Langit di kota itu sering mendung, seperti perasaan Darma sejak pertama kali bertemu Arini di sebuah taman kecil dekat kampus. Saat itu, ia melihatnya duduk sendiri, tertunduk menatap sebuah buku yang tidak pernah ia baca. Darma bukan tipe pria yang percaya pada cinta pada pandangan pertama, tetapi Arini mengubah segalanya. Ia membawa cahaya ke dalam hidup Darma yang sebelumnya dipenuhi jadwal kerja, rapat, dan malam-malam sepi yang panjang.
Namun, mendekati Arini bukanlah perkara mudah. Ia bukan perempuan yang mudah didekati, terlebih karena luka dari hubungan lamanya yang masih membayangi langkahnya. Darma tahu, tapi ia tetap bertahan. Ia menghabiskan waktu berminggu-minggu mencari tahu hal-hal kecil yang disukai Arini, seperti kopi tanpa gula, bunga matahari, dan lagu-lagu melankolis. Ia dengan sabar mendengarkan cerita-ceritanya yang sering kali tak berujung, menjadi tempatnya bersandar saat dunia terasa terlalu berat.
Darma ingat malam ketika ia menembus hujan untuk mengantarkan Arini ke rumah sakit karena ibunya tiba-tiba jatuh sakit. Motor tua Darma hampir mogok di tengah jalan, tetapi ia terus melaju tanpa peduli pada hujan yang membuat tubuhnya menggigil. Di ruang tunggu rumah sakit, ia menahan kantuk hingga pagi tiba, hanya untuk memastikan Arini tidak merasa sendiri. Saat itu, Arini memeluknya untuk pertama kalinya, dan Darma merasa perjuangannya berharga.
Namun, seiring berjalannya waktu, Darma menyadari ada sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia miliki dalam hubungan mereka. Walau Arini sering tersenyum untuknya, ada saat-saat di mana ia memandang jauh, ke arah yang tidak bisa Darma jangkau. Seperti ada jejak masa lalu yang terus menariknya kembali. Darma mencoba mengabaikan itu, meyakinkan dirinya bahwa waktu akan menyembuhkan semua. Tapi semakin ia berusaha, semakin ia merasa kehilangan.
Hingga hari itu tiba, ketika Darma melihat Arini berjalan bersama Adam di taman yang dulu menjadi tempat pertemuan mereka. Adam, dengan sikap santainya, berhasil membawa tawa Arini kembali tawa yang tidak pernah ia lihat selama bersama Arini. Darma hanya berdiri di kejauhan, tidak ingin mengganggu, tidak ingin memaksa. Ia tahu saat itu, perasaan yang ia rawat dengan hati-hati telah kalah dari sesuatu yang tak pernah bisa ia lawan yaitu "kenangan".
Hari itu, Darma tidak pernah menghubungi Arini lagi. Ia hanya meninggalkan sebuah pesan singkat yang ia tahu tak akan pernah cukup untuk mengungkapkan semuanya: “Jika bahagia adalah dia, aku rela melepaskanmu.” Di kafe kecil tempat mereka biasa bertemu, Darma duduk sendirian, mendengarkan hujan yang terus turun. Segala perjuangannya, semua pengorbanannya, telah menjadi jejak yang tak terlihat, jejak yang hanya bisa ia ingat, tapi tak pernah ia miliki.