Aku selalu percaya, ada saatnya kita akan kembali ke tempat yang benar-benar kita tuju, meskipun jarak, waktu, dan keadaan sempat menghalangi. Itu terjadi pada aku, saat aku kembali bertemu dengan Dia—seseorang yang dulu aku pikir hanya bagian dari masa lalu yang seharusnya aku lupakan.
Cerita ini dimulai di sebuah kedai kopi kecil di ujung jalan. Kedai yang selalu penuh dengan aroma kopi, suara deru mesin espresso, dan tawa ringan para pelanggan yang datang untuk sekadar melepas penat setelah hari yang panjang. Tempat ini sudah menjadi langgananku sejak dulu, saat aku masih mahasiswa. Tapi ada yang berbeda pagi itu.
Aku duduk di sudut yang sama, menikmati secangkir kopi hitam yang tak pernah berubah rasanya. Hingga aku mendengar suara itu. Suara yang aku kenal sangat baik—suara yang sudah bertahun-tahun tidak aku dengar, tapi tetap terdengar jelas dalam ingatanku. “Dian?”
Aku menoleh. Dia berdiri di pintu kedai, senyumannya yang dulu sempat menghiasi hari-hariku kini kembali ada di sana. Seperti tak ada jarak waktu, seperti tak ada ruang yang memisahkan kita.
"Rizky..." suaraku hampir berbisik, tapi hatiku berteriak. Berapa lama sejak terakhir kali aku mendengar nama itu? Berapa lama sejak terakhir kali aku menatap mata yang sama, yang selalu penuh dengan keraguan dan harapan?
Rizky, lelaki yang dulu aku cintai dengan sepenuh hati, namun akhirnya harus kami tinggalkan karena perbedaan yang tak bisa kami jembatani. Aku memilih pergi, berusaha melupakan, meskipun hatiku tak pernah benar-benar rela.
“Gimana kabarmu?” Rizky duduk di depanku, seolah-olah waktu tak pernah berjalan. Raut wajahnya tak banyak berubah. Hanya matanya yang terlihat lebih dalam, seperti menyimpan cerita yang lebih banyak daripada yang dulu.
Aku mengangkat bahu. “Baik-baik aja. Masih di sini, di kota yang sama, kerja yang sama. Kamu?”
“Kami yang sama. Cuma... sedikit lebih bingung sekarang,” katanya, lalu tersenyum kecut.
Aku mengerutkan kening, bingung dengan jawaban itu. "Kenapa?" tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya mungkin tak akan mudah aku terima.
"Karena waktu yang dulu kita buang... masih menghantui," jawabnya pelan.
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Waktu itu, aku memilih untuk pergi. Aku pikir, itu cara terbaik. Karena, kami berdua terlalu keras kepala. Kami tak pernah benar-benar berusaha menyatukan mimpi yang berbeda, dan mungkin, kami juga tak pernah benar-benar tahu apa yang kami inginkan.
“Kita pernah hampir sampai di ujung jalan itu, kan?” Rizky melanjutkan, “Tapi... aku merasa, sekarang, aku masih punya satu kesempatan lagi untuk mencoba.”
Kata-kata itu menghantamku dengan cara yang tak terduga. Ada kehangatan yang menyelinap ke dalam hati, sekaligus rasa takut yang tiba-tiba muncul. Bagaimana bisa seseorang yang pernah aku tinggalkan bisa membuatku merasa seperti ini lagi? Bagaimana bisa aku melupakan semua alasan kenapa kami berpisah, hanya karena dia duduk di depanku dengan tatapan penuh harapan?
“Kamu... masih merasa seperti itu?” Aku bertanya, meskipun aku tahu jawabannya. Aku tahu dia belum benar-benar melupakan aku. Dan entah kenapa, aku merasa hal yang sama. Aku mungkin sudah berusaha membangun hidup baru, tapi kenangan tentangnya tetap ada, terpendam di sudut-sudut hatiku yang paling dalam.
Rizky mengangguk pelan, dan matanya menatapku dengan begitu tulus. “Dian, aku cuma ingin bilang, aku menyesal. Tapi bukan cuma karena kita berpisah. Aku menyesal karena aku nggak pernah benar-benar memperjuangkan kita dulu.”
Ada keheningan yang panjang di antara kami. Aku menatap secangkir kopi yang sudah mulai dingin, merasa tak tahu harus berkata apa lagi. Tetapi kata-kata itu, yang akhirnya keluar dari bibirku, rasanya lebih berat daripada yang aku bayangkan.
“Aku juga... menyesal,” ujarku pelan.
Kami duduk diam, namun kali ini, keheningan itu tidak terasa begitu mengganggu. Kami berdua seolah sedang berbicara dalam bahasa yang sama, meskipun tanpa kata-kata. Sesuatu yang pernah hilang, kini mulai kembali terjalin, meskipun masih dalam bentuk yang samar.
Akhirnya, aku bisa melihat dengan jelas—bahwa kadang, cinta itu bukan soal waktu, bukan soal seberapa lama kita bisa bertahan tanpa satu sama lain. Tetapi tentang sejauh mana kita bisa membuka hati dan memberi kesempatan lagi pada apa yang pernah kita lupakan.
“Jadi... mau coba lagi?” tanya Rizky, sambil menatapku penuh harap.
Aku menghela napas, menatap matanya yang penuh arti. “Mungkin... kita bisa mulai dari awal lagi.”
Dan di sana, di kedai kopi yang sama, kami kembali menemukan sebuah kemungkinan. Mungkin, kali ini, kami akan lebih bijak. Mungkin kali ini, kami akan berjuang lebih keras. Tapi yang pasti, kami tidak ingin lagi kehilangan satu sama lain. Karena cinta itu, ternyata, tidak selalu harus dilupakan. Kadang, cinta hanya butuh waktu untuk kembali pulih.
Dan aku, dengan segala keraguan yang pernah ada, akhirnya memilih untuk memberi hati ini kesempatan kedua.
Selesai.