Angin senja berhembus lembut di antara petak-petak teh hijau zamrud, membawa aroma yang memabukkan seperti sebuah melodi alam yang menenangkan jiwa.
Di kejauhan, bukit-bukit menjulang dengan latar matahari yang perlahan tenggelam di balik cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye dan merah muda.
Li Xian, mengenakan jubah sutra hitam yang dihiasi bordiran naga perak, berjalan dengan langkah hati-hati di antara semak teh yang rimbun.
Dia memegang kipas lipat kayu cendana, namun pikirannya gelisah.
Putra seorang pejabat tinggi seperti dirinya seharusnya tak berada di sini, jauh dari keagungan aula istana Chang’an.
Tetapi rasa penasaran telah mengalahkan rasa takutnya.
"Seorang pelukis muda berbakat," demikian para pelayan dan pedagang berbisik, "bisa menangkap keindahan alam dengan sapuan kuas yang seperti anugerah Dewi Guanyin sendiri."
Li Xian berhenti di belakang semak teh, matanya memandang ke sebuah gazebo kecil di tengah kebun.
Di sana, seorang gadis muda duduk.
Rambut hitamnya yang panjang diikat longgar dengan pita merah tua, berayun lembut ditiup angin.
Dia mengenakan gaun katun biru pucat yang sederhana, cocok dengan latar kebun teh yang hijau.
Di hadapannya terbentang kanvas besar.
Setiap sapuan kuasnya penuh keyakinan, menggambarkan hamparan kebun teh dengan detail menakjubkan.
Warna-warna yang cerah dan hidup membuat lukisannya seolah memiliki jiwa.
Li Xian mengintip dari balik semak.
Dia belum pernah melihat seorang gadis seperti ini—bukan hanya karena kecantikannya, tetapi karena ekspresi tenangnya yang memancarkan rasa percaya diri yang jarang ditemui di istana.
Angin tiba-tiba bertiup lebih kuat, menggoyangkan dedaunan dan membawa aroma teh yang harum ke arah mereka.
Gadis itu berhenti melukis dan menoleh.
Matanya yang jernih dan hitam pekat menyapu sekeliling, akhirnya berhenti pada semak tempat Li Xian bersembunyi.
"Siapa di sana?" tanyanya lembut namun tegas, suaranya seperti alunan kecapi yang dimainkan di malam bulan purnama.
Li Xian, merasa tak ada gunanya bersembunyi, keluar dari balik semak.
Ia membungkukkan tubuhnya rendah, sesuai adat sopan santun yang melekat pada keluarganya.
"Maafkan keberanian saya, Nona." katanya tenang. "Saya tidak bermaksud mengganggu."
Gadis itu mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi bibirnya. "Ini tempat yang tenang, jarang ada orang datang ke sini. Mengapa Tuan ada di sini?"
Li Xian mengusap lehernya, sedikit gugup. "Saya mendengar tentang bakat melukis Nona yang luar biasa, dan saya tak bisa menahan diri untuk melihatnya."
Mata gadis itu berbinar, tetapi ia tetap menjaga kerendahan hati. "Tuan terlalu memuji. Saya hanya melukis dengan hati saya, menangkap apa yang saya lihat."
Li Xian mendekat perlahan, memperhatikan lukisan di kanvasnya.
Ia tercengang melihat bagaimana sapuan kuasnya menangkap setiap detail: bayangan dedaunan, kilau embun, dan sinar matahari yang menembus celah awan.
"Keterampilan melukis Nona seperti dewi dari surga," katanya, nada kekaguman jelas terdengar.
"Terima kasih atas pujian Tuan," balas gadis itu dengan pipi yang sedikit merona.
"Boleh saya tahu nama Nona?"
"Nama saya Lin Wei. Ayah saya seorang petani teh di sini."
Li Xian mengangguk, menyadari kesederhanaan gadis itu semakin menambah pesonanya. "Saya Li Xian, putra seorang pejabat."
Lin Wei menundukkan kepala dengan sopan. "Ternyata Tuan adalah seorang bangsawan, hamba telah bersikap kurang sopan."
"Tak perlu formalitas," balas Li Xian cepat, merasa risih diperlakukan sebagai seorang bangsawan di hadapan gadis yang begitu alami.
Matahari kini tenggelam sepenuhnya, hanya menyisakan cahaya lembut dari rembulan yang mulai menampakkan dirinya.
Lin Wei membereskan peralatan lukisnya, sementara Li Xian dengan canggung menawarinya untuk mengantar pulang.
"Malam semakin larut dan udara dingin, biarkan saya mengantar Nona pulang."
Lin Wei setuju, dan mereka berjalan berdampingan menuju rumah kecil di tepi kebun.
Hening, namun keheningan itu terasa hangat, seolah-olah mereka telah lama saling mengenal.
Saat mereka tiba, Lin Wei berhenti di depan pintu kayu sederhana rumahnya. "Terima kasih, Tuan, telah mengantar hamba."
Li Xian menatap gadis itu, menyadari bahwa pertemuan ini telah meninggalkan kesan mendalam di hatinya. "Nona Lin, bolehkah kita bertemu lagi?"
Lin Wei tersenyum lembut. "Jika Tuan berkenan, Lin Wei akan menunggu."
Di bawah sinar rembulan, senyum itu seperti bunga yang mekar, memancarkan keindahan yang sungguh memukau.