SMP adalah masa di mana aku belajar tentang rasa, tentang bagaimana hatiku mulai berdetak lebih kencang tiap kali melihat seseorang. Namanya Melda. Wajahnya selalu tenang, dengan senyum yang seolah menyimpan banyak cerita. Aku tahu, mungkin rasa yang tumbuh dalam diriku ini tak pernah tampak di permukaan, tapi dalam-dalam aku menyimpannya, membiarkannya tumbuh seperti bunga yang indah namun tak berani kulihat terlalu lama.
Selama tiga tahun, aku dekat dengan Melda, tapi tak pernah sekalipun mengutarakan perasaanku. Kami sering bertemu, bermain bareng teman-teman di rumahnya. Bahkan waktu bulan Ramadan, Melda sering ngajak kami seangkatan untuk buka puasa bersama di rumahnya. Hari-hari itu, suasana di rumah Melda terasa hangat—tertawa bareng teman-teman, bercanda tanpa beban.
Saat bukber di rumah Melda, suasananya akrab. Kami duduk di teras, di meja panjang yang penuh hidangan, makan sambil mengobrol. Aku duduk di sebelah Melda, dan di sela-sela ngobrol bareng teman-teman, mataku sesekali mengarah ke dia. Melihat dia tersenyum, bercanda sama yang lain, rasanya cukup untuk buat hatiku nyaman. Dalam hati, aku menyimpan rasa yang tak terungkap, tapi kebersamaan ini sudah cukup berharga.
Di sela-sela obrolan, aku ngobrol dengan ibunya Melda, yang biasa kami panggil "Mamel," singkatan dari Mamah Melda. Mamel sosok yang asik, selalu nyambung kalau ngobrol. "Gimana sekolahnya, nih, pada lancar, nggak?" tanyanya sambil tersenyum. Aku nyengir, jawab seadanya, sambil sekali-sekali melontarkan candaan yang bikin teman-teman ketawa.
Ngobrol sama Mamel itu bikin nyaman, apalagi dia sudah seperti ibu kedua buat kami. Di situ aku merasa, walaupun aku belum pernah mengungkapkan perasaanku ke Melda, kehadiranku sudah diakui di lingkungannya. Aku merasa dihargai, meski di satu sisi, aku masih menyimpan harapan yang tak tersampaikan.
Setelah kelulusan SMP, kami tetap berteman dekat. Kadang aku masih main ke rumahnya, dan dia tetap orang yang sama, penuh senyum dan canda. Hingga suatu hari, dia mengajakku jalan. "Jemput aku dong, gabut nih di rumah," katanya dengan nada santai. Buatku, ajakan itu berarti lebih. Mungkin kali ini aku bisa bilang.
Sehari sebelumnya, aku sudah siapkan semuanya—bunga dan coklat ada di jok motor, rencana di kepala sudah terbayang. Ini akan jadi hari di mana perasaan yang kusimpan selama ini akhirnya menemukan tempatnya. Tapi hidup kadang punya rencana lain.
Sampai di kafe, aku melihat Melda senyum lebar sambil terus-terusan melihat ke pintu. “Nunggu siapa sih, Mel?” tanyaku penasaran. Dia cuma tersenyum. “Sebentar lagi dia dateng, kok,” jawabnya. Dan benar, tak lama kemudian seorang cowok datang menghampiri meja kami, senyumnya penuh arti.
Aku cuma bisa melihat. Ternyata cowok ini bukan sekadar teman biasa. Dia datang dengan penuh percaya diri, langsung bicara dengan Melda. Mereka saling tatap, dan di situ aku tahu apa yang akan terjadi. "Aku suka sama kamu, Mel," kata cowok itu, suaranya penuh keyakinan.
Gila. Hatiku hancur seketika. Tapi aku berusaha terlihat biasa, pura-pura seneng. “Cie-cie, akhirnya ada yang nembak juga,” kataku, mencoba bersikap ringan, meski dalam hatiku rasanya seperti dihancurkan berkali-kali. Melda tersenyum malu, tapi jelas dia bahagia.
Aku duduk diam, berusaha meredam perasaan yang bergejolak. Sebentar lagi semuanya akan selesai, dan aku hanya bisa berperan sebagai teman baik yang ikut senang. Tak lama, cowok itu tiba-tiba menawarkan traktiran. "Ayo, ngopi bareng! Makasih ya udah nganter Melda," katanya. Tanpa bisa kuingkari, aku mengangguk dan mengikuti mereka ke meja lain.
Bukan cuma traktiran, cowok itu juga memberikan rokok dan uang bensin padaku. “Makasih ya, udah ngejemput Melda. Ini buat bensin, biar enak ke depannya,” katanya, sambil tersenyum. Aku terima semua itu, meskipun rasanya seperti menerima sesuatu yang lebih berat dari sekadar rokok dan uang bensin.
Perasaanku campur aduk. Aku tersenyum, mengangguk, tapi hatiku kosong. Dalam perjalanan pulang, aku tetap mengantarnya ke rumah seperti biasa, meski kali ini terasa berbeda. Sesampainya di rumah, aku melihat bunga dan coklat yang ada di jok motorku. Rencana yang sudah kurangkai kini tinggal rencana yang patah.
Tanpa berpikir panjang, aku mengambil bunga itu, mengambil coklatnya, dan menyalakan api. Bunga dan coklat itu terbakar dalam hitungan detik, asapnya mengepul, membawa pergi semua harapan yang selama ini kusimpan dalam-dalam. Aku menatapnya hingga habis, hingga rasa sakit itu membara dan hilang bersama api.
Malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk melepasnya, bukan karena aku tak peduli, tapi karena aku ingin lebih kuat, dan karena aku tahu, cinta yang tak terucapkan ini, biarlah jadi kenangan indah yang tak harus terpenuhi.
Setelah kejadian itu, aku gak langsung merasa trauma atau mati rasa. Justru, aku malah jadi lebih hati-hati sama perasaan sendiri. Sebelumnya aku terlalu terbuka sama perasaan yang gak pernah aku ungkapkan, tapi sejak saat itu, aku belajar untuk lebih menjaga perasaan. Aku gak mau gampang bawa perasaan lagi, takut nanti akhirnya jatuh lagi di tempat yang sama. Rasanya lebih baik kalau aku bisa lebih jaga jarak, gak gampang berharap. Memang, aku gak bisa berhenti peduli, tapi aku belajar untuk gak terlalu berharap lebih. Karena perasaan yang gak terbalas itu bisa menghancurkan, tapi juga bisa jadi pelajaran untuk lebih dewasa.
Jadi, meskipun rasa itu masih ada, aku nggak mau lagi menunjukkan kalau aku terlalu mengharap. Sebab kadang, lebih baik diam dan menjaga hati daripada akhirnya merasa kecewa.