Langit kelabu menggantung rendah di atas kota. Aku berdiri di bawah halte bus yang penuh sesak, menatap rintik hujan yang terus turun tanpa jeda. Di antara keramaian, aku melihatnya—Kayla.
Dia berdiri di ujung halte, mengenakan jaket biru tua yang terlihat sedikit kebesaran. Rambutnya yang basah tertata acak, tapi justru itu yang membuatnya terlihat berbeda dari orang lain. Kayla, teman kecilku yang pernah membuatku percaya bahwa cinta pertama itu nyata.
Kami tidak sengaja bertemu lagi setelah bertahun-tahun terpisah. Dan meski aku mencoba terlihat biasa, hatiku tidak berhenti berdebar sejak saat pertama mata kami bertemu.
“Ray?” suaranya yang lembut membuatku tersadar dari lamunan.
Aku tersenyum kecil. “Kayla. Sudah lama, ya?”
Dia mengangguk sambil mendekat. Hujan deras yang menampar aspal membuat suasana semakin intim, seolah dunia di luar halte tidak lagi ada. “Kamu ke sini sering?” tanyanya.
“Kadang-kadang. Lagi nunggu bus?”
Dia menggeleng, lalu menunjukkan payung lipat kecil di tangannya. “Baru selesai kerja. Aku mau jalan kaki saja, tapi hujan terlalu deras.”
Aku menatapnya, berusaha menahan diri untuk tidak terlihat terlalu peduli. Tapi bagaimana mungkin? Ini Kayla, gadis yang pernah aku kagumi sejak kami berusia lima belas tahun. Gadis yang dulu sering tertawa bersama aku di bawah pohon mangga depan sekolah.
“Tunggu sampai hujannya reda,” ujarku akhirnya.
Dia tersenyum kecil. “Sepertinya itu pilihan terbaik.”
Kami diam untuk beberapa saat, hanya ditemani suara hujan. Aku ingin mengajaknya berbicara lebih banyak, ingin mengatakan semua yang tertahan selama ini. Tapi, seperti biasa, kata-kata itu hanya tersangkut di tenggorokanku.
“Apa kabar?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.
“Kabar baik. Kamu?”
“Baik juga.”
Ada sesuatu di matanya yang membuatku bertanya-tanya. Apakah dia masih mengingat semua yang dulu pernah terjadi? Semua kenangan kecil yang pernah kami bagi, semua tawa, dan mungkin... rasa yang pernah aku simpan?
“Kayla,” panggilku perlahan.
Dia menoleh, menatapku dengan mata penuh tanya.
“Aku... pernah menyesal,” ucapku pelan.
“Menyesal?”
Aku mengangguk. “Karena aku tidak pernah bilang kalau aku suka sama kamu dulu.”
Hujan semakin deras, tapi dunia di sekitarku seolah berhenti bergerak. Aku tidak peduli jika ini terdengar konyol atau terlambat. Aku hanya ingin dia tahu.
Dia terdiam lama, lalu tersenyum tipis. “Ray, aku tahu. Dari dulu, aku sudah tahu.”
Dadaku berdebar keras. “Dan?”
“Aku cuma menunggu kamu bilang.”
Kata-kata itu sederhana, tapi cukup untuk membuat dunia terasa lebih cerah meski hujan masih turun. Aku menggenggam payung di tanganku, lalu berdiri.
“Kalau begitu, bolehkah aku mengantarmu pulang kali ini?” tanyaku, berusaha menahan senyum.
Dia tertawa kecil dan mengangguk. Bersama-sama, kami melangkah keluar dari halte, di bawah rintik hujan yang entah kenapa terasa lebih hangat dari sebelumnya.