Dari balik jendela kaca kafe kecil di ujung jalan, Amara menatap hujan yang turun perlahan. Gemuruh lembut dan tetesan air yang menari di permukaan jalan yang basah seperti irama yang meresap ke dalam hatinya. Hujan selalu menjadi saksi bisu bagi Amara, saksi dari rindu yang tak pernah terucapkan, rindu yang seharusnya sudah terlepas sejak bertahun-tahun lalu.
Empat tahun yang lalu, Amara bertemu dengan Arga, lelaki yang selalu membawa kesan hangat meski langit mendung sekalipun. Mereka dipertemukan oleh pertemuan-pertemuan kecil di perpustakaan kampus, saling bertukar pandangan tanpa kata, hingga akhirnya mereka berbagi percakapan ringan tentang buku-buku favorit.
Waktu berlalu dan kebersamaan itu tumbuh menjadi sebuah kebiasaan. Arga dengan senyum lebarnya dan tawa yang khas, sering kali membuat hati Amara bergetar. Namun, di balik semua keceriaan itu, Amara selalu menyimpan perasaan yang tak pernah berani diungkapkan. Ketakutannya pada kehilangan membuatnya menahan diri. Ia takut, jika perasaannya diungkapkan dan ternyata tak berbalas, kehangatan itu akan lenyap, berganti dinginnya kebisuan.
Arga pun, dengan caranya sendiri, merasakan sesuatu yang sama. Tapi ia pun terjebak dalam dilema yang sama: pertemanan atau mengungkapkan rasa? Pada akhirnya, tanpa pernyataan, tanpa kesadaran yang jelas, mereka terjebak dalam lingkaran rindu yang tak pernah berakhir.
Sebuah kesempatan emas akhirnya datang saat Arga harus pindah ke kota lain untuk mengejar impian kariernya. Di momen perpisahan yang penuh hujan deras, Amara berdiri di bawah payung, hanya beberapa langkah dari Arga yang tersenyum samar di tengah kerumunan. Tangannya melambai untuk terakhir kali sebelum ia naik ke kereta, meninggalkan Amara yang berdiri kaku dengan hatinya yang penuh sesak.
“Hati-hati, ya, Amara,” kata Arga waktu itu, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya, nyaris tertelan oleh suara hujan. Amara hanya mengangguk, menahan isakan yang sudah mengancam di ujung tenggorokan.
Sejak saat itu, hujan bukan hanya air yang turun dari langit. Hujan adalah rindu. Hujan adalah segala perasaan yang tak pernah diucapkan.
Sore itu, di kafe kecil yang menjadi saksi banyak rindu yang dipendam, pintu berderit terbuka, dan suara langkah kaki yang berat mengisi ruangan. Amara menoleh, dan jantungnya berdegup lebih cepat. Di sana, berdiri sosok yang selama ini mengisi mimpinya, dengan senyum lebar yang sama, namun kali ini ada sorot berbeda di matanya.
“Arga...” Suara Amara nyaris tak terdengar, setengah berbisik.
“Hai, Amara,” sapa Arga, suaranya seperti membawa kehangatan meski udara di luar dingin oleh hujan.
Detik itu, mereka hanya saling menatap, mengisi kekosongan empat tahun dalam keheningan yang penuh arti. Arga menarik napas panjang dan berjalan mendekat, duduk di hadapan Amara.
“Sudah lama ya,” katanya, mencoba meredakan debar yang terasa sampai ke telapak tangannya.
Amara mengangguk, bibirnya membentuk senyum kecil yang penuh arti. "Terlalu lama," jawabnya.
Ada begitu banyak kata yang ingin diucapkan, tapi semua terasa terhenti di antara detak jantung dan bayang-bayang masa lalu. Hujan masih turun, membawa serta rindu yang mengalir di antara mereka. Kali ini, tak ada lagi alasan untuk menahan.
“Amara,” Arga memulai dengan suara yang sedikit bergetar, “ada sesuatu yang selama ini ingin kukatakan, tapi selalu kutahan.”
Amara menatap matanya, yang dulu hanya menjadi sumber ketidakpastian, kini penuh dengan keyakinan. “Aku juga, Arga.”
Seolah mengerti tanpa perlu menjelaskan, mereka tahu rindu itu tak akan lagi menjadi sekadar bayangan yang terpendam. Kali ini, kata-kata yang tak terucapkan akhirnya menemukan jalannya.
Hujan di luar terus turun, namun kini bukan lagi saksi bisu dari rindu yang terpendam, melainkan dari rasa yang akhirnya terungkap, dari dua hati yang menemukan jalannya kembali.