"Vi, kamu ada uang, nggak?" tanya Sri pada anak sulungnya.
"Ada, Bu," jawab Viyani. Perempuan yang tengah berdandan itu lekas mengambil dompet yang berada di dalam laci meja. "Ibu butuh berapa?" tanyanya lagi.
"Seratus ribu aja, Nak. Ibu mau beli beras. Bapakmu belum kasih uang sama ibu."
Viyani tersenyum pelik mendengar jawaban ibunya. Gadis itu tahu jika kalimat itu hanyalah basa-basi semata. Sudah cukup lama semenjak bapaknya terkena PHK, Viyani-lah yang membiayai segala kebutuhan rumah tangga karena sekarang bapaknya hanya bekerja serabutan saja.
Semenjak lulus sekolah menengah atas, Viyani sudah dituntut mandiri dan bekerja keras untuk menghidupi kebutuhannya sendiri. Sebagai anak sulung di keluarga itu, Viyani tidak ingin membebani kedua orang tuanya dan ingin membantu perekonomian keluarganya juga.
Akan tetapi, belum genap enam bulan Viyani bekerja sebagai seorang pelayan restoran, bapaknya harus kehilangan pekerjaan karena perusahaan tempatnya bekerja gulung tikar. Agung di PHK sepihak tanpa pesangon yang layak. Alhasil, perekonomian keluarga Viyani mendadak cekak. Oleh karena itu, Viyani harus extra kerja keras untuk menambal kekurangan penghasilan sang bapak.
Akan tetapi, setelah lima tahun lamanya, tak ada usaha yang signifikan dari Agung untuk mengubah kondisi keuangan keluarga mereka. Sang bapak seperti mengandalkan Viyani sebagai tulang punggung keluarga.
"Ini, Bu." Tanpa membantah, Viyani langsung menyerahkan uang kertas seratus ribuan pada ibunya. Namun, belum juga sang ibu keluar dari kamar, kedatangan kedua adiknya membuat kepala Viyani berdenyut pusing.
"Kak, minta uang, dong! Hari ini aku ada ujian praktek kelompok. Ada yang mesti dibeli," kata Ziyan—si bungsu.
"Aku juga butuh uang buat beli buku. Yang lain udah beli buku praktikum, cuma aku yang belum." Rayan tak kalah merajuk.
Viyani hanya bisa menghela napas kasar berbarengan dengan kedua bahunya yang turun dengan lemas. "Kalian butuh berapa?" tanya Viyani. Meskipun seperti terbebani, perempuan itu masih peduli.
"Aku butuh 100 ribu, Kak."
"Aku 50 ribu aja." Kedua adik Viyani menjawab hampir bersamaan.
Viyani menatap dompetnya yang masih terbuka. Di dalamnya terdapat tiga lembar uang kertas seratus ribuan dan satu lembar lima puluh ribu. Uang itu adalah sisa gajinya setelah dipakai membayar segala iuran bulanan keluarga mereka.
Viyani gamang. Uang segitu tentu saja masih kurang untuk keperluan sehari-hari. Jika sekarang uang itu dipakai untuk keperluan adik-adiknya, Viyani harus mencari kerja tambahan lagi. Namun, kepentingan sekolah sang adik juga sama pentingnya. Viyani bisa apa selain memberikan saja.
****
Senja terlihat menawan menyelimuti langit di ufuk barat. Namun, hal itu tak membuat Viyani jadi bersemangat. Sepulang bekerja tubuhnya hanya dipenuhi dengan rasa penat.
"Kamu baru pulang, Nak? Udah makan?"
"Belum," jawab Viyani sambil menggelengkan kepala ketika ibunya bertanya.
"Mau makan sekarang? Biar ibu siapkan."
"Nggak usah, Bu. Nanti aja makannya."
Viyani menolak tawaran ibunya. Tak seperti biasanya, hari ini Viyani pulang sedikit lebih terlambat. Wajahnya pun terlihat pucat. Kedua mata Sri sedikit menyipit ketika menangkap ada yang aneh dengan penampilan anaknya tersebut.
"Kamu sakit, Vi?" tanya sang ibu merasa khawatir. Tangannya terulur hendak menyentuh wajah anaknya tersebut. Namun, Viyani langsung menangkis lengan ibunya dengan lembut.
"Vi nggak apa-apa, Bu. Cuma capek aja," jawab Viyani, lalu melengos pergi menuju kamarnya.
Ada perasaan tak enak menyeruak dalam hati Sri. Namun, perempuan paruh baya itu tak berani menyudutkan sang putri.
Ketika langit sudah menghitam, Viyani tak kunjung ke luar kamar. Padahal sedari tadi ibunya sudah beberapa kali memanggilnya untuk makan. Sekali, dua kali, sampai tiga kali panggilan Sri tak kunjung mendapatkan jawaban. Kedua anak lelakinya pun ikut membantu memanggil sang kakak. Namun, hasilnya juga sama.
"Vi, kamu udah tidur, Nak? Sebaiknya kamu makan dulu! Nanti kamu sakit!" teriak Sri dari luar kamar Viyani, tetapi tak ada jawaban sama sekali.
Sri mulai panik. Lekas, ia menyuruh anak bungsunya untuk menyusul Agung yang tengah 'ngopi' di warung tetangga. Ziyan pun berlari. Setelah sampai di tempat bapaknya, Ziyan menceritakan tentang Viyani dengan raut panik. Hal itu membuat Agung ikutan panik. Akhirnya, keduanya pun langsung pulang ke rumah mereka dengan segera.
Ternyata, kedatangan Agung tak mengubah keadaan. Viyani masih tak mau membuka pintu kamarnya walaupun beberapa kali bapaknya berteriak dari luar. Alhasil, Agung pun mendobrak pintu kamar.
"Viyani!"
Agung dan Sri memekik bersamaan ketika pintunya berhasil terbuka. Mereka terkejut karena melihat anaknya tergeletak di lantai. Sepertinya gadis itu pingsan. Lekas, Viyani pun dibawa ke klinik terdekat.
Setelah mendapat pemeriksaan, Sri dan Agung mendapatkan berita yang membuat keduanya melongo tak percaya. Pasalnya, penyebab Viyani pingsan karena terlalu banyak mengonsumsi obat penenang. Sedikit saja mereka terlambat datang, mungkin saja nyawa Viyani tidak bisa terselamatkan.
Terpukul? Tentu saja. Orang tua mana yang tidak terpukul kala mendengar anaknya berusaha menghilang dari dunia. Cara yang digunakan Viyani sungguh membuat mereka terluka.
"Bu, tadi aku nemu ini di kamarnya Kak Vi." Di tengah keterkejutan Agung dan Sri, Rayan datang sambil menyodorkan sebuah buku yang sepertinya adalah buku diary milik Viyani.
Keduanya langsung menerima lalu membaca tulisan pada bagian lembaran kertas yang sudah dibuka oleh Rayan sebelumnya. Tangisan mereka pun pecah seketika. Remuk redam hati orang tua setelah membaca isinya yang melukiskan kemalangan anak mereka,
'17 November 2023
Dear diary ....
Sepertinya aku mau menyerah. Aku merasa sudah kalah karena kini tulangku benar-benar patah. Mas Damar sudah tak mau menungguku lagi. Katanya, sampai kapan aku akan terus menjadi tulang punggung di keluarga ini? Mas Damar membuat pilihan yang sulit. Aku harus memilih untuk menikah dengannya lalu berhenti bekerja atau tetap menjadi tulang punggung keluarga. Sungguh, aku tidak bisa mengabaikan keluargaku begitu saja. Mereka masih butuh aku sampai bapak mendapat kerja. Biarlah, kurelakan Mas Damar untuk mencari perempuan lain yang tak punya beban sepertiku.
Namun, kupikir aku kuat, ternyata tidak. Dadaku semakin sesak ketika semua masalah keuangan keluargaku semakin mendesak. Aku capek. Benar-benar capek. Sampai kapan beban ini harus kutanggung sendiri?
Sepertinya aku sudah tidak sanggup untuk menjadi tulang punggung keluarga ini. Harapanku untuk menjadi tulang rusuk dari lelaki yang kucintai pun sudah tidak ada lagi. Apa mungkin lebih baik aku pergi saja dari dunia ini?
....
"Maafkan bapak, Nak. Ini semua salah bapak yang terlalu mengandalkan kamu untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga kita," sesal Agung dalam isak tangisnya. Sri pun menangis sesegukan. Keduanya sangat menyesal karena tidak pernah memikirkan perasaan anaknya yang terus diandalkan sebagai tulang punggung keluarga. Namun, perbuatan Viyani tidak bisa dibenarkan juga. Seharusnya dia lebih terbuka kepada keluarganya.