada satu kamar di rumah itu yang selalu terkunci. Kamar itu terletak di ujung lorong lantai dua, dan sejak kecil Raka dilarang keras oleh kakeknya untuk mendekatinya.
Kini, setelah kakeknya meninggal, rasa penasaran yang lama terpendam mulai mengusik pikiran Raka. Ia sering mendengar suara-suara aneh dari balik pintu kamar itu, seperti bisikan halus atau bunyi langkah kaki. Malam ini, rasa ingin tahunya memuncak.
Raka mengambil kunci-kunci tua yang disimpan di ruang penyimpanan. Dengan langkah ragu, ia mendekati pintu terkunci itu. Di bawah redupnya cahaya lampu lorong, pintu kayu tua itu terlihat lebih menyeramkan dari biasanya. Ia memasukkan salah satu kunci ke lubang kunci dan memutarnya.
Klik.
Pintu itu terbuka perlahan, mengeluarkan suara derit yang membuat bulu kuduknya meremang. Di balik pintu, sebuah ruangan kecil yang dipenuhi debu dan bayang-bayang gelap menyambutnya. Di tengah ruangan itu, ada sebuah meja kayu dengan lampu minyak di atasnya. Di sekelilingnya, dinding ruangan dipenuhi dengan coretan-coretan yang tampak seperti simbol-simbol kuno.
Raka mendekati meja itu dan menyalakan lampu minyak. Cahaya temaram menerangi ruangan, dan pandangannya tertuju pada sebuah buku tua yang tergeletak di atas meja. Sampulnya terbuat dari kulit, dengan tulisan yang hampir pudar. Judulnya dalam bahasa yang tidak ia kenali.
Ia membuka halaman pertama buku itu, dan aroma kertas tua menyeruak. Tulisan-tulisan di dalamnya terlihat seperti mantra atau doa dalam bahasa yang sama misteriusnya. Namun, pada halaman ketiga, ia menemukan sebuah ilustrasi yang membuatnya terdiam. Itu adalah gambar seorang pria yang wajahnya mirip dirinya hanya saja, pria itu tampak lebih tua.
Saat ia hendak membalik halaman berikutnya, sebuah suara berbisik di telinganya. "Kau telah membangunkannya."
Raka terlonjak mundur, menoleh ke sekeliling ruangan, tapi tak ada siapa pun. Ia memandang ke buku itu lagi, dan dengan ngeri, ia melihat bahwa gambar pria yang tadi diam kini tersenyum padanya.
Gambar itu hidup.
Tiba-tiba, pintu ruangan tertutup dengan keras, dan lampu minyak padam. Ruangan menjadi gelap gulita, hanya diselimuti suara napasnya yang mulai berat. Raka mencoba meraih pintu, tapi ia merasakan sesuatu, tangan dingin yang mencengkeram bahunya.
"Kau seharusnya tidak membuka pintu ini," kata suara itu, lebih keras kali ini.
Raka menjerit, mencoba melarikan diri, tapi tangan itu mendorongnya mundur. Ia terjatuh ke lantai, dan ketika ia membuka matanya, ruangan itu tidak lagi sama. Ia kini berada di sebuah aula besar dengan pilar-pilar gelap menjulang tinggi. Di ujung aula, seorang pria berdiri dengan wajah yang sama persis seperti dirinya, tapi dengan mata yang kosong dan senyum menyeramkan.
"Selamat datang, Raka," kata pria itu. "Aku sudah menunggumu lama sekali."
Pria itu mengulurkan tangannya, dan Raka merasa gravitasi menariknya ke arah pria itu, seperti tidak ada tempat lain untuk lari.
Tamat.