Fajar pagi mulai menyapa kota, memancarkan cahaya lembut yang menembus celah-celah gedung tinggi. Di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan, Andrea duduk dengan secangkir kopi hitam di depan matanya. Ruangan itu sepi, hanya ada beberapa orang yang sibuk dengan laptop atau bercakap-cakap pelan.
Andrea memandangi secangkir kopi itu, entah kenapa pikirannya kembali pada kejadian kemarin. Sebuah kejadian yang membuatnya merasa bingung dan ragu.
Kemarin sore, saat ia berjalan pulang setelah bekerja, ia bertemu dengan Dilan—teman lamanya, yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ia temui. Dilan, dengan senyum manis yang selalu membuat hati Andrea berdebar, tiba-tiba muncul di hadapannya. Mereka berbicara tentang banyak hal, tetapi ada satu hal yang Dilan katakan yang membuat Andrea terdiam, "Aku masih ingat bagaimana kita dulu, Andrea. Aku... Aku masih merasa ada sesuatu di antara kita."
Andrea mengingat kata-kata itu dan menggigit bibirnya. Dia sudah lama berusaha menahan perasaan itu. Perasaan yang tumbuh saat mereka masih di sekolah menengah, tapi ia memilih untuk mengabaikannya karena takut akan kehilangan persahabatan mereka.
Dilan, meskipun menyimpan perasaan yang sama, tak pernah berani mengungkapkannya. Begitu juga dengan Andrea. Mereka berdua tetap berteman dekat, meski keduanya tahu ada ketegangan yang tidak pernah terucap.
Andrea menghela napas dan menyesap kopinya. Pikiran tentang Dilan terus mengganggunya. Ia tahu, Dilan bukan hanya sekadar teman lama. Tetapi, apakah ini waktunya untuk membuka kembali perasaan yang terkubur dalam hati?
Sebuah suara lembut membuyarkan lamunannya. "Andrea, kamu lagi mikirin apa?"
Andrea menoleh dan melihat Siska, sahabatnya yang selalu tahu apa yang sedang ia rasakan. Siska duduk di hadapannya dengan senyum lebar, menggenggam secangkir cappuccino di tangannya.
"Ah, Siska, kamu datang juga." Andrea tersenyum tipis, meski dalam hatinya masih terasa gelisah.
"Aku tahu kamu lagi galau. Ada apa?" Siska mengerutkan dahi, menatap Andrea dengan cermat.
Andrea terdiam sejenak, memikirkan apakah ia harus bercerita tentang Dilan atau tidak. Tetapi, Siska sudah seperti saudara baginya, tak ada yang lebih baik untuk dibicarakan selain ini. "Aku ketemu Dilan kemarin, Siska. Dan... dia bilang kalau dia masih ingat kita dulu."
Siska mendengus, sedikit terkejut. "Oh, jadi dia akhirnya ngomong juga ya? Lalu, kamu gimana?"
Andrea menggelengkan kepala, merasa bingung. "Aku nggak tahu. Rasanya sudah terlalu lama, Siska. Aku takut jika perasaan itu cuma ilusi, cuma kenangan lama yang ingin aku pertahankan."
Siska memiringkan kepala, mencoba memahami. "Tapi, kamu masih punya perasaan itu kan? Kalau iya, kenapa nggak mencoba, Andrea? Hidup nggak selamanya bisa menunggu waktu yang tepat. Kadang kita harus bertindak sebelum terlambat."
Andrea menatap Siska, ada kebenaran dalam kata-katanya. Ia tahu, hidup tidak bisa terus-menerus menunggu. Jika ia menunggu terlalu lama, kesempatan itu bisa saja hilang begitu saja.
"Tapi, apa yang harus aku lakukan, Siska?" Andrea bertanya dengan suara pelan. "Aku takut kalau aku salah, takut kalau kita malah jadi canggung."
Siska tersenyum bijak. "Kalau kamu nggak mencoba, kamu akan selalu penasaran. Coba dulu aja, siapa tahu ternyata dia juga menunggu kamu."
Andrea menarik napas dalam-dalam. Kata-kata Siska memang benar. Keberanian untuk mencoba adalah kunci untuk menemukan jawaban. Ia harus melakukan sesuatu.
Setelah beberapa detik berpikir, Andrea akhirnya memutuskan untuk menghubungi Dilan. Ia membuka pesan di ponselnya, mengetik dengan tangan gemetar.
"Dilan, kita bicara lagi, yuk. Ada yang ingin aku sampaikan."
Setelah menekan tombol kirim, Andrea merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia menunggu, berharap Dilan akan merespon. Tidak lama kemudian, pesan masuk.
"Kapan? Aku di kafe langganan kita, kalau kamu mau."
Andrea tersenyum tipis. Ia tahu, kafe itu adalah tempat yang selalu mereka kunjungi bersama saat masih sekolah dulu. Kafe itu menyimpan banyak kenangan manis.
Andrea meraih tasnya dan segera berjalan keluar. Ketika ia tiba di kafe, Dilan sudah duduk di meja pojok, dengan secangkir cappuccino di tangannya. Senyum lebar muncul di wajahnya saat melihat Andrea datang.
"Andrea, kamu datang juga akhirnya," katanya sambil melambaikan tangan. "Aku senang kamu mau datang."
Andrea duduk di hadapannya, merasakan ketegangan yang sama seperti dulu. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Dilan."
Dilan tersenyum dan menatapnya dengan lembut. "Kita bisa mulai dari yang sederhana, Andrea. Kita dulu pernah dekat, kan? Aku cuma ingin kamu tahu bahwa perasaan itu belum pernah hilang."
Andrea menatap Dilan, merasakan perasaan itu kembali muncul. Kenangan tentang mereka yang dulu, saat dunia seolah hanya milik mereka berdua. "Aku juga, Dilan," jawabnya pelan. "Aku juga merasa seperti itu."
Dilan menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam, lalu perlahan meraih tangannya. "Jadi, apa yang kamu mau sekarang?"
Andrea menatapnya, merasa kebingungan yang dulu kini berubah menjadi kepastian. "Aku ingin mencoba lagi, Dilan. Mungkin kita terlalu takut sebelumnya, tapi sekarang aku ingin menghadapinya. Aku ingin kita bersama, tanpa rasa takut."
Dilan tersenyum lebar, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Andrea merasa tenang. Ia merasa perasaan yang dulu terkubur kini hidup kembali. Ia siap untuk mencoba sesuatu yang baru bersama Dilan.
"Aku juga, Andrea," jawab Dilan dengan lembut. "Aku juga ingin kita bersama."
Di bawah sinar lampu kafe yang hangat, mereka duduk berdua, merasakan kedamaian yang selama ini hilang. Semua keraguan dan ketakutan yang pernah ada perlahan menghilang, dan mereka tahu, ini adalah awal baru bagi keduanya.