Di sebuah pagi yang berselimut kabut, aku berjalan di tepi sungai kecil, di mana suara gemericiknya mengiringi langkah sepi.
Dunia terasa sunyi, seakan semua orang sedang sibuk mengejar sesuatu yang tak pernah selesai. Di jalan setapak ini, aku hanya ditemani oleh bayanganku sendiri, yang membentang panjang di tanah basah setelah hujan semalam.
Hidup, pikirku, adalah perjalanan tanpa peta. Kadang, kita tersesat dalam labirin mimpi-mimpi, kadang juga kita menemukan keajaiban kecil di tikungan yang tak terduga.
Langkah kakiku terhenti di depan sebuah pohon besar. Kulitnya kasar, dengan bekas ukiran lama yang sudah pudar. "Kehidupan adalah cerita yang terus ditulis," tulis seseorang di sana.
Aku meraba kata-kata itu dengan jemariku, mencoba merasakan jejak tangan yang menulisnya, entah berapa tahun yang lalu.
“Cerita siapa yang tertinggal di sini?” gumamku pada diri sendiri.
Aku melanjutkan perjalanan, melewati rumah-rumah tua yang berdiri diam, saksi bisu dari pergulatan waktu. Jendela-jendela mereka mengingatkanku pada mata yang telah melihat terlalu banyak, cinta pertama, kehilangan, tawa anak-anak, dan tangis di malam yang sunyi.
Di sebuah sudut, aku melihat seorang lelaki tua duduk di bangku kayu, tangannya memegang sebuah tongkat yang hampir sama tua dengan dirinya. Rambutnya putih seperti awan, dan matanya memandang jauh ke sungai yang mengalir pelan.
Aku merasa tertarik untuk mendekatinya, seolah-olah ia adalah bagian dari cerita yang sedang kucari.
“Sedang mencari apa, Nak?” tanyanya tiba-tiba, sebelum aku sempat membuka mulut.
Aku tersenyum kecil. “Mungkin jawaban. Atau mungkin hanya kebetulan lewat.”
Ia tertawa pelan, suaranya serak namun hangat. “Jawaban? Hidup tidak pernah memberikan jawaban, hanya pertanyaan yang lebih banyak.”
Aku duduk di sebelahnya. “Lalu, bagaimana kita tahu bahwa kita ada di jalan yang benar?”
Ia menatapku, matanya yang keriput memancarkan kebijaksanaan yang telah teruji waktu. “Tidak ada jalan yang benar atau salah. Yang ada hanyalah jejak yang kita tinggalkan. Dan jejak itu akan berbicara untuk kita, lama setelah kita pergi.”
Aku terdiam. Kata-katanya menusuk ke dalam pikiranku seperti hujan yang meresap ke tanah kering.
“Dulu,” lanjutnya, “aku juga seperti kamu. Bertanya-tanya, mencari sesuatu yang bahkan aku tidak tahu apa itu. Tapi semakin aku berjalan, semakin aku sadar, bahwa yang penting bukanlah apa yang kita temukan di ujung perjalanan, melainkan apa yang kita lihat dan rasakan sepanjang jalan.”
Aku memandang ke sungai, mengikuti aliran airnya yang tenang. Di atas permukaannya, bayangan pohon-pohon dan langit kelabu menari bersama.
“Apa yang kamu temukan di perjalananmu?” tanyaku pelan.
Lelaki tua itu tersenyum, senyum yang penuh arti, seperti rahasia yang hanya ia dan waktu yang tahu.
“Aku menemukan bahwa hidup ini adalah hadiah. Kadang, ia dibungkus dengan kertas indah; kadang, ia tersembunyi di balik luka dan air mata. Tapi selalu, ada sesuatu yang berharga di dalamnya.”
Kami duduk dalam keheningan. Hanya suara sungai yang berbicara di antara kami, membawa pesan-pesan dari masa lalu dan masa depan.
Saat matahari mulai menyelinap di balik kabut, aku berdiri dan bersiap melanjutkan perjalanan. Lelaki tua itu mengangguk kecil, seolah-olah ia tahu bahwa kata-katanya telah sampai ke tempat yang tepat di hatiku.
“Jejakmu adalah ceritamu, Nak,” katanya sebelum aku pergi. “Pastikan itu menjadi cerita yang layak untuk dikenang.”
Aku melangkah pergi, meninggalkan jejak di jalan setapak yang masih basah. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa setiap langkahku, sekecil apa pun, adalah bagian dari cerita yang indah. Sebuah cerita yang, meski tak sempurna, adalah milikku sepenuhnya.
Di bawah langit yang perlahan membiru, aku berjalan dengan hati yang lebih ringan, membawa pesan bahwa hidup adalah tentang perjalanan dan tentang bagaimana kita meninggalkan jejak yang bermakna di sepanjang jalan.