Di sebuah kota yang selalu diliputi aroma hujan, aku dan dia bertemu pertama kali. Langit kelabu, rinai hujan jatuh perlahan, dan dunia seolah berbicara dalam bahasa bisu yang hanya kami berdua pahami.
Ia berdiri di bawah payung hitam, menatap jalan yang basah dengan mata yang dalam, seolah mencari sesuatu yang hilang.
Aku duduk di bangku kayu di bawah kanopi tua, menggenggam segelas teh hangat, mencoba menghangatkan jemari yang kedinginan. Namun, bukan tanganku yang beku melainkan hatiku yang sejak lama terkurung dalam kebisuan.
Saat ia menoleh dan mata kami bertemu, waktu seperti berhenti. Tidak ada kata-kata, hanya hujan yang menjadi penghubung.
"Tempat ini selalu indah saat hujan," katanya pelan, suaranya lebih lembut dari tetesan hujan yang menyentuh atap.
Aku mengangguk, mencoba mencari kata-kata. "Hujan seperti melukis dunia dengan kesedihannya. Tapi juga, dengan keindahannya."
Ia tersenyum. Senyum itu seperti pelangi yang muncul di tengah badai.
Hari-hari setelahnya, hujan selalu membawa kami kembali ke tempat yang sama. Aku tidak tahu namanya, ia juga tidak bertanya namaku. Kami berbicara tentang hujan, tentang langit, tentang kehidupan yang kadang terasa seperti puisi yang tak selesai.
"Kenapa kamu suka hujan?" tanyaku suatu hari, saat ia memandang jauh ke arah awan kelabu.
"Karena hujan tidak pernah berbohong," jawabnya.
"Ia datang apa adanya, membawa rindu, membawa luka, tapi juga membawa harapan. Seperti kehidupan."
Aku terdiam. Kata-katanya seperti tetes embun yang jatuh ke dasar jiwaku yang gersang.
Ia kemudian menoleh, menatapku dengan tatapan yang tajam tapi hangat. "Lalu, kenapa kamu selalu ada di sini saat hujan?"
Aku tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan yang sulit dijelaskan. "Mungkin, karena hujan adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa merasa tidak sendirian."
Ia tidak menjawab, hanya tersenyum kecil.
Pada suatu sore, hujan turun lebih deras dari biasanya. Aku tiba di tempat itu lebih awal, membawa payung kecil yang tak cukup untuk melindungiku dari lebatnya hujan. Tapi ia tidak ada di sana.
Aku menunggu, berharap ia akan datang seperti biasanya. Namun, waktu berlalu, dan bangku kayu di seberang tetap kosong.
Hari-hari berikutnya, hujan kembali mengguyur kota, tapi ia tetap tidak muncul. Ada sesuatu yang hilang dari hujan, sesuatu yang membuat tetesannya terasa hampa.
Aku mencoba mencari alasan, mencoba meyakinkan diriku bahwa mungkin ia hanya terlambat, mungkin ia akan kembali ketika hujan berikutnya datang. Tapi setiap kali aku datang ke sana, yang kutemukan hanyalah keheningan yang dingin.
Suatu hari, di tengah hujan yang perlahan berubah menjadi gerimis, aku menemukan sebuah buku kecil di bangku tempat ia biasa duduk. Sampulnya sudah basah, tapi tulisannya masih jelas terbaca.
“Untuk jiwa yang selalu menunggu di bawah hujan. Maafkan aku, jika aku tidak bisa lagi hadir di antara rinai yang menjadi saksi pertemuan kita. Aku pergi bukan karena ingin, tapi karena waktu memanggilku ke tempat yang lebih jauh. Jika suatu hari hujan datang lagi, biarkan ia menyampaikan salamku untukmu. Karena bagiku, hujan adalah cara Tuhan membisikkan rindu.”
Aku membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami makna di balik kata-katanya. Air mataku bercampur dengan gerimis yang jatuh di pipi.
Hari itu, aku menyadari bahwa hujan tak hanya membawa kenangan, tapi juga melepasnya. Aku berdiri di sana, di bawah langit yang kelabu, membiarkan hujan menyembunyikan air mataku, dan untuk pertama kalinya, aku merasa lega.
Hujan tidak lagi menjadi penghubung kami, tapi ia tetap menjadi saksi. Saksi dari sebuah cerita yang meski singkat, telah abadi dalam ingatan.
Dan setiap kali hujan datang, aku tahu, ia juga ada di sana di antara rinai yang jatuh, dalam keheningan yang tak pernah benar-benar sepi.