Sayonara Memories
Author: Aimee
Patahhati;Keluarga
Seandainya kamu tidak pernah hadir dalam hidupku, apakah hidupku akan tetap baik-baik saja seperti sedia kala?
Seandainya kamu tidak pernah mengungkapkan perasaan itu, apakah aku mampu menghindari cinta yang penuh luka?
—Mikhayla Azuki
--------------------------------
Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang putih. Tangan kananku masih menggenggam erat ponsel yang menyala. Mataku sedikit basah setelah membaca beberapa pesan di WhatsApp.
"Jika Tuhan ingin kita berjodoh, kamu bisa apa?"
Aku tersenyum miris. Kembali aku melanjutkan membaca spam chat dari Adam, teman masa kecilku.
Aku teringat pada masa laluku. Setelah delapan tahun kami berpisah tanpa saling bertukar kabar. Tidak disangka-sangka kami justru bertemu lagi di dunia maya.
Tidak heran. Zaman sekarang siapa sih yang tidak punya media sosial? Mulai dari Facebook, Twitter, BBM, Instagram, Line, WhatsApp bahkan Snapchat, tentunya semua orang di dunia ini memiliki salah satu dari aplikasi tersebut, apalagi seorang remaja sepertiku yang tidak pernah mau ketinggalan berita di luar sana.
Berawal dari ketidaksengajaan saat aku berselancar melalui akun Facebook, aku menemukan foto Adam lewat halaman pertemanan. Awalnya aku tidak percaya, sekali pun aku tidak pernah menduga kalau kami akan kembali dipertemukan seperti ini, tetapi aku bersyukur karena sekarang aku bisa berkomunikasi lagi dengan Adam, seseorang yang selalu membuatku tersenyum sejak dulu.
Adam adalah sahabatku yang paling dekat di sekolah. Sebenarnya aku sangat pandai berteman, aku bisa berbaur dengan semua orang dengan mudah. Hanya saja keadaan memaksaku untuk mengisolasikan diri dari semua orang.
Aku tidak ingin mengalaminya lagi. Ditinggalkan oleh teman-teman karena tidak mau menuruti gaya hidup mereka. Difitnah karena tidak mau memberikan contekkan PR. Digunjing saat aku tidak berada dalam ruang lingkup atau grup yang sama dengan mereka, dan masih banyak lagi alasan lainnya. Sorry to say, tapi aku tidak membutuhkan lingkungan pertemanan yang tidak tulus seperti itu. Aku tidak ingin berteman. Mungkin ucapanku terdengar sombong, tetapi bahkan binatang juga berhak menentukan pilihan hidup mereka. Itu yang kuyakini.
Pandangan orang-orang di sekitarku, serta pengaruh lingkungan keluargaku juga sudah membuat kondisi mentalku sedikit terganggu, terkadang aku tidak bisa menahan kesedihanku hingga akhirnya aku memilih untuk menjadi seorang penyendiri.
Semua orang juga tahu, aku tidak begitu dekat dengan teman-temanku di kelas, bahkan dari empat puluh siswa hanya dua atau tiga orang saja yang menjadi teman akrabku sampai saat ini.
Salah satunya adalah Adam. Sampai sekarang aku tidak pernah tahu apa yang Adam lihat dariku. Sejak dulu Adam hanya berani berbicara denganku, Adam selalu bertanya tentang apa saja, dia selalu menyapaku lebih dulu dan hal itu membuatku merasa dianggap sebagai seorang teman.
Sering kali Adam datang ke mejaku untuk mengobrol sebentar, menanyakan tugas dan sesekali bercanda kecil. Di luar sekolah, Adam terkadang mengirimkanku SMS yang menggambarkan bentuk perhatiannya. Sehingga perlahan-lahan, apa yang Adam lakukan padaku itu sering kali membuat rutinitas kami menjadi ambigu.
Aku tidak mengerti dengan sikapnya. Semenjak dia rutin mengirimkan SMS-SMS itu, dia tidak lagi menyapaku di sekolah, dia tidak lagi datang ke tempat dudukku untuk meminjam pulpen atau penghapus seperti biasanya. Dia lebih suka meminjam pulpen dari teman sebangkunya. Ada apa denganku? Aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan Adam. Kenapa dia bersikap seolah-olah aku tidak ada di kelas ini?
Apakah aku mulai menyukai Adam? Sikapnya yang misterius, dagunya yang terbelah menawan, senyumnya yang manis, dan tutur katanya yang lembut membuat jantungku berdebar lebih kencang setiap kali kami berpapasan maupun saat berada di dalam kelas.
Aku yang sering dikenal cuek, lama-kelamaan jadi canggung ketika harus belajar satu kelompok dengannya. Tidak hanya sekali, untuk beberapa mata pelajaran kami selalu berada dalam satu kelompok yang sama.
Diam-diam, aku sering mencuri pandang ke arah Adam di dalam kelas, memperhatikannya dari kejauhan, mengkhawatirkannya ketika ia tidak masuk sekolah, dan melakukan segala hal aneh yang belum pernah kulakukan sebelumnya.
Dan, entah mengapa, aku merasa setiap kali Adam tidak ada, perasaanku semakin mengganjal. Aku selalu ingin bertemu dengan Adam, mendengar suaranya, melihat wajahnya dan tingkah laku Adam yang kekanak-kanakan di dalam kelas.
Ketika kelas mulai usai, dan orang yang kucari-cari tidak terlihat di mana pun. Aku pasti akan bertanya kepada Rian, teman sebangku Adam. Tentu saja aku selalu berhati-hati dalam melakukannya.
Selain tidak ingin orang lain salah paham dan membuat rumor tentangku, aku juga tidak ingin dia mengetahui perasaanku meskipun sebenarnya aku sangat mengkhawatirkan Adam.
Selama setahun aku berhasil menyembunyikan perasaan ini. Aku tidak pernah ingin mengungkapkan apa yang kurasakan saat itu. Mungkin akan lebih baik jika aku tetap menyimpan perasaan itu untuk diriku sendiri.
Ah, mengingat semua itu membuatku tersenyum sendiri. Kenangan masa lalu yang sering membuatku malu kembali terungkap. Aku menatap langit-langit kamar dari jendela rumah sakit. Entah mengapa aku begitu merindukannya—dan juga tanah kelahiranku—Aku ingin berada di sana. Mungkin sekarang dan di masa mendatang aku tidak akan bisa melihatnya lagi.
***
1 Januari 2017, Rumah keluarga Setyawan
"Mikha, kamu sudah tidur?"
Suara Ibu dari balik pintu terdengar serak. Malam itu aku masih terjaga dari tidurku. Entah mengapa aku tidak bisa memejamkan mataku setelah keributan yang terjadi di rumah ini.
Sore tadi setelah pulang kuliah, aku mendapati kedua orang tuaku sedang bertengkar hebat. Bahkan aku sempat mendengar Ibu meminta cerai kepada Ayah. Aku tidak bisa menahan air mataku saat mendengar pembicaraan mereka. Apalagi ketika aku tahu bahwa penyebab pertengkaran mereka adalah aku.
Selama ini aku selalu berusaha tegar dan tersenyum tipis menghadapi setiap masalah yang datang. Namun, kesedihan seakan tak pernah lelah menerpa hidupku. Air mataku yang telah lama kutahan kini tumpah dan mengalir deras di pipiku.
"Mikha? Apa kamu di dalam?"
"Ya, Bu. Sebentar?” Buru-buru aku mengusap butiran hangat di ujung mataku, lalu membuka pintu.
Ibu yang kini hanya mengenakan daster panjang berbahan katun berdiri di depanku dan memandangi wajahku yang menunduk dalam-dalam.
“Kamu menangis?”
“Apa? Tidak,” Aku tersenyum tipis. Meskipun aku berkata tidak, tetapi suara yang keluar disertai oleh ingus itu tidak bisa membohongi Ibu.
"Kamu habis menangis. Kenapa?”
"Aku tidak menangis, Bu.” Lagi-lagi aku membantah. Aku tidak ingin Ibu tahu apa yang kurasakan.
“Jangan membohongiku, Mikha.”
Aku menahan napas, dan melangkahkan kaki ke arah jendela, menghindari tatapan ibu. Kulihat hamparan langit biru berbintang yang mendominasi cahaya bulan di atas sana. Dengan sengaja aku sedikit berdiri menjauh dari Ibu, lalu cepat-cepat aku mengambil tisu dan menyeka air mataku.
“Kamu baik-baik saja, kan?”
“Ya.” Di depan Ibu aku berusaha untuk tetap tersenyum.
Ibu menghela napas panjang. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin Ibu bicarakan,"
"Bicara saja, Bu."
Ibu melangkah ke arahku. Kami berdua kini menatap hamparan langit biru yang sama melalui jendela kamarku.
"Kita sudah bersama selama dua puluh tahun, Mikha. Sekarang kamu sudah dewasa, sudah saatnya kamu tahu yang sebenarnya."
Yang sebenarnya? Aku sedikit terkejut mendengar Ibu berkata seperti itu. Apakah semua ini ada hubungannya dengan pembicaraan yang memicu pertengkaran mereka sore tadi? Hatiku menjadi tidak tenang, apalagi melihat ekspresi Ibu yang seolah-olah tidak menyukaiku.
Yah, sebenarnya tidak ada yang berubah dari raut wajah Ibu. Ibu memang selalu seperti itu. Sejak dulu Ibu tidak pernah benar-benar menyukaiku karena aku tidak sepintar kakak-kakakku. Ibu selalu menempatkanku di bangku paling belakang. Tidak ada tatapan hangat yang pernah Ibu tunjukkan padaku. Ibu selalu menganggapku bisa melakukan semuanya seorang diri, bahkan ketika aku harus menghadapi suatu masalah yang cukup besar— Ibu bersikap biasa-biasa saja seakan-akan ia tidak peduli— hanya Ayah saja yang selalu bersedia membantuku.
Saat ini aku hanya bisa menundukkan kepala, tidak sanggup bertanya apa-apa kepada Ibu. Aku takut Ibu akan mengatakan sesuatu yang tidak ingin kudengar, apalagi jika itu berhubungan dengan pembicaraan mereka tadi.
"Mikha, Ibu minta maaf." Ucapnya lirih.
Itu saja. Hanya itu yang dapat Ibu katakan setelah beberapa detik kami terdiam. Mataku terasa panas dan perih, aku ingin menangis lagi. Namun, aku tidak ingin menangis di hadapan Ibu.
"Kenapa Ibu harus meminta maaf?" tanyaku sedikit gugup.
"Maaf, Ibu tidak sanggup memberitahumu sekarang. Nanti kamu juga akan tahu.”
Usai berbicara begitu, Ibu segera meninggalkan kamarku. Aku berusaha melupakan pembicaraan singkat tadi. Mata ini terasa basah, butiran bening itu terasa hangat di sudut mataku. Aku berusaha memejamkan mata, berharap semua yang kudengar tidak menjadi kenyataan.
Keesokan harinya semuanya terlihat biasa-biasa saja. Orang tuaku sudah berbaikan, Kakak-kakakku juga terlihat berpakaian rapi dan sedang duduk menunggu sarapan di meja makan. Hari ini aku merasa tenang karena kami masih bisa berkumpul seperti biasa tanpa ada pembicaraan ataupun kejadian mengejutkan seperti kemarin sore.
"Hari ini kamu berangkat kerja, Dek?" Tanya Mas Dika heran melihatku mengenakan seragam Hitam-Putih.
"Iya, Mas. Aku diterima kerja di toko buku, paruh waktu, sih. Hari ini kebetulan aku kuliah sore.”
“Oh, begitu. Sudah lama kamu kerja di sana?”
“Baru seminggu,”
"Ya, baguslah. Kamu harus belajar mandiri supaya tidak terus-terusan membebani orang tua." sahut Mbak Nia sedikit ketus.
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Mbak Nia. Memang itulah alasanku memutuskan untuk bekerja seperti ini. Aku tidak mau terus-terusan menjadi beban bagi orang tuaku. Aku ingin membiayai kuliahku dengan jerih payahku sendiri. Sudah cukup aku menyusahkan mereka sejak dulu. Aku juga tahu diri.
"Oh ya, Dek, kamu minat kerja di perusahaan Mas Dika, nggak?”
“Kerja apa, Mas?”
“Paruh waktu,” Mas Dika merogoh tasnya, mengambil selembar kertas, dan memberikannya kepadaku.
"Penulis bayangan?" gumamku sedikit sambil membaca brosur dari Mas Dika.
"Iya. Perusahaan Mas sedang kekurangan orang. Penulis yang dipercaya untuk menyelesaikan naskah film di sebuah rumah produksi besar kabur membawa uang dalam jumlah yang banyak, jadi perusahaan Mas sedang merekrut para penulis baru. Nah, kalau kamu berminat, kamu bisa bekerja sebagai penulis lepas di tempat kerja Mas. Kebetulan kamu juga suka nulis, kan? Mungkin ini peluang buat kamu, Dek. Kerjanya juga tidak terlalu berat, kamu nggak harus mengerjakan naskah film atau menulis novel pribadi, kamu cukup membantu klien dari perusahaan Mas dan menuliskan kisah mereka saja, bagaimana menurut kamu? Mau?”
Aku terdiam sebentar.
Mas Dika menyendok sup ayam di meja ke piringku dan miliknya. Dia juga menuangkan air minum di gelasku. Sambil melirikku yang masih diam dan berpikir, ia kembali berujar, “Sebenarnya, Mas mau menawarkan pekerjaan ini sama kamu dari bulan lalu, tetapi waktu itu Mas lihat kamu masih sibuk sama tugas kuliah kamu."
"Hemm, apa tawaran ini masih berlaku, Mas?"
"Ya, iya, dong. Itu sebabnya Mas tanya kamu. Kalau kamu berminat, kamu bisa kirim CV kamu ke Mas.”
"Aku mau, deh, Mas. Lumayan juga buat nyari pengalaman di bidang ini. Tetapi, aku juga bingung, sih, nanti bagaimana dengan pekerjaanku di toko?"
"Kenapa harus bingung? Kamu kan tetap bisa bekerja di toko. Soal pekerjaan di kantor Mas, itu tergantung sama permintaan klien. Lagi pula selama kamu bekerja sebagai penulis bayangan di kantor Mas, nanti akan ada jadwal sendiri, dan selama nggak ada permintaan, kamu punya waktu luang. Begitu, sih, biasanya.”
"Oke, deh. Besok aku titip lamaranku melalui Mas, deh.”
"Kenapa harus titip lamaran? Tidak perlu pakai lamaran fisik, Dek. Kamu tinggal kirim CV kamu lewat Whatsapp ke Mas saja. Nanti Mas kasih kamu Link website nya."
"Oh begitu. Oke, kalau begitu setelah sarapan aku kirim ke Mas, ya."
“Sip.” Mas Dika mengedipkan matanya. Aku tersenyum bahagia. Syukurlah, Tuhan mempermudah semuanya. Kami sekeluarga melanjutkan sarapan dan mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Aku kembali lagi ke toko DD, toko buku terbesar dan terlengkap di kotaku. Bekerja sebagai seorang SPG di toko buku selain tidak terlalu lelah, aku juga bisa membaca sepuasnya di sini. Dan itu membuatku betah bekerja seperti ini.
Mas Dika mengantarku ke tempat kerja. Sesampainya di depan toko, Mas Dika berpesan agar aku tidak terlalu memikirkan masalah yang akhir-akhir ini terjadi di rumah. Rupanya Mas Dika tahu keresahan di hatiku.
Setelah mengusap pucuk rambutku dengan penuh kasih, Mas Dika segera bergegas pergi. Aku menatap Mas Dika lekat-lekat hingga bayangannya menghilang di tikungan jalan menuju sebuah gang di belokan jalan sana. Aku merasa hanya Mas Dika yang peduli padaku di rumah itu.
Tiba-tiba ponsel di tanganku bergetar. Aku terbelalak tak percaya saat melihat nama pengirimnya. Perlahan kubuka pesan itu.
Selamat pagi, selamat dan semangat kerja hari ini..
Adam? Dia selalu mengirimiku pesan di waktu yang tepat. Ah, ini bukan hanya membakar semangatku, rasanya seperti memenangkan undian berhadiah dan berada di musim semi yang dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran indah di hatiku.
Sebelum jam kerja dimulai. Aku memberanikan diri untuk membalas pesannya. Kami sudah lama bertukar kabar dan membicarakan banyak hal di masa lalu. Tiba-tiba, dia mengakhiri pesannya dengan mengungkapkan perasaannya.
Aku mencintaimu. Aku ingin membuatmu bahagia, Mikha.
Aku serius.
Aku terkejut. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku senang tetapi aku sedih, aku ingin berteriak tetapi aku tidak bisa bersuara. Aku terharu tetapi aku tidak bisa menangis sama sekali. Akhirnya, aku berniat untuk membalas pesannya nanti. Lagi pula, jam kerjaku akan segera dimulai.
"Mikha, tolong bantu aku memindahkan buku-buku ini, ya!" Seru Kak Alia, pemilik toko buku DD.
"Oke, Kak."
Aku bergegas membereskan buku-buku yang baru saja datang dan merapikannya ke rak-rak buku sesuai dengan judul dan genre-nya. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan itu, aku hanya tinggal menunggu pelanggan datang. Selama tidak ada pengunjung, aku bebas melakukan apa saja termasuk bermain ponsel.
Sebuah pesan masuk kembali menggetarkan benda berbentuk kotak di saku celanaku. Aku mengeceknya lagi, ternyata itu dari Mas Dika. Mas Dika mengirimkan sebuah tautan situs web tentang pekerjaanku. Ya, akhirnya aku bisa mulai mengerjakan situs web itu.
Karena toko sedang sepi, waktu luang ini kuhabiskan dengan menulis di situs web yang direkomendasikan oleh Mas Dika. Aku terhanyut oleh kata-kata yang tersusun dalam sebuah tulisan, aktivitasku membuatku lupa akan sesuatu yang telah menunggu sejak awal.
Enam jam berlalu dengan singkat. Jam kerjaku di toko telah usai, sebelum berangkat ke kampus aku memutuskan untuk mengunjungi sebuah taman. Aku ingin melanjutkan kegiatan menulisku di sana.
Tepat pukul 15.00, aku telah menyelesaikan sebuah artikel dan mengunggahnya di situs web. Kembali ke rutinitasku sebagai mahasiswa, aku berjalan menuju jalan-jalan kota, memperhatikan setiap kendaraan yang berlalu lalang, berharap ada bus yang lewat dalam perjalanan menuju kampus. Namun sayang, tidak ada satu pun kendaraan yang lewat di sana.
Aku meraih ponselku, membuka aplikasi ojek online, dan mengirim permintaan untuk dijemput di taman ini. Kelebihan ojek online adalah, saat terjadi keadaan darurat dan tidak ada kendaraan, bisa sedikit membantu perjalanan, tinggal menunggu beberapa menit dan tiba tepat waktu di tempat tujuan.
“Mbak Mikha?” Pengemudi motor itu berhenti tepat di bangku yang aku duduki.
"Iya, aku.”
“Maaf lama ya, Mbak. Tadi isi bensin dulu. Oh ya, Ini helmnya dipakai.”
“Iya, nggak apa-apa, Mas. Terima kasih.”
“Ke kampus W, kan?"
Aku mengangguk mengiyakan.
Tanpa bicara banyak pengemudi motor matic itu segera melaju kencang menuju kampus yang kutunjuk.
“Kita sampai.”
"Terima kasih, Mas."
"Sama-sama. Jangan lupa beri aku bintang lima, ya, Mbak." Katanya sambil memberiku kembalian.
Aku tersenyum. Tentu saja aku sudah memberikan bintang lima untuk pelayanannya karena pengemudinya juga patuh pada peraturan lalu lintas dan mengantarku dengan selamat ke tempat tujuan tanpa ngebut di jalan. Tak jarang aku memberi sedikit bintang kepada para pengemudi yang menurutku dapat membahayakan penumpangnya karena lalai mematuhi peraturan lalu lintas dan kebut-kebutan di jalan.
***
"Apa yang telah kulakukan?"
Aku mengumpat diriku sendiri. Entah mengapa, sejak minggu lalu pikiranku selalu tertuju pada Adam. Tiba-tiba aku teringat pesan terakhirnya, lalu karena penasaran aku memberanikan diri untuk mengecek lini masa di salah satu akunnya. Dia menulis sesuatu yang membuatku merasa bersalah. Sebuah kalimat kecil yang jelas-jelas menyayat hatiku, aku tidak mungkin menanyakannya. Aku tidak berhak untuk marah, aku sadar siapa aku. Aku hanya seorang teman dari masa lalunya. Meskipun dia sempat mengatakan bahwa dia menyukaiku, bukan berarti aku berhak untuk marah padanya. Lagi pula, aku belum sempat menjawab apa pun tentang itu.
"Kenapa kamu harus menyimpulkan semuanya seperti itu, Dam?"
Aku mencoba memejamkan mataku, menelungkupkan wajahku di atas bantal. Rasanya ingin sekali aku mengirimkan sebuah pesan dan menanyakan segala yang mengganjal di hatiku, tapi keraguanku dan rasa malu itu menghentikan semua niatku. Apa yang harus aku lakukan saat ini? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan mungkin saja waktu itu dia hanya bercanda terkait ungkapan cintanya.
Sudahlah. Mengapa aku harus terus-menerus memikirkannya? Lagi pula, belum tentu dia juga memikirkanku saat ini.
Pelan-pelan mataku terpejam. Tanpa sadar aku pun tertidur. Dalam tidurku, aku bertemu dengannya...
Adam.
Dia menatapku dengan dingin, sorot matanya menunjukkan kekecewaan yang begitu dalam. Katanya, aku tidak pernah menyadari ketulusannya dan mungkin aku akan merasakan kehilangan yang begitu dalam.
Lalu dalam mimpiku, aku bertemu dengan kakaknya. Kakaknya menasihatiku agar aku bisa berpikir ulang, dia menceritakan semua sikap Adam. Dan, semua yang dikatakan kakaknya dalam mimpi itu memang benar adanya.
Sosok Adam yang dulunya kekanak-kanakan di masa kini telah berubah menjadi sosok yang dewasa. Adam yang kukenal sering bolos sekolah dan tidak bertanggungjawab pada pekerjaan rumah sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Adam yang kukenal sejak dulu itu sekarang adalah sosok yang tekun, pekerja keras, dan sangat mencintai keluarganya.
Dalam mimpiku, kakaknya berkata supaya aku tidak perlu ragu dan khawatir dengan Adam. Namun kemudian sebuah kecelakaan merenggut nyawa Adam, darah berceceran di mana-mana, Adam pun terjatuh.
Tiba-tiba aku terbangun dari mimpi itu, aku melirik jam, waktu masih menunjukkan pukul satu dini hari. Aku meraih ponselku dan tanpa sadar mengetik sesuatu yang dengan segera kukirimkan kepadanya.
Setelah mengalami mimpi seperti itu, perasaanku menjadi tidak menentu, kekhawatiranku tentang sesuatu hal buruk yang akan terjadi pada Adam membuatku terjaga di malam hari. Aku menunggu kabar darinya hingga pagi.
Adam : Maaf, saya ketiduran semalam.
Adam : Ada apa?
Akhirnya dia membalas pesanku. Meski pesan yang dikirimkannya bernada dingin, aku dengan segera membalas pesannya.
Mikha : Nggak papa, kamu apa kabar?
Adam lama sekali membalas pesanku, sampai-sampai aku tertidur di sofa. Tepat pukul sembilan aku terbangun dan langsung kaget melihat balasan pesannya.
Adam : Aku sehat walafiat.
Jawabannya singkat banget sampai-sampai aku jadi grogi dan canggung untuk membalasnya.
Mikha : Syukurlah kamu baik-baik saja.
Adam : Kenapa?
Aku sempat berpikir untuk tidak membalas lagi, tapi...
Ping!
Ping!
Ping!
Notifikasi BBM-ku terus berdering.
Adam : Mikha?
Adam : Ada yang mau kamu bicarakan?
Mikha : Nggak ada, kok. Aku cuma mau memastikan kondisi kamu. Syukurlah kamu baik-baik saja.
Kumatikan data ponselku sejenak. Aku bergegas ke kamar mandi sebelum Ibu menjemputku di kamar. Usai mandi, aku melanjutkan obrolanku.
Adam : Aku kenapa?
Mikha : Nggak apa-apa. Maaf mengganggu.
Adam : Aneh.
Adam : Kamu selalu begitu. Jangan bohong, kalau terjadi apa-apa, bilang saja padaku.
Mikha : Maaf
Mikha : Menurutku ini konyol. Maaf, ya...
Adam : Konyol? Maksudmu apa?
Aku terdiam sejenak dan berpikir, apa sebaiknya aku ceritakan saja semua mimpi itu kepada Adam. Tapi bagaimana kalau dia tidak percaya.
Mikha: Aku mimpi tentang kamu, dan tanpa sadar aku mengirim pesan itu.
Adam : Oh, begitu...
Mikha : Maaf.
Adam : Nggak papa. Itu hanya mimpi jadi jangan terlalu dipikirkan. Aku baik-baik saja kok.
Mikha : Ya, syukurlah. Maaf mengganggumu.
Adam : Buat apa minta maaf?
Mikha : Karena aku sudah mengganggu waktu istirahat kamu.
Adam : Nggak perlu minta maaf. Kamu nggak pernah ganggu waktuku, malah aku senang kalau kamu chat duluan. Aku senang karena kamu mau ngobrol denganku.
Entah kenapa aku merasa senang saat itu. Dan akhirnya kami terus mengobrol sampai jam kerja siang Adam dimulai.
Sabtu sore aku sedang asyik mengerjakan tugas-tugas kampusku. Sambil sesekali membalas pesan dari Mas Dika, tanganku tak sengaja menyentuh ikon berbentuk rumah di Facebook. Saat itu update-an dari teman-teman di kontakku mulai bermunculan.
Tadinya aku hendak memindahkan kursornya ke ikon pesan pribadi seperti tadi. Namun mataku menangkap foto seseorang yang sangat kukenal sedang lewat di beranda akun media sosialku. Tanganku langsung menekan foto si pengguna akun itu, lalu kuperbesar gambarnya. Tak percaya dengan apa yang kulihat, tiba-tiba air mataku jatuh tanpa mampu kukendalikan.
Baru kemarin dia bilang senang saat aku mengiriminya pesan, dia hanya ingin bersamaku dan tak pernah mengungkapkan perasaannya kepada siapa pun kecuali aku. Lalu sekarang aku melihat potret dirinya bersama gadis lain. Apa ini? Mungkinkah ini jawaban dari mimpiku? Aku merasa mual, dadaku bergemuruh, ingin sekali aku mengeluarkan lava yang sebentar lagi akan meledak-ledak di hatiku.
Aku cemburu.
Aneh bukan? Merasa cemburu pada seseorang yang bukan siapa-siapa. Seseorang yang sama sekali tak punya hubungan istimewa denganku. Tapi orang itu sudah membuatku menangis seperti ini. Ah, mungkin aku terlalu serius menanggapi candaannya sehingga sekarang aku merasa sesak setelah melihat fotonya.
Aku tidak ingin menangis, tidak ingin marah, tidak ingin melihat fotonya. Aku berjalan ke dapur, mengambil semua cokelat di kulkas, dan memakannya banyak-banyak, tidak peduli dengan lemak yang terkandung dalam cokelat itu, tidak peduli apakah aku akan menjadi gemuk di keesokan harinya. Aku hanya ingin melupakan apa yang kulihat tadi. Sambil menghabiskan cokelat itu, aku membuka laptopku dan mulai menulis di situs web kemarin. Rasanya suasana seperti ini sungguh menguntungkan bagiku untuk menulis berbagai cerita. Dalam waktu singkat aku berhasil menulis dua puluh delapan puisi.
Sejak sore itu aku tidak pernah membuka akun Facebook-ku lagi, terutama mengirim pesan kepada Adam.
Aku benci dengan situasi ini.
***
Matahari mulai menampakkan sedikit cahaya. Ini sudah bulan ketiga setelah kejadian foto itu. Katanya Adam sudah lama mencariku, bahkan dia bertanya lewat Facebook, kenapa aku belum mengaktifkan akun?
Aku berbohong saat bilang tidak punya kuota dan hanya menggunakan satu aplikasi media sosial. Padahal, sebenarnya, aku sedang menghindari kenyataan yang membuat hatiku terasa teriris-iris.
Lalu dia meminta nomor teleponku. Dia mulai sering menghubungiku dan bersikap seperti biasa. Kali ini aku juga bersikap biasa-biasa saja padanya. Meski mau tak mau hatiku masih menaruh harapan padanya. Sejujurnya, aku ingin mengetahui statusku di hidupnya. Tapi itu sulit. Adam tidak pernah meluruskan tentang hubungan kami.
Sebulan sekali dia selalu menyempatkan diri untuk mengirimiku pesan. Aku tidak pernah merasa curiga seperti sebelumnya. Dia punya kehidupannya sendiri, sedangkan aku bukan siapa-siapa baginya.
Hari demi hari berlalu seperti biasa. Detik, menit, jam, dan bulan terus berganti, tanpa terasa, sudah setahun aku berkirim pesan dengan Adam. Aku merasa bahagia meski ia hanya datang dan pergi begitu saja. Aku sangat bahagia karena kehadirannya menjadi semangat bagiku untuk menjalani hidup dan melanjutkan mimpi-mimpiku yang sempat rapuh.
Tak peduli dengan hubungan ambigu di antara kami, aku bersikap seolah-olah semuanya biasa saja. Meski sikapnya berubah menjadi sangat peduli padaku, aku tak ingin salah mengartikan segala bentuk simpatinya. Aku takut akan kecewa seperti sebelumnya.
Setelah setahun berlalu, kulihat ia semakin aktif dengan segala kegiatannya. Begitu pula aku. Aku kembali disibukkan dengan kegiatan kampus dan pekerjaanku. Kami jarang berkomunikasi dan mungkin kupikir ia akan segera melupakan keberadaanku.
***
11 Januari 2018, Kediaman keluarga Setyawan
Tibalah saatnya aku menyelesaikan tugas akhirku. Hari-hariku diisi dengan buku dan seharian di kamar, sendirian. Aku tak peduli dengan penampilanku yang semakin terlihat berantakan karena pusing dengan segala macam urusan revisi.
Sore ini pun sama, aku masih mengenakan piyama seperti kemarin, tanpa riasan dengan rambut yang hanya diikat ke belakang. Mataku fokus pada layar dan huruf-huruf sehingga tak menyadari kehadiran Ibu di kamarku.
"Mikha, bisa ke sini sebentar."
Aku mengangguk dan bangkit dari meja belajar, menemui Ibu yang sedari tadi duduk di sofa dekat jendela. Ibu tersenyum, dia membelai rambutku perlahan. Aku lalu memeluk pinggangnya, menyandarkan kepalaku di bahunya. Rasanya, momen seperti ini sudah lama kunantikan. Akhirnya, penantianku yang panjang akan harapan itu terwujud sore ini.
"Mikha, Ibu pikir kamu pantas untuk mengetahui semua kebenaran ini," suara Ibu terdengar sangat berat.
Jantungku berdetak kencang. Lagi-lagi, Ibu mengatakan hal yang sama seperti tahun sebelumnya. Kebenaran? Kebenaran tentang apa yang seharusnya aku ketahui? Aku mengangkat kepalaku, menatap Ibu yang tengah menunduk.
"Apa yang seharusnya aku ketahui dari Ibu?" tanyaku, dipenuhi rasa ingin tahu.
Dengan sedikit perasaan takut. Ibu akhirnya memberanikan diri menatapku. Perlahan, ia memegang erat kedua tanganku di pangkuannya. Sesekali Ibu menunduk, sepertinya ada sesuatu yang serius yang sudah lama Ibu sembunyikan. Mungkin itu sebabnya ia merasa gelisah.
"Mikha, sebenarnya...” Ibu menahan ucapannya. Ibu melihat sepasang mataku yang menatap lurus ke arahnya, ibu mendesah pelan lantas melanjutkan perkataannya. “Sebenarnya Mikha bukan anak kandung Ibu dan Ayah."
Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak. Mataku langsung mengeluarkan lahar panas. Pernyataan dari Ibu yang tiba-tiba itu langsung membuatku hampir pingsan.
Aku bukan anak mereka? Lalu, aku anak siapa? Pertanyaan itu berputar-putar di otakku. Hatiku hancur, aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Pikiranku kosong, tiba-tiba semuanya menjadi abu-abu.
Kenapa?
Kenapa baru kali ini Ibu mengungkapkan semua ini padaku?
Jantungku berdebar lebih kencang, perasaan ingin marah, kecewa, dan sedih bercampur jadi satu. Langit seakan runtuh dan meratakan seluruh dunia. Tanganku mengepal, aku sama sekali tidak percaya semua ini.
Ibu masih menunduk kaku di sampingku. Sepertinya dia juga sama terlukanya denganku. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan, mungkin selama ini Ibu tidak bermaksud menyembunyikan kebenaran tentangku karena dia takut aku belum siap menghadapi kenyataan ini.
"Maafkan Ibu, Mikha. Ibu tidak bermaksud membuatmu sedih. Tapi ini adalah kenyataannya, kami bukan orang tua kandungmu."
"Jadi, siapa, Bu? Siapa orang tua kandungku? Tolong beritahu aku!"
Ibu terdiam.
"Bu?"
"Eriko,” Ibu menoleh padaku, “itu nama ibumu.”
Eriko? Namanya terdengar begitu asing. Bagaimana bisa? Apakah dia benar-benar ibuku? Eriko? Siapa, sih? Jika dia ibuku, mengapa dia meninggalkanku di keluarga ini?
Hatiku dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Aku menoleh ke arah Ibu, sepertinya Ibu memahami keresahanku. Ia segera menempatkan tangannya yang terasa hangat di atas tanganku.
“Aku… selama ini kupikir Ibu sangat membenciku karena aku tidak sepintar Mas Dika dan Mbak Nia. Ternyata semua itu karena ini, jadi… sebenarnya aku bukan anakmu, Ibu?”
Ibu memegang tanganku lebih erat, dia memelukku dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Ibu mencoba menenangkanku dalam menerima semua informasi mendadak yang menyakitiku ini.
“Maafkan kami, Mikha. Selama ini Ibu dan Ayah sudah merahasiakan kebenaran ini darimu. Semua ini karena kami sudah berjanji pada Eriko, ibumu...”
“Aku tidak percaya ini, Bu. Kenapa harus aku? Sebenarnya siapa wanita bernama Eriko itu? Kenapa dia meninggalkan aku di sini?”
Ibu menelan ludah. Masih membelai rambutku dengan halus, ibu menjawab pertanyaanku. “Eriko itu sebenarnya adalah anak tunggal dari Direktur perusahaan tempat dulu Ayahmu magang di Jepang. Waktu itu ibumu baru berusia dua puluh dua tahun, dan dia selalu menentang perjodohan dengan pria pilihan papanya, yaitu, Presiden Direktur Honda. Eriko, ibu kamu lebih memilih kawin lari dengan kekasihnya. Setelah setahun menikah, ibu kamu dikaruniai seorang putra, tetapi karena ibu kamu tidak mau Presiden Direktur Honda tahu tentang kelahiran anaknya, Eriko lalu menyuruh Ayahmu untuk membawa anak itu ke rumah suaminya dan menyuruh suaminya untuk membawa anak itu pergi jauh sebelum Presiden Direktur Honda tahu tentang keberadaan mereka. Sayangnya, saat anak itu dan suaminya sedang dalam perjalanan ke Vietnam, pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan dan keduanya meninggal di tempat.
"Lalu, di tahun kedua, Mama kamu hamil lagi dan melahirkan kamu ke dunia ini. Eriko yang saat itu sudah menjadi janda akhirnya bingung karena harus mengurus kamu sendirian. Sementara ibumu masih bersembunyi dari Presiden Direktur Honda, ibumu mencari seseorang yang bisa membantunya mengurus bayi. Saat itu, Ibu kamu tidak sengaja bertemu dengan aku dan Ayahmu di bandara. Kami baru saja hendak meninggalkan Jepang setelah pekerjaan Ayahmu di sana selesai, namun tiba-tiba saja ibumu datang ke rumah kami dan memohon agar kami mau membesarkanmu seperti anaknya sendiri. Eriko, ibumu sangat ketakutan. Ibumu takut kamu akan diambil dan dibuang oleh papanya, yang tak lain adalah Presiden Direktur Honda. Kami tidak tega melihat ibumu yang menangis dan memohon-mohon pada kami. Jadi, kami mau menolong ibumu dan membawamu ke sini." Ibu menjelaskan semua hal yang sejak tadi mengganjal di hatiku.
"Apakah ibuku itu masih hidup?" Tiba-tiba aku bertanya.
Ibu mengangguk. "Tentu saja. Ibumu masih hidup dan tinggal sendirian di Kamakura. Jika suatu hari nanti kamu ingin bertemu dengannya, bicaralah dengan ayahmu. Mungkin ayahmu bisa memberitahukan alamat rumahnya.”
Aku menunduk. Ibu membetulkan posisi duduknya dan memandangi wajah sedihku.
“Ibu minta maaf karena harus mengatakan ini padamu. Ibu hanya ingin kamu tahu yang sebenarnya.”
Aku menahan napas dan menggigit bibir. "Apakah dia pernah mencariku dan bertanya tentangku selama ini?"
Ibu tidak menjawab. Dia malah menundukkan kepalanya lebih dalam. Aku dibuat penasaran dan merasakan sesak begitu dalam di hatiku. Namun sebelum aku sempat bertanya banyak hal kepada Ibu, Ibu telah beranjak dan meninggalkanku dengan perasaan yang tidak menentu.
***
Kampus W, ruang sidang.
"Mikhayla Azuki, kamu tidak lulus!"
"A, Apa, Bu?"
Aku kaget mendengar dosenku berkata seperti itu. Ekspresi dosenku yang biasanya jenaka kini berubah serius. Aku benar-benar ingin menangis mengetahui hal ini.
"Maaf, Mikha. Kamu gagal tahun ini. Secara keseluruhan, tugas akhirmu bagus, tapi aku pernah membaca konsep seperti ini dari mahasiswa lain."
"Tidak mungkin, Bu. Aku membuat tugas akhir ini sendirian di rumah, tidak mungkin ada orang yang membuatnya sama persis dengan milikku."
"Ini buktinya, Mikha. Juliana sudah menyerahkan tugasnya dan ini buktinya."
“Apa? Juliana? Maksud Ibu, Ana?”
“Ya. Kamu lihat saja ini! Bagaimana? Sama persis, bukan?”
"Tidak mungkin. Kenapa konsep dan semua isinya bisa sama persis seperti ini. Ana pasti menyalin semuanya dariku. Ibu, sumpah, ini hasil pikiranku sendiri. Andalah yang sudah menyontek dariku."
"Kalau itu benar-benar tugasmu, kenapa tidak kamu serahkan dari awal?"
Aku tidak berani menjawab. Jujur saja, dua hari yang lalu aku berniat untuk ke kampus dan menyerahkan tugas ini kepada Bu Nita. Namun karena malam itu Ibu datang ke kamarku dan mengatakan sesuatu yang mengejutkanku, aku jadi tidak berdaya.
Sejak hari itu, dua hari lamanya aku tidak datang ke kampus, aku juga tidak pernah keluar kamar. Aku benar-benar butuh waktu untuk bisa menerima semua kenyataan pahit dalam hidupku.
Dan, kemarin sore, Ana datang ke rumah orang tuaku, dia menyampaikan pesan dari Bu Nita. Bodohnya, aku begitu percaya padanya saat dia memintaku untuk menunjukkan hasil pekerjaanku selama berhari-hari. Sehingga akhirnya, sekarang, aku malah dinyatakan melakukan plagiarisme dan tidak akan lulus tahun ini.
Aku merasa ini tidak adil. Benar-benar tidak adil. Sampai sekarang Bu Nita pun tidak percaya padaku, padahal aku sudah bekerja keras untuk mengerjakan semua ini. Aku menunduk sedih menatap bayanganku yang semakin memudar di lantai yang dingin.
"Baiklah, Mikha. Karena selama ini kamu adalah mahasiswi yang baik dan berprestasi, ibu akan memberikan kesempatan supaya kamu bisa mengerjakan tugas akhirmu. Ibu beri waktu satu minggu lagi, oke?”
"Tapi, Bu...” Aku ingin menyangkalnya, tapi keburu Ibu Nita menjewer telingaku.
"Gunakan waktu yang sudah Ibu berikan padamu, atau kamu benar-benar tidak akan lulus tahun ini!"
"Baiklah, Bu."
Apa yang bisa kulakukan sekarang? Tidak ada seorang pun yang mempercayaiku. Aku jadi teringat pada apa yang selalu dikatakan Mas Dika kepadaku, orang lebih percaya pada apa yang mereka lihat meskipun itu belum tentu benar.
Kakiku terasa lemas saat memaksakan diri untuk berjalan keluar. Tanpa sadar aku telah melewati gerbang kampus, aku terus berjalan mengikuti langkah kakiku tanpa tahu tujuan.
“Hah...” Aku menghela napas panjang dan menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli dengan orang-orang yang menatapku aneh.
"Awas!"
Ada yang menarik tanganku dengan keras. Aku terjatuh ke pinggir jalan. Ya ampun, rupanya tadi dia berusaha menyelamatkanku dari bahaya yang mungkin bisa merenggut nyawaku.
Aku memandang mobil jip yang melaju dengan kecepatan tinggi dan melesat jauh ke depan. Bulu kudukku berdiri mengingat kejadian yang baru saja kualami. Mungkin jika orang itu tidak menolongku, maka aku akan ... Tidak, tidak, aku tidak ingin mengalami hal itu.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala sambil berusaha membersihkan lengan bajuku dari daun-daun kering dan kerikil jalanan. Aku mendongakkan kepala bermaksud mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Mikha?" Dia sangat terkejut saat mengetahui bahwa orang yang ditolongnya adalah aku.
"Loh, Adam?" jawabku sambil sedikit menahan tangisku.
"Sudah lama kita tidak bertemu dan tiba-tiba kita dipertemukan seperti ini. Aku sangat bersyukur bertemu denganmu, Mikha."
"Hemm... Aku juga," jawabku singkat.
"Tunggu, ada apa dengan matamu? Kamu habis nangis, ya? Astaga, Mikha ... apa yang terjadi padamu? Terus kenapa tadi kamu menyeberang jalan sembarangan? Berbahaya, tahu!"
Seperti biasa, dia selalu bereaksi berlebihan saat tahu aku bersikap ceroboh seperti itu. Sejak dulu Adam tidak pernah mengubah sikapnya yang selalu membuat semuanya menjadi ambigu.
"Aku baik-baik saja. Maaf, aku sudah merepotkanmu, dan terima kasih atas bantuanmu tadi."
Perasaanku tidak menentu saat ini. Antara sedih, senang, dan takut, semuanya bercampur aduk dan membuatku gugup di hadapannya. Aku ingin banyak berbicara dengannya, meminta pendapat yang mungkin dapat menenangkanku dan aku juga ingin menanyakan sesuatu yang selama ini benar-benar menggangguku.
"Oh ya, Mikha. Sebenarnya kamu dari mana dan mau ke mana?"
"Oh itu, aku baru pulang dari kampus, Dam. Aku mau pulang sekarang.”
"Oke, kalau begitu biar aku saja yang antar kamu pulang, ya?"
"Nggak, nggak. Nggak perlu, Dam. Aku bisa sendiri."
"Kenapa harus sendiri?”
“Itu, maksudku, aku nggak mau merepotkan kamu. Nanti aku bisa pesan ojek online, kok.”
Adam memandangku dengan ragu. “Ya sudah, kalau begitu, kamu anggap saja aku ojek daring yang sedang menjemputmu. Nah, ini helmnya dan silakan naik di sini.”
"Astaga. Kamu ngapain sih, Dam? Tidak perlu seperti ini, serius, aku bisa sendiri."
"Ssh... Aku nggak terima pembatalan transaksi, ya. Sudah sini naik!" Perintah Adam sambil menepuk-nepuk jok di belakangnya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Ya sudah, deh. Terima kasih, ya."
Adam tersenyum. Sepanjang perjalanan kami hanya saling diam. Sesekali Adam bertanya tentang jalan menuju rumahku. Aku hanya menjawab seperlunya saja, rasanya tenang saat berada di dekatnya. Namun ada sedikit perasaan canggung karena aku selalu teringat pada fotonya bersama gadis lain di postingan sebelumnya.
"Setelah gang ini, ke mana lagi?"
"Belok kanan dan ikuti jalan itu. Lurus saja.”
"Banyak gang, ya?"
"Ya, begitulah. Nah, itu di depan, kita sudah sampai."
"Rumah kamu yang mana?"
"Di belakang sana.”
"Oh, yang cat kuning itu. Okelah, aku pulang dulu, ya?"
"Kamu nggak mau mampir dulu?"
"Nggak usah, deh, nanti saja, lagi pula sudah mau malam."
"Hm, ya sudah kalau begitu. Hati-hati, ya. Terima kasih sudah mengantarku pulang."
"Apa, sih, kamu dari tadi bilang makasih mulu. Aku pamit pulang, ya, selamat malam."
Adam langsung berpamitan dan memacu motornya dengan kencang. Aku memperhatikannya pergi hingga bayangannya tak terlihat lagi di pelupuk mataku.
Apakah sebenarnya Adam adalah pangeran senjaku? Senja yang indah namun hanya sesaat. Senja yang begitu menawan dan kemudian memudar secara perlahan-lahan. Kurasa aku terlalu memikirkannya. Tentu saja, pangeran senja tak pernah ada di dunia nyata. Aku tidak berhak berharap. Apalagi berharap pada Adam, sosok pria baik sepertinya. Aku pikir aku mungkin tak pantas hidup bersanding dengannya.
Sesampainya di kamar, kurebahkan segala penatku di sofa. Segala rasa cemas, takut, dan sedih masih bergelut dalam hatiku. Sungguh tak percaya mengingat semua kejadian yang baru saja terjadi. Namun sejak bertemu Adam tadi, semua perasaan itu sedikit berkurang.
Kucari ponselku di tas, mencari kontak Adam, dan mengirim pesan berisi ucapan terima kasihku padanya. Rasanya, mengucapkan terima kasih kepadanya tak cukup hanya dengan satu kali.
Kehadirannya dalam hidupku membawa banyak perubahan positif, dan aku sangat beruntung bisa bertemu dengannya setelah delapan tahun berpisah.
Drrt! Ponselku bergetar.
Adam : Nggak usah berterima kasih! Aku malah senang bisa ketemu kamu lagi, Mikha.
Isi pesan singkat itu mampu mengembalikan semangatku lagi. Aku langsung melupakan semua kesedihanku hanya dengan satu pesan itu.
Apa aku tidak terlalu berlebihan, padahal dia cuma bilang senang? Dia tidak bicara apa-apa lagi, kan? Tidak. Jangan sampai aku terpengaruh oleh perasaan yang akan membuatku kecewa di kemudian hari.
Mikha : Tentu saja aku harus berterima kasih padamu. Kamu sudah banyak membantuku. Terima kasih, Adam.
Adam : Nggak apa-apa, asalkan aku bisa bantu. Aku senang.
Mikha : Pokoknya, terima kasih, oke. Maaf aku udah sering ganggu kamu terus.
Adam : Iya.
Adam : Istirahat, jangan telat makan!
Mikha : Oke. Kamu juga.
Cukup, Adam tidak membalas lagi. Mungkin dia sibuk atau sedang ada keperluan lain. Aku tidak mau memikirkan hal-hal yang negatif. Adam berhak melakukan apa saja karena itu adalah haknya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Jadi begini rasanya punya perasaan pada sahabat sendiri? Sebenarnya perasaan macam apa yang ada di hatiku ini?
Aku tahu dia memang pernah beberapa kali mengungkapkan perasaannya padaku tapi sampai sekarang aku belum juga menjawabnya. Aku pernah menuliskan semua perasaan yang bergejolak di hatiku dan aku kirimkan padanya tapi dia sama sekali tidak memberikan reaksi ataupun jawaban dan kejelasan yang aku harapkan itu.
Tidak ada kepastian, tidak ada pembahasan, semuanya mengambang tidak jelas. Yang kutahu, aku hanyalah salah satu sahabatnya. Atau mungkin waktu itu dia memang bercanda dan memancingku untuk mengungkapkan semuanya? Apa mungkin? Ah, aku memang bodoh dalam hal seperti ini.
"Mikha!" panggil Mas Dika dari lantai bawah.
Aku buru-buru berlari mengunci pintu kamar. Saat ini aku sedang tidak ingin berbicara dan bertemu dengan orang-orang di rumah.
"Mikha, Mas bawa roti kesukaanmu. Turunlah!"
Maafkan aku, Mas Dika. Namun kali ini aku ingin menenangkan diri di kamarku sendiri. Aku segera bergegas mandi dan berniat menyelesaikan tugas akhirku dari awal lagi.
Dengan sedikit dorongan semangat yang kumiliki, aku berusaha keras untuk melanjutkan semuanya. Dalam semalam aku berhasil menyelesaikan tugasku.
Sebenarnya, aku sedikit mengubah konsep awalku dan membangun pemikiran baru yang berbeda dari yang lain. Aku berharap Bu Nita bisa menyetujui tugas akhirku dan aku bisa lulus tahun ini.
Di bawah remang-remang cahaya bulan, aku duduk termenung menatap hamparan pemandangan di luar sana. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya sedang kurasakan.
Kesedihan yang menimpa hidupku selama ini terlalu banyak kusimpan sendiri, sampai sekarang aku tidak bisa menggali isi hatiku sendiri untuk mencari tahu apa yang sedang kurasakan sebenarnya.
***
Embun pagi terasa dingin, menggelitik ujung kakiku. Perlahan matahari bersinar gemerlap, menyelimuti tubuhku yang dingin. Aku membuka mataku untuk melihat pemandangan hari ini, begitu cerah hingga membangkitkan semangatku.
Jam masih menunjukkan pukul tujuh setelah aku bersiap untuk berangkat ke kampus. Masih ada waktu dua jam lagi untuk bertemu Bu Nita, sebelumnya aku sudah membuat janji dengannya di kampus dan Bu Nita menyetujui pertemuan kami pagi ini. Semoga saja kali ini aku tidak gagal lagi.
Suara langkah kaki seseorang yang berjalan menuju kamarku membuatku bergegas membereskan kertas-kertas yang baru saja selesai dicetak.
"Mikha, kamu di dalam, Nak?"
Itu suara Ibu. Aku langsung berdiri tegak, memutar kunci pintu kamarku dan mempersilakannya masuk.
"Kamu masih marah soal kemarin?" tanya Ibu.
Aku menggeleng. “Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Semuanya terasa tiba-tiba, Bu.”
“Ibu mengerti. Maafkan Ibu, Mikha. Ibu tidak bermaksud membuatmu seperti ini, tapi kamu tidak bisa mengabaikan kenyataan,"
“Aku tahu, Bu. Ibu tidak perlu minta maaf padaku, lagi pula ini bukan salahnya Ibu.”
“Kalau kamu tidak marah pada ibu, lantas kenapa kamu tidak pernah makan bersama kami? Kamu bahkan sudah satu minggu mengurung diri di kamar dan baru turun kalau mau ke kampus, badanmu kurus sekali. Kami semua khawatir padamu. Kakakmu, Dika apalagi. Yuk, sekarang kita keluar dan sarapan bareng."
"Nanti saja, Bu. Hari ini aku harus ketemu dosen di kampus. Aku pamit dulu ya, Bu."
Ibu tercengang. Setelah aku bersalaman dengannya, aku langsung pergi ke kampus. Air mataku rasanya ingin jatuh lagi, tapi itu masih bisa kutahan.
Apa-apaan ini? Kenapa Ibu malah mengingatkanku saat aku sedang bersemangat melanjutkan hidupku. Pikiranku jadi tidak fokus, aku juga tidak bisa menebak apa yang akan terjadi nanti.
Semangat, Mikha.
Eh? Adam mengirim pesan ini pagi-pagi sekali. Apa dia tahu kalau aku sedang khawatir? Kalau saja aku bisa menceritakannya padanya, tapi tidak, aku tidak mau membebaninya. Sudah cukup aku merasakan penderitaan ini.
Mikha : Terima kasih banyak, Dam.
Adam : Jangan berterima kasih lagi, yang penting kamu harus semangat terus ya, walaupun aku lupa kasih semangat sama kamu.
Mikha : Iya, ya. Makasih buat semuanya.
Adam : Kamu sekarang di mana?
Mikha : Masih di rumah.
Adam : Jangan ke mana-mana dulu, di rumah aja. Kalau memang kita ditakdirkan untuk bersama, mungkin aku akan melamarmu di rumah.
Mikha : Haha, iya.
Adam : Amin, gitu!!
Mikha : Amin, Insya Allah.
Adam : Ya sudah, segitu aja. Amiin. Terus belajar memperbaiki diri ya, Mikha.
Mikha : Insya Allah.
Adam : Aku mau kerja dulu.
Mikha : Oke. Semoga sukses dengan pekerjaanmu.
Adam : Kamu juga.
Aku menyeka air mata yang keluar dari pelupuk mataku. Terharu, senang bercampur sedih yang masih membekas di hatiku.
Aku melangkahkan kaki menuju kampus dengan semangat membara. Benar juga, aku masih labil. Kadang aku merasa rapuh, kadang aku bisa merasa senang dan sedih di saat yang bersamaan.
Aku baru saja masuk melewati gerbang kampus dan di sana aku bertabrakan dengan Juliana, map biru yang berisi dokumen-dokumenku basah karena minumannya. Mata Juliana terbelalak kaget, begitu pula aku. Sia-sia saja usahaku semalaman suntuk.
Aku menyerah. Kabur dari kampus, air mataku tak dapat lagi ditahan. Aku tidak sanggup lagi menghadapi kenyataan pahit. Aku ingin pergi, lari, menjauh dari semua ini.
Penderitaan batin yang kualami terasa begitu berat. Seakan-akan hanya aku saja yang mengalaminya. Satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara selama ini hanyalah Dia, dan Adam. Tapi sekarang, aku tidak mungkin menceritakan kesedihan ini padanya.
Langit yang cerah segera berubah mendung. Hujan pun turun, aku menangis bersama hujan di sepanjang jalan. Aku tidak peduli lagi dengan suara klakson yang berteriak-teriak kepadaku. Meski kini aku harus mati karena ditabrak, aku tidak terlalu peduli.
Satu jam kemudian aku menemukan tubuhku di sebuah ruangan dengan tangan yang diinfus. Rumah sakit? Aku masih belum benar-benar sadar. Namun dari bau obat yang begitu menyengat di hidungku, dan beberapa tabung oksigen besar di samping tempat tidurku membuatku yakin bahwa saat ini aku berada di rumah sakit.
"Dokter, pasien sudah sadar."
"Baik, tolong periksa tekanan darahnya, suster!"
"Baik, Dok."
Suara-suara itu terdengar tidak asing di telingaku. Dulu aku pernah keluar masuk rumah sakit selama setahun dan karena itu aku jadi sedikit-sedikit kenal dan akrab dengan para perawat di rumah sakit. Tunggu, apa sekarang aku berada di RS Almeira? Entah mengapa suara dokter itu sangat familier di telingaku.
"Permisi, Mbak. Saya cek tekanan darah dulu, ya?"
Aku mengangguk lemas.
"Tekanan darah Mbak 80/80. Rendah sekali, loh. Apakah sekarang Mbak merasa pusing?"
Lagi-lagi aku hanya mengangguk pelan. Memang kepalaku sedikit sakit dan seperti berputar-putar, badanku juga menggigil. Mungkin efek dari hujan tadi.
"Bagaimana, Suster?"
"Dokter Ridho!” Aku berseru.
"Loh, Mikha? Jadi kamu pasiennya?"
"Dokter, kenal Mbak ini?" tanya perawat itu setengah heran.
"Ya, tentu. Saya kenal baik, Sus. Dia pasien saya setahun yang lalu. Iya, kan, Mikha?"
Aku mengerjapkan mata. Dokter Ridho tersenyum, ia menepuk pucuk kepalaku dengan lembut seperti waktu itu.
"Suhu tubuh Mbak Mikha ini sangat tinggi, Dok. Tekanan darahnya juga rendah sekali."
"Bagaimana dengan hasil tes darahnya, sudah keluar?"
"Seharusnya sih sudah. Sebentar, saya akan mengambilnya dulu di lab.”
Perawat itu kemudian keluar, meninggalkan aku dan Dokter Ridho. Dokter Ridho tersenyum tipis padaku. Sambil berkacak pinggang, ia duduk di samping ranjangku.
"Lama tak berjumpa, anak manja.”
Aku tertawa pelan, "Dokter apa kabar? Maaf, aku jarang melakukan check up. Aku sibuk, Dok. Aku hampir tidak punya waktu untuk berkunjung ke tempat dokter lagi."
"Hm, dasar. Kamu ini memang selalu punya seribu macam alasan, ya. Saya sehat, Mikha. Tapi, kamu? Lihat kondisi kamu sekarang? Apa yang sedang kamu pikirkan? Saya dengar kamu ditemukan pingsan di pinggir jalan dan hampir tertabrak truk beroda enam, benar?”
“Aku nggak begitu ingat, Dok.”
“Kamu bohong. Jujur sama saya, sebenarnya apa yang kamu lakukan di tengah hujan di jalan raya seperti itu? Mau bunuh diri?"
Aku memalingkan wajahku dari tatapan Dokter Ridho. "Aku sendiri tidak tahu apa yang kulakukan di sana, Dok. Aku hanya ingin lari sejauh yang aku bisa.”
"Melarikan diri dari masalah itu tidak baik, Mikha. Kenapa kamu harus menghindar?”
"Dokter, aku—“ Aku baru saja akan mengatakan sesuatu padanya. Tiba-tiba perawat wanita itu kembali sambil membawa amplop putih.
"Ini hasil tesnya, Dokter."
Dokter Ridho menerima kertas itu dan mempelajarinya dengan saksama. Sesekali Dokter Ridho menatapku, membuatku penasaran dengan hasil pemeriksaanku.
"Ada apa, Dokter? Apa ada masalah dengan hasil tesnya?” tanyaku.
Dokter Ridho menghela napas panjang. "Sepertinya aku perlu bicara dengan orang tuamu, Mikha. Suster, bisa tolong hubungi orang tuanya? Nomornya ada di—“
"Jangan!" Aku beranjak dari ranjang putih itu. “Jangan hubungi siapa pun, aku mohon.”
Dokter Ridho dan Suster itu saling berpandangan.
Aku memandang wajah Dokter Ridho. “Tolong, Dok. Jangan telepon Ibu ataupun Ayahku. Aku tidak mau mereka tahu aku ada di sini.”
“Tapi, Mikha, mereka harus tahu kondisimu.”
"Kenapa Dokter harus bicara pada orang tuaku? Aku sudah dewasa, kan? Memangnya aku kenapa? Apa hasil tes darahku tidak normal? Apa aku sakit, Dokter? Bilang aja padaku!"
"Mikha, tapi ini cukup serius, kamu..." Dokter Ridho menghentikan kalimatnya saat melihatku menitikkan air mata.
"Aku mohon, Dok, katakan saja padaku!"
"Oke, kalau kamu memaksa. Saya akan mengatakannya padamu, tetapi saya harap kamu tidak kaget setelah mendengar ini."
Aku mengangguk dan menarik napas dalam-dalam. Dokter Ridho menyuruhku kembali berbaring di ranjang. Dibantu oleh suster tadi, aku naik ke ranjangku lagi.
Aku memejamkan mata. Dengan perasaan tegang aku menunggu apa yang akan disampaikan oleh Dokter Ridho.
"Mikha, dari hasil pemeriksaan laboratorium ini, kamu terkena leukemia stadium 4,"
Aku menelan ludah. Ada setetes air hangat yang mengalir di pipiku. Ya Tuhan... cobaan apa lagi yang Engkau berikan padaku? Hatiku meringis menahan sakit.
"Apakah aku akan sembuh, Dokter?"
"Seperti yang kita tahu, penyakit ini sangat berbahaya, dan bisa menyebabkan kematian. Namun, Tuhan selalu memberikan keajaiban yang tak terduga, teruslah berdoa Mikha, kau harus tetap semangat menghadapi semua ini."
Aku terdiam sejenak.
"Dokter, bolehkah aku meminta bantuan?"
"Ya?"
"Aku hanya minta satu hal. Tolong jangan beritahu keluargaku tentang semua ini."
Dokter Ridho sedikit terkejut. Namun akhirnya ia setuju setelah aku menceritakan sedikit tentang apa yang sebenarnya terjadi di rumahku—termasuk asal-usul diriku yang ternyata adalah anak angkat mereka. Dengan mata berkaca-kaca, Dokter Ridho dan suster itu berjanji di hadapanku untuk merahasiakan penyakitku.
***
Sudah satu bulan berlalu. Ada yang berubah dalam hidupku, jika dulu aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, sekarang aku menjadi penghuni kamar yang tidak pernah keluar sama sekali.
Aktivitas harianku tidak pernah diketahui oleh keluargaku. Kebetulan, Ibu dan Ayahku juga bekerja di luar rumah, Mas Dika dan Mbak Nia akhir-akhir ini tidak pernah pulang ke rumah sejak dipindahtugaskan ke luar kota. Setiap pagi hingga sore rumah ini terasa tidak berpenghuni, sunyi.
Kesehatanku juga mulai menurun akhir-akhir ini. Aku sering kali merasa demam, sendi-sendiku terasa nyeri sehingga tidak bisa beraktivitas seperti biasa dan yang membuatku sedih, aku sering mengalami mimisan. Melihat darah yang keluar dari hidungku, terkadang aku berpikir hidupku tidak akan lama lagi.
Dokter Ridho sering menghubungiku untuk menanyakan kondisiku. Karena aku tidak bisa setiap minggu pergi ke rumah sakit, Dokter Ridho mengantisipasinya dengan memberikanku perhatian lebih secara daring.
Kadang-kadang Dokter Ridho memantau kondisiku dengan melakukan panggilan video. Aku sudah menganggap Dokter Ridho seperti kakakku sendiri. Dalam situasi sulit seperti sekarang, hanya dialah yang bersedia mendampingiku.
Seminggu sekali, Dokter Ridho akan mengirimkan obat untukku melalui orang yang dipercaya. Dia melakukannya atas permintaanku, karena aku tidak ingin semua orang di rumah ini mengetahui penyakit yang kurahasiakan ini.
Aku tidak merasa perlu untuk keluar masuk rumah sakit. Jadi, aku meminta Dokter Ridho untuk tetap merahasiakannya, dan sebagai balasannya aku sudah berjanji untuk menjalani kemoterapi akhir bulan ini.
Kini hari yang dijanjikan itu telah tiba, aku akan menjalani perawatan selama satu minggu. Selama itu aku masih rutin mengonsumsi antibiotik yang diberikan Dokter Ridho. Khasiat obat pereda nyeri yang diberikan Dokter Ridho memang cukup membantuku. Dengan meminum obat itu aku bisa sesekali berjalan-jalan keluar rumah tanpa perlu memperlihatkan rasa sakitku di hadapan semua orang.
Beberapa hari sebelum aku ke rumah sakit. Ada seseorang yang datang berkunjung ke rumahku. Aku juga sedikit terkejut melihat sosok pria yang berdiri di halaman rumahku. Aku melirik ke cermin sejenak, merapikan penampilanku yang terlihat kusam dan pucat. Agar dia tidak curiga, aku memoles sedikit riasan di wajahku.
Pintu rumah diketuk berkali-kali.
"Ya, tunggu sebentar,"
Aku sedikit tertatih-tatih sambil berjalan menuju pintu. Aku terdiam cukup lama di balik pintu sambil menyeka darah yang terus mengalir dari hidungku. Rasanya punggungku sudah tidak kuat lagi berdiri seperti ini, aku ingin berbaring. Namun, seseorang di luar sana sudah menungguku cukup lama. Setelah merasa sedikit lebih baik, aku memberanikan diri untuk menemuinya.
"Hai. Maaf, ya, kamu pasti menunggu lama."
"Ah, tidak, kok. Apa kabar, Mikha?"
"Seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik saja." Aku memaksakan diri untuk tersenyum.
"Syukurlah. Aku senang melihat senyumanmu. Oh ya, kamu ganti nomor telepon, ya? Beberapa waktu lalu aku berusaha meneleponmu, tetapi nomormu tidak aktif."
"Oh, iya. Beberapa waktu lalu ponselku jatuh sewaktu aku pulang dari kampus. HP-nya rusak total, kartunya juga nggak bisa terbaca, jadi aku harus ganti nomor. Saking sibuknya dengan hal lain, aku hampir lupa kasih tahu kamu dan teman-teman lain. Sepertinya itu adalah alasan yang bikin HP-ku jadi agak sepi akhir-akhir ini."
Betul. Aku tidak berbohong saat aku bilang begini. Aku memang mengalami kejadian itu, HP-ku jatuh dan aku tidak bisa cerita ke siapa-siapa soal kerusakan HP-ku. Ponsel yang aku pakai saat ini pun sebenarnya adalah ponsel yang dipinjamkan oleh Dokter Ridho.
Aku mengangguk dalam hati. Adam menatapku lekat-lekat. Berada dalam situasi seperti ini membuatku ingin kabur. Lagi pula, berada di dekatnya itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantungku.
Adam memegangi tanganku dan mulai bicara, "Mikha, sebenarnya aku ke sini mau ngomong sesuatu,"
"Hm?" Aku memandang matanya yang tampak berkaca-kaca. Aku merasakan tangannya sedikit gemetar dan terasa dingin kala itu.
"Begini, Mikha. Sebenarnya aku ... Aku, aku ke sini... aku," Adam sedikit terbata-bata, suaranya terdengar berat, dan dia langsung memalingkan mukanya.
“Apa yang ingin kamu katakan, Dam?"
"Sebenarnya..."
Adam segera merogoh saku bajunya dan memberikan sebuah amplop berwarna merah muda kepadaku.
Aku menerimanya dan membaca kalimat-kalimat yang tertulis di sana satu per satu. Aku tidak tahu apakah harus menangis atau bagaimana, sulit bagiku untuk mendeskripsikan semua perasaan ini. Aku menoleh ke arahnya, ia menundukkan kepalanya sedikit lama tanpa bersuara.
"Selamat, ya.”
Hanya itu yang dapat keluar dari bibirku. Tidak ada kata lain yang dapat mewakili perasaanku selain itu. Lagi pula, aku tidak akan pernah dapat menunjukkan apa yang kurasakan kepada siapa pun.
"Tidak. Maafkan aku, Mikha.”
"Apa yang kamu bicarakan? Maaf untuk apa?”
Adam menoleh dengan heran mendengar nada bicaraku yang sedikit emosional. Ya, aku tidak dapat lagi menahan air mataku di hadapannya. Tubuhku terasa seperti disetrum oleh jutaan volt listrik yang menyebabkanku tidak dapat lagi mengendalikan emosiku.
"Mikha, aku benar-benar minta maaf. Aku tahu semua ini salah,” Sepertinya Adam benar-benar minta maaf dengan tulus. Tapi aku masih tidak mengerti mengapa dia harus meminta maaf padaku, dan mengapa dia harus menangis di depanku?
"Ayolah, kenapa kamu jadi minta maaf? Harusnya kamu itu bahagia, karena sebentar lagi kamu akan bertunangan dan menikah dengan perempuan pilihan kamu. Kamu jauh-jauh ke sini untuk mengundangku, kan? Aku akan datang. Aku akan berbahagia melihat pertunanganmu." Ucapku sedikit lirih.
"Jadi, kamu tidak marah padaku?”
"Haruskah aku marah padamu? Atas dasar apa? Aku tidak berhak marah padamu. Besok juga kamu akan bertunangan, kan? Sebagai temanmu, tentu saja aku akan merasa senang. Aku akan datang.” Aku bertingkah seceria mungkin.
"Terima kasih." Adam memelukku dengan erat.
Ini pertama kalinya dia memelukku dan mungkin ini akan menjadi yang terakhir kalinya. Aku menitikkan setetes air mata di bahunya, setidaknya aku akan tenang karena sekarang dia telah menemukan orang yang tepat. Meskipun hatiku memang terasa sesak, sakit dan kecewa tetapi aku harus menerima itu semua. Mungkin ini adalah takdir yang telah dituliskan oleh Tuhan
"Kamu nangis?"
"Aku tidak menangis. Justru aku sangat senang karena akhirnya kamu menemukan orang yang selama ini kamu cari."
“Begitu?” Adam terdiam sejenak. Dia lalu tersenyum. “Aku sangat bersyukur kamu tidak marah, Mikha.”
"Aku tidak bisa marah padamu. Justru aku sangat senang dan aku bersyukur atas kebahagiaan kamu. Semoga acaranya besok lancar, ya.”
Adam mengangguk dan tersenyum samar. “Kamu akan datang, kan?”
"Ya, aku akan menyempatkan diri untuk hadir ke Kafe Chico.”
"Terima kasih, Mikha. Aku pamit, ya. Ada banyak hal yang harus kuurus untuk besok."
"Ya. Hati-hati di jalan."
Aku melambaikan tanganku untuk mengiringi kepergian Adam. Ada secercah harapan yang tertinggal di punggungnya, perasaan ambigu yang dulu berubah menjadi harapan kini hancur seketika saat badai menghancurkan bangunan yang tertutup di hatiku.
Tak akan ada lagi tempat untukku di hatinya. Tak ada lagi tempat untukku mengisi hari-hari ini. Semangatku telah habis, tak ada artinya lagi hidupku ini. Mimpi-mimpiku telah redup dan terbakar habis dalam sekejap mata.
Jauh kulihat kenangan setahun yang lalu. Saat Adam menyapaku, berjanji akan membahagiakanku di masa depan, memberiku lebih banyak perhatian untuk membicarakan hal-hal yang serius.
Adam ada saat aku membutuhkan seseorang yang bisa memahamiku, dalam kesedihanku dia mampu membangkitkan semangatku. Aku bisa bertahan melalui semua ini hanya karena dukungannya.
Selama ini aku salah paham. Ini bukan salahnya, tapi salahku. Aku yang tanpa sadar telah membuka ruang harapan di hatiku untuknya.
Sekarang, dia akan bertunangan dengan orang lain, dan aku? Seharusnya aku tidak perlu merasakan sakit ini, kan? Aku memang bodoh. Mengira bahwa dia adalah pangeran di ujung senjaku.
Meskipun benar, pada akhirnya dia menjelma menjadi pangeran senja yang akan segera memudar, perlahan-lahan menghilang dari pandanganku. Meski begitu, aku bahagia karena aku pernah dekat dan menjalani hubungan baik dengannya.
***
"Kamu yakin mau ke sana?" tanya Ayah menginterogasiku.
"Ya, aku ingin menghabiskan waktu dengan ibu kandungku. Aku ingin mengenalnya lebih dalam, Yah. Kalau Ayah tidak keberatan, bisakah Ayah menghubunginya sekarang dan memberitahukan bahwa aku ingin bertemu dengannya?”
"Kenapa tiba-tiba kamu ingin ke sana? Apa Ibumu mengatakan sesuatu yang buruk?"
"Tidak, Ayah. Ibu tidak ada hubungannya dengan ini. Sama sekali. Kalau bisa, aku ingin tinggal di sana selamanya." Aku mengutarakan keinginanku kepada Ayah.
Ayah terdiam cukup lama. Sepertinya dia banyak berpikir. Aku duduk menghadapnya, menunggu jawaban sambil berharap Ayah mengizinkannya.
"Baiklah. Kamu sudah dewasa sekarang, Ayah tidak bisa melarangmu untuk bertemu dengan ibu kandungmu sendiri."
"Jadi aku boleh pergi ke Jepang?"
Ayah mengangguk mengiyakan. Ayah lalu menulis sesuatu di secarik kertas dan memberikannya kepadaku.
"Ini alamat rumah Ibumu. Pergilah, Nak. Ayah tidak akan melarangmu untuk bertemu dengan ibu kandungmu."
“Terima kasih, Ayah.” Aku memeluk ayah dengan erat, rasanya sudah lama sekali aku tidak memeluknya seperti ini.
“Maafkan aku karena sering merepotkan Ayah selama ini.”
“Tidak ada orang tua yang merasa direpotkan oleh anak-anaknya. Kelak saat sudah berkeluarga, kalian juga pasti akan mengerti.”
“Ayah adalah Ayah terbaik yang pernah kumiliki.”
Aku tersenyum mengingat semua yang telah dilakukan Ayah selama ini. Beliau benar-benar Ayah yang paling bijak yang selalu kubanggakan. Dalam situasi apa pun, Ayah tidak pernah mengeluh dengan kondisinya. Beliau selalu tegar dan lemah lembut menghadapi sifat Ibu yang selalu berulah.
Namun meskipun begitu, mereka berdua adalah orangtua yang hebat. Selama dua puluh tahun mereka rela merawat dan membesarkanku.
Aku menatap wajah keriput Ayahku lama sekali. Aku baru tersadar ketika pintu depan didorong oleh seseorang. Mas Dika masuk dengan wajah muram. Aku tahu betul bagaimana sifat Mas Dika, mungkin saat ini ia perlu bicara dengan Ayah. Aku berdiri dari kursiku, lalu berpamitan dan pergi ke kamarku terlebih dahulu.
***
Aku berdiri memandang ke luar jendela kamar, hamparan langit hitam tanpa bintang semakin menebal. Di luar angin bertiup sejuk, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Tanganku memegang tiket pesawat yang sudah kubeli sejak kemarin sore. Aku memang sudah memutuskan untuk meninggalkan semua kenangan di sini. Keputusanku sudah bulat, malam ini aku berkemas dan langsung memejamkan mata.
Singkat cerita, pagi itu badanku terasa sangat ringan tidak seperti biasanya. Aku lalu bergegas mandi, mengecek kembali barang-barang di dalam koper, dan turun ke bawah untuk sarapan bersama keluarga. Kulihat Mas Dika dan Mbak Nia juga sudah berkumpul di ruang makan. Tapi, kenapa wajah mereka begitu muram? Hatiku sedikit khawatir telah terjadi sesuatu pada mereka. Setelah sebulan tidak pulang, kini mereka hanya diam dan menunduk. Aku jadi gugup dan canggung. Ibu sudah lebih dulu berangkat kerja. Katanya sih, ibu ada rapat direksi yang mendadak sekali. Di meja itu hanya ada kami berempat, Aku, Ayah, Mas Dika, dan Mbak Nia. Sesaat tak ada seorang pun yang berani bicara di antara kami, makanan di meja juga hanya seperti pajangan saja. Tidak ada seorang pun yang menyentuhnya. Kami berempat terdiam sambil menatap ke arah makanan di meja makan.
"Mhh, Yah, apa boleh aku minta sup wortelnya?" Kataku, mencoba mencairkan suasana.
Ayah mengambil mangkuk kecil dan menuangkan sup wortel ke dalamnya. Dia lantas memberikannya padaku. Karena jaraknya agak jauh, ayah meminta bantuan Mbak Nia. Mbak Nia menatapku dan memberikan mangkuk kecil berisi sup wortel itu.
"Aku tidak tahu Mbak Nia pulang. Mbak pulang kapan?"
"Dini hari tadi."
"Oh.”
"Ya."
Percakapan yang kaku dan singkat. Seperti itulah Mbak Nia. Tidak bisa diajak berkomunikasi dengan benar.
"Pasti Mbak dijemput Mas Dika, ya?” Karena suasana di ruang makan masih hening, aku kembali melanjutkan percakapan. Namun jawaban dari Mbak Nia yang kudapatkan tetap bernada datar dan sangatlah pendek.
“Gak dijemput.”
"Oh, jadi Mbak pulang sendiri?"
"Ya."
Aku mengangguk tanda mengerti. Tidak ada gunanya aku meneruskan percakapan yang bersifat basa-basi ini. Kulihat tangan ayah mulai bergerak mengambil ayam goreng itu dan menyantapnya dengan saus sambal. Aku sendiri sibuk menyuap sup wortelku sambil melirik Mbak Nia dan Mas Dika yang masih terdiam seperti robot. Aku berhenti mengunyah dan mulai bertanya.
"Kenapa sih kalian semua diam saja?"
Mereka serentak menoleh. Mas Dika tampak sedih begitu pula Mbak Nia. Aku bingung dengan sikapnya. Ayah meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun.
"Mas, Mbak, ada apa? Apa ada yang salah denganku?" tanyaku penasaran.
"Tidak apa-apa. Ayo makan lagi. Nia, kamu juga, cepat makan.”
“Iya, Mas.”
“Mikha tidak perlu memikirkan apa pun. Mas sama Mbak Nia cuma lelah saja. Sudah, ayo, nikmati saja makananmu." Mas Dika tersenyum kecil, tetapi entah mengapa ia tampak seperti sedang berbohong.
Mas Dika menyendok nasi dan lauk-pauknya, begitu pula dengan Mbak Nia. Kurasa mereka semua menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku buru-buru menghabiskan makanan di piringku. Hari ini aku sudah berjanji untuk memeriksakan diri ke Dokter Ridho. Kemoterapi, tentu saja. Sebelum pergi, Mbak Nia sempat mengajakku ke ruang tamu. Mas Dika mengikutiku dari belakang.
"Kamu serius mau pergi dan tinggal di Jepang selamanya?" Tiba-tiba Mbak Nia bertanya tentang keputusanku.
Aku mengangguk. Mbak Nia memegang tanganku erat-erat. Dia menangis tersedu-sedu dan meminta maaf. Aku benar-benar sedih dengan situasi ini.
"Maafkan aku, Mikha. Mungkin selama ini aku selalu bersikap buruk padamu. Maaf sekali, Mas Dika sudah bercerita tentangmu tadi malam. Aku tidak percaya kalau kamu bukan adik kandung kami, dan selama ini kamu juga sudah menderita sendirian. Aku jelas bukan kakak yang baik untuk kamu. Selama kamu tinggal di sini, kamu selalu aku abaikan. Aku sudah bersikap tidak adil terhadapmu. Kamu pasti merasa tertekan dan—“
Mbak Nia terisak di kursi rotan. Aku dan Mas Dika menepuk-nepuk pundaknya.
“Tidak, Mbak. Itu semua tidak benar. Bukan salah Mbak Nia. Mbak Nia tidak pernah berlaku tidak baik padaku. Bagiku, Mbak dan Mas Dika adalah kakak-kakak terbaik. Aku pasti akan merindukan kalian kalau aku sudah sampai di sana.”
Aku meneteskan air mata. Tidak peduli bagaimana Mbak Nia bersikap terhadapku, dia tetaplah kakak perempuanku satu-satunya. Aku tidak ingin menghakiminya atas apa yang telah dia lakukan. Meskipun luka di hatiku kembali menganga mengingat kenangan itu, aku tidak ingin kepergianku menjadi beban baginya.
“Aku sudah memaafkan semuanya, Mbak.”
Mbak Nia segera menoleh padaku. Di tengah tangisnya, dia tersenyum getir. Mbak Nia memelukku, kami menangis bersama. Mas Dika menutup wajahnya, dia tersenyum menatap kami dan memalingkan tubuhnya. Sepertinya dia juga menangis.
“Kamu harus tahu, tidak peduli seberapa kerasnya aku sebagai seorang kakak. Di sini, di dalam hatiku, aku selalu menyayangi adik perempuanku. Percaya atau tidak, kenyataannya memang seperti itu.” Mbak Nia menyeka air mataku dengan kedua tangannya.
"Aku percaya. Aku juga sangat menyayangi kalian," kataku.
Aku menarik napas pendek, "Secara biologis aku memang bukan anak kandung ayah dan ibu. Tapi bagiku, kalian semua adalah keluargaku yang paling berharga. Aku tidak akan melupakan semua tentang kalian dan rumah ini." Lanjutku sambil tersenyum.
Diam-diam aku menangkap bayangan Ayah yang mengintip dari balik dinding. Beliau meneteskan air mata, aku mengumpat dalam hati dengan suasana yang haru ini. Kenapa harus ada kesedihan di rumah ini, ugh!
"Mikha, tidak bisakah kamu tetap tinggal di sini?”
Aku menggeleng, "Maaf, Mbak Tapi aku ingin bertemu dengan orang tua kandungku. Aku ingin menghabiskan waktu di tanah kelahiranku.”
"Menghabiskan waktu? Apa maksudnya?" Sela Mas Dika.
Aku terkejut. Aku baru sadar bahwa ucapanku bisa menimbulkan kecurigaan bagi mereka. Aku buru-buru memikirkan jawaban yang tepat.
"Maksudku, karena selama dua puluh tahun ini aku sudah terpisah dari ibuku. Aku ingin tinggal bersamanya untuk menebus waktu yang telah berlalu. Begitu.”
"Aku mengerti. Kamu pasti hancur saat mengetahui kenyataan pahit ini.”
"Tidak juga."
"Hm?" Mas Dika menatapku dengan sangsi.
Aku mencoba tersenyum dan berbicara dengan nada ceria. “Soalnya di sini, aku punya keluarga yang sangat menyayangiku. Mungkin benar aku kecewa karena ayah dan ibu menyimpan rahasia ini, tapi aku yakin mereka sudah memikirkan yang terbaik untukku."
"Kamu hebat sekali, Mikha."
"Mas Dika dan Mbak Kania jauh lebih baik dariku." Aku tersenyum lega.
"Mas, Mbak... aku mohon bantuan kalian semua, ya. Tolong sampaikan salam dan terima kasihku kepada Ayah dan Ibu. Jaga mereka selalu, aku titip mereka pada kalian.”
"Tentu saja. Kamu juga jaga kesehatanmu, Mikha."
Aku mengangguk.
Kami bertiga kembali berpelukan. Bagiku, tidak ada kebahagiaan selain ini, bisa berkumpul dengan orang-orang yang paling berharga dalam hidup kita, saling mencurahkan kasih sayang seperti ini. Aku bahagia, mungkin ini akan menjadi kenangan terindah dalam hidupku. Meski kurasa merasa masih ada yang kurang, Ayah dan Ibu.
"Aku mau beres-beres dulu ya, Mbak, Mas. Hari ini aku harus berangkat ke bandara."
"Kalau begitu, biar Mas dan Mbak saja yang antar kamu ke bandara.”
"Jangan. Tidak usah, Mas. Terima kasih. Mas sama Mbak kan baru pulang dari luar kota, sebaiknya kalian istirahat di rumah saja. Kebetulan aku juga sudah pesan taksi online dan mungkin sebentar lagi taksinya datang. Nanti sebelum pergi, aku juga mau ketemu dulu sama teman-teman di kampus buat kasih salam perpisahan." Jawabku sedikit berbohong.
"Baiklah kalau itu mau kamu. Hati-hati ya, Dek."
Aku mengangguk pelan. Di dalam kamar, aku memeriksa lagi isi koperku, beberapa pakaian kumasukkan kembali ke dalam lemari. Aku sengaja melakukannya untuk mengurangi beban barang bawaanku. Ya, barang-barang yang kubawa hanyalah barang yang penuh dengan kenangan-kenangan masa kecil. Aku tidak terlalu memikirkan pakaian dan barang-barang lainnya. Sudah seharusnya seperti ini. Setelah selesai, aku segera berpamitan kepada mereka. Tadinya aku ingin meminta doa dari Ayah, tapi ternyata Ayah sudah pergi bekerja, aku hanya bisa menitipkan salamku kepadanya melalui Mbak Nia.
Mas Dika membantuku memasukkan koper ke bagasi mobil. Mereka melambaikan tangan kepadaku. Mataku berkaca-kaca menatap mereka, aku akan pergi dan tidak akan bisa bertemu mereka lagi, selamanya.
"Pak, nanti di jalan putar balik ke RS Almeira, ya!" kataku pada sopir taksi.
“Lho, kita nggak jadi ke bandara, Mbak?”
“Nggak. Saya ada urusan mendadak di sana. Bapak tenang saja, nanti saya tetap bayar tagihannya sesuai biaya perjalanan ke bandara.”
"Baik, Mbak."
***
Rumah sakit Almeira.
Dari kejauhan kulihat Dokter Ridho sudah menungguku di tempat parkir. Dokter Ridho serius sekali dalam menangani penyakitku, dia betul-betul menghawatirkan aku sampai-sampai dia rela kepanasan di sana. Aku melambaikan tangan pada Dokter Ridho. Dokter Ridho langsung menjadi pusat perhatian begitu aku tiba di sana.
Dokter Ridho sudah menyiapkan kursi roda di depan parkiran rumah sakit. Dia berjalan ke arah taksi yang aku tumpangi, membuka pintu mobil, lalu menyuruhku untuk duduk di kursi roda dengan alasan agar aku tidak cepat lelah. Dia juga membantu membawakan koperku. Tanpa merasa takut diawasi oleh beberapa pasang mata, Dokter Ridho terus mendorong kursi rodaku dengan satu tangan sambil membawakan koperku.
"Tunggu sebentar, ya!" katanya setelah kami sampai di ruangannya.
Aku mengangguk. Ruangan Dokter Ridho masih sama seperti sebelumnya, penuh dengan pernak-pernik monokrom. Tidak berbau obat dan sangat rapi, tidak seperti ruangan dokter yang lainnya.
Tak heran, Dokter Ridho merupakan dokter muda yang baru tiga tahun meniti karier di rumah sakit ini. Kabarnya, Dokter Ridho juga masih lajang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun itu.
Namun yang lebih membuatku takjub adalah, Dokter Ridho selalu bersikap terbuka dan sangat baik hati. Dia selalu menolong pasien-pasiennya, apalagi jika pasien tersebut berasal dari keluarga kurang mampu.
Baginya, menjalankan tugasnya sebagai dokter berarti dia harus selalu terbuka pada pasien-pasiennya. Dia memiliki tanggung jawab yang besar untuk itu, dan ia tidak akan membiarkan pasien-pasiennya pergi begitu saja sebelum kondisi mereka membaik. Itulah yang aku ketahui tentangnya.
"Pasiennya ada di ruangan saya!”
Aku menoleh mengikuti suara itu. Suara derit brankar yang seharusnya didorong oleh dua orang itu membuatku terkejut. Dokter Ridho datang sambil terengah-engah, rupanya sejak tadi dia mendorong ranjang besi itu seorang diri.
Aku menyodorkan air minum di mejanya, "Minum dulu, Dokter."
Dokter Ridho menyeka keringatnya dan meneguk air mineral itu. Dokter Ridho menyuruhku berbaring di atas brankar, dia mulai memeriksa tekanan darah dan kesehatanku. Kemudian dia menyuntikkan obat ke dalam cairan infus yang kini berada di pergelangan tanganku.
"Mikha, apakah kamu masih sering mimisan belakangan ini?"
"Iya. Kadang-kadang bahkan sampai sakit di bagian punggung."
"Kamu tidak boleh terlalu lelah, Mikha. Apalagi sampai memikirkan terlalu banyak hal. Kamu harus minum obat secara teratur dan jika kamu mengalami memar, demam, atau pembengkakan kelenjar, segera periksakan kondisimu atau hubungi saya secepatnya, mengerti?’
"Baik, Dok. Terima kasih."
Sebenarnya aku tidak ingin berada di rumah sakit dan bersentuhan dengan obat-obatan lagi. Namun sejak melihat ketulusan di wajah Dokter Ridho, aku jadi agak takut jika harus mengecewakan semua usaha Dokter Ridho yang sudah banyak membantuku dan berusaha memberikan yang terbaik untuk kesembuhanku ini.
"Setelah ini aku bisa langsung pulang, kan, Dokter?"
"Istirahat dulu satu atau dua jam. Kamu baru datang dan saya juga baru saja menyuntikkan obat ke tubuhmu. Kita lihat hasilnya nanti. Jika kami merasa pusing dan lemas jangan memaksakan diri untuk pulang dari sini, mengerti?”
"Iya, Dok.”
Aku menurutinya sambil memasang wajah cemberut. Jujur saja, aku tidak ingin mengecewakan Dokter Ridho, jadi aku berusaha memejamkan mata hingga akhirnya aku benar-benar tertidur. Satu jam sudah berlalu, aku hampir tertidur lagi. Dokter Ridho tidak terlihat di ruangan itu, jadi aku berjalan ke kamar mandi dan mencuci muka, memakai riasan agar terlihat lebih segar di hadapan semua orang. Akhir-akhir ini, aku harus repot-repot memakai riasan untuk menghindari kecemasan orang-orang di sekitarku.
"Mau ke mana?" Tiba-tiba, Dokter Ridho sudah duduk di kursinya. Entah sejak kapan dia masuk ke ruangannya ini.
"Aku harus pergi, Dokter. Hari ini teman baikku bertunangan dan dia pasti sudah menungguku sejak tadi."
"Jadi itu alasannya kamu membawa koper itu? Apa kamu mau menyiapkan dekorasinya?"
Aku mengangguk pelan. Sebenarnya, aku lupa memberi tahu Dokter Ridho bahwa hari ini aku akan pergi ke Jepang, lebih tepatnya ke tempat ibu kandungku berada, di Kamakura. Namun, aku tidak memiliki kewajiban untuk memberitahukan semuanya, aku takut Dokter Ridho akan semakin mencemaskan kondisiku.
“Sebentar lagi jam kerja saya habis. Kamu mau saya antar ke tempat pertunangan sahabatmu itu?"
"Eng, nggak usah, Dok. Aku bisa pergi sendiri, kalau dokter yang antar, nanti dokter jadi bahan gosip. Nggak baik buat karier dokter,"
"Haha, Mikha, Mikha... sejak kapan kamu mikir begitu? Kamu kan sudah saya anggap seperti adik sendiri, selain itu, kamu juga pasien saya. Kenapa saya harus repot-repot memikirkan apa kata orang? Saya nggak peduli dengan hal itu, yang saya pedulikan itu cuma kamu."
Aku terharu mendengarnya. Tapi meskipun Dokter Ridho mengatakan hal semanis itu, dia tidak boleh tahu yang sebenarnya. Aku harus menolak tawaran dari Dokter Ridho dengan sopan sampai Dokter Ridho benar-benar menyerahkanku untuk bepergian sendiri.
"Ya sudah, tapi kalau ada apa-apa di jalan kamu harus segera hubungi saya.”
"Pasti, Dokter. Terima kasih.”
Dia tersenyum sambil mengelus kepalaku dengan lembut. Kami keluar dari ruangan dokter bersama menuju ke tempat parkir mobil. Sengaja aku pesan taksi lebih lambat dari sebelumnya supaya Dokter Ridho bisa pulang lebih dulu dan tidak lagi mencemaskanku, apalagi sampai mengikuti aku.
***
Kafe Chico, Acara pertunangan Adam.
Aku berusaha untuk tetap tenang dan tidak meneteskan air mata. Setelah sopir memarkirkan mobil dan menungguku di seberang jalan, aku memberanikan diri untuk masuk ke kafe tempat acara itu diadakan.
Kulihat beberapa teman lama dengan gembira mengelilingi Adam dan juga... dia. Kurasa perempuan itu adalah orang yang paling beruntung untuk bisa menemani Adam sepanjang hidupnya.
"Mikha!" teriak Adam dari jauh. Suaranya ceria sekali.
Dadaku berdegup kencang saat pandangan kami bertemu. Ketenangan hatiku terusik, aku tidak boleh terlihat terlalu emosional di depan semua orang. Aku berusaha menyunggingkan senyum di bibirku dan berjalan seanggun mungkin.
"Selamat ya, Adam. Semoga pernikahanmu segera berlanjut." Aku mengulurkan tanganku, menjabat tangannya.
"Terima kasih sudah datang, Mikha."
"Oh ya, ini hadiah untukmu." Aku meraih tas kecil yang kubawa dan menyerahkan kotak hadiah yang tadinya tidak ingin kuberikan.
"Untuk apa repot-repot begini. Oh ya, biar kuperkenalkan dia padamu." Adam menggenggam tanganku, mengajakku bertemu dengan gadis itu. Gadis yang kini berstatus sebagai calon istrinya.
"Fit, perkenalkan, dia Mikha. Mikha, ini Fitri."
"Hai, senang bertemu denganmu."
Fitri tidak banyak bicara, dia hanya tersenyum tipis dan menatapku sinis. Aku baru sadar Adam masih menggenggam pergelangan tanganku erat.
"Ehh, maaf, Dam. Tanganmu,” kataku berbisik pelan.
Adam sedikit terkejut. Tampaknya dia juga tidak sadar kalau sedari tadi dia memegang tanganku dengan erat. Adam langsung melepaskan tanganku pelan-pelan.
"Maaf." Katanya.
Aku tak menjawab. Karena suasana mulai agak dingin, aku lalu pamit untuk ke kamar mandi sebentar. Namun di saat yang bersamaan Fitri rupanya mengikutiku.
"Seharusnya kamu datang lebih awal!" Suara Fitri sedikit meninggi.
"Maaf, tadi aku ada urusan di tempat lain.”
"Ya. Seharusnya kamu datang ke sini sebelum pergi ke tempat lain itu.”
Dia benar-benar ketus.
“Kenapa kamu bicara begitu?”
“Kenapa? Bukankah kalau kamu datang ke sini lebih awal, kamu bisa menggagalkan pertunangan kami? Benar, kan?”
“Apa?”
“Nggak usah sok polos. Aku tahu kalau Adam sebenarnya punya perasaan sama kamu, kalau tidak begitu, untuk apa dia mengundangmu ke sini?"
"Apa yang kamu bicarakan?"
Aku semakin tidak mengerti..
Fitri mendesis. “Jangan pura-pura tidak tahu! Kalian punya hubungan, kan?”
Aku menggelengkan kepala, "Adam mencintaimu, itu sebabnya dia bertunangan denganmu. Dengar, Fit, Adam itu bukan laki-laki brengsek seperti yang kamu kira. Kalau dia menginginkan hubungan serius dengan seseorang, dia pasti akan melakukannya. Kalian sudah bertunangan, jadi apa lagi yang membuatmu meragukannya?
“Perlu kamu tahu, Adam memilih kamu karena kamu adalah orang yang tepat untuknya. Adam tidak mungkin memiliki perasaan padaku, hubungan kami hanya sebatas teman. Tidak lebih. Dan aku yakin, hanya kamu yang bisa membuat Adam bahagia."
"Sepertinya kamu lebih mengenal Adam daripada aku. Kamu suka sama dia, kan?”
"Itu nggak mungkin."
"Kenapa nggak mungkin? Tatapan mata kalian sudah menjelaskan semuanya. Apa lagi yang mau kamu tutupi dariku?”
"Kamu salah, Fitri. Adam tidak akan pernah merasa bahagia seperti dia bahagia saat bersama kamu."
"Terus bagaimana kalau ternyata Adam itu punya perasaan sama kamu?"
Aku yang tadi hendak meninggalkannya sendiri di toilet ini seketika menghentikan langkahku. Tanganku masih memegang gagang pintu, hatiku sedikit sakit mendengar pertanyaan itu. Aku menoleh ke arah Fitri yang tengah menatapku dengan sorot matanya yang tajam.
Aku tersenyum, "Semua itu nggak akan pernah terjadi." Ucapku sambil berjalan pergi.
Di depan, saat aku sedang mengambil ponsel dari tas, ada yang menyenggolku dari belakang hingga membuatku terjatuh, untung saja ada yang memegang tanganku jadi aku tidak benar-benar terjatuh ke lantai. Aku segera meraih tasku sebelum ada yang melihat kejadian ini.
"Terima kasih." Ucapku dingin. Aku tidak menyangka kalau Adam yang menolongku itu.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Mikha.”
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku sambil memunggunginya.
"Tidak. Kita tidak bisa bicara seperti ini. Tolong lihat ke arahku, Mikha. Apa kamu betul-betul tidak marah dengan pertunanganku ini?"
"Hah?" Aku membalikkan badanku untuk menatapnya.
Aku mendekatinya, dadaku berdegup kencang, semakin dekat semakin kurasakan desakan yang menyesakkan itu. Aku tidak peduli, aku ingin membuatnya yakin dengan pilihannya.
"Apa kau melihat kemarahan di mataku? Apa wajahku muram? Tidak, kan? Aku senang kamu akhirnya bisa bertunangan dengan Fitri. Aku senang melihat sahabatku telah menemukan kebahagiaannya. Kenapa kamu masih bertanya apakah aku marah atau tidak?"
"Mikha, aku..."
"Cukup, Dam! Aku minta kamu percaya bahwa aku sangat senang melihatmu bahagia. Kebahagiaan sahabatku adalah kebahagiaanku, aku sangat bersyukur kamu bersedia berteman dengan orang aneh sepertiku. Aku bahagia, Adam. Aku bahagia.”
Kami terdiam sejenak. Pandangan kami bertemu, syukurlah aku masih bisa menahan air mata ini. Setidaknya selama mata kami bertemu, tidak ada setetes air mata pun yang jatuh dari pelupuk mataku.
"Aku harus pergi. Jaga Fitri, buat dia selalu merasa bahagia karenamu." Ucapku sambil melangkah pergi.
"Tunggu!" Adam memelukku dari belakang, "Aku sungguh mencintaimu, Mikha..." Adam berbisik di telingaku.
Terlambat. Kenapa baru mengatakannya sekarang?
Hatiku membatin.
Aku tidak kuasa menahan air mataku. Kali ini mataku mulai dibanjiri oleh tetesan bening hangat itu. Dadaku terasa panas dan bergejolak. Aku tak boleh seperti ini. Apa yang Adam lakukan? Setelah dia bertunangan dengan orang lain, dia mengatakan itu kepadaku. Hal yang selama ini ingin aku dengar langsung darinya jauh sebelum dia dan Fitri bertemu dan melangsungkan pertunangan mereka di tempat ini hari ini.
Kini semua itu hanyalah sia-sia. Semuanya sudah terlambat. Adam sudah bertunangan. Aku takkan bisa membiarkannya mengkhianati hati seorang gadis. Sudah cukup bagiku, sudah cukup bagiku untuk terluka. Aku tidak ingin perempuan itu juga merasakan luka yang kurasakan saat ini.
Dadaku terasa sesak, aku segera melepaskan pelukannya dan berlari menuju tempat parkir. Aku tak peduli dengan Adam yang terus meneriakkan namaku di antara tamu undangan yang hadir. Aku menyuruh sopir itu untuk segera memacu mobilnya dan mengejar jam terbangku ke bandara Soetta.
Selamat jalan Adam, dengan ini kamu hanyalah separuh kenangan bagiku. Meski aku tahu, aku mungkin akan sulit melupakan semua tentangmu tapi aku akan berusaha sekuat tenaga. Perlahan tapi pasti aku akan bisa melupakan semua kenangan tentangmu di hidupku.
Selamat tinggal Adam...
Selamat tinggal kenangan...
Semoga dengan kepergianku ini, kamu akan lebih memperhatikan dia. Aku sangat percaya pada takdir yang telah dituliskan oleh Tuhan, dibandingkan dengan aku yang sedang sakit ini. Perempuan itu lebih cocok untuk menemanimu selama-lamanya.
Semakin jauh jarak yang ditempuh untuk menuju ke kehidupan yang baru, semakin cepat aku melupakan semua kesedihan dalam hidupku. Tentang masa lalu yang penuh derita dan ketidakadilan, kuliahku yang gagal dan berantakan, hingga akhirnya sampai pada kisah cintaku yang sama sekali tidak berjalan dengan mulus.
Semua luka yang masih menganga lebar. Ditambah dengan penyakitku yang saat ini mulai menggerogoti tubuhku. Aku tidak layak mengharapkan cinta.
Kini aku merasa mual, sesak napas, lemas. Hidungku kembali berdarah, aku sibuk mencari tisu, obatku juga tidak ada di tas, mungkin terjatuh saat aku bertabrakan tadi. Kepalaku terasa pusing, pandanganku kabur, darah terus merembes dari hidungku. Aku semakin lemas, hingga tidak sanggup melanjutkan perjalananku.
Ibu, aku ingin bertemu denganmu, aku ingin melihat wajahmu, aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu...
Aku terus bergumam lirih. Tidak lama kemudian aku tidak dapat mengingat apa pun lagi. Semuanya menjadi gelap gulita.
***
Tubuh lunglaiku terbaring tak berdaya. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Bau obat-obatan kimia mulai tercium di mana-mana. Pergelangan tanganku terinfus. Aku mendesah kecil, kini seluruh tubuhku benar-benar terasa kaku. Punggungku apalagi, rasanya nyeri sekali. Tampaknya sopir taksilah yang sudah membawaku ke rumah sakit ini. Mungkin sopir itu panik melihat kondisiku yang tiba-tiba mimisan dan jatuh pingsan di mobilnya. Tapi di mana sopir itu Aku masih belum sempat mengucapkan terima kasih dan membayar ongkos taksinya.
"Mikha," suara lembut yang sangat kukenal terdengar di telingaku. Sayang, aku tidak bisa membalikkan tubuhku. Aku hanya bisa menggerakkan bola mataku tapi pandanganku tak bisa mencapai keberadaannya.
"Syukurlah kamu sudah sadar. Sudah lima hari kamu melewati masa kritis. Saya sangat khawatir saat mendapat kabar tentang kondisimu dari sapir taksi yang akan mengantarmu ke bandara. Beruntung kamu segera dilarikan ke rumah sakit." Wajah Dokter Ridho tampak sedikit kecewa mengetahui bahwa aku telah berbohong.
"Maaf dokter, aku tidak bermaksud untuk berbohong pada Dokter," Aku lalu menceritakan semua yang terjadi dalam hidupku, termasuk niatku untuk pergi menemui orang tua kandungku di Jepang.
Dokter Ridho tampak terkejut mendengarnya. Dia lalu memelukku dan membiarkanku menangis di pundaknya. Aku tidak mengerti mengapa dia ikut menangis seperti itu, mungkin dia bersimpati padaku atau hanya merasa kasihan padaku karena hidupku tidak akan lama lagi.
"Dokter, bagian ini terasa nyeri. Rasanya tulang-tulangku ikut patah." Kataku sambil menunjuk punggungku.
Dokter Ridho cepat-cepat memeriksaku. Dia menyuntikkan obat pereda nyeri. Perlahan-lahan pandanganku berubah sayu, aku tersenyum padanya sambil mengucapkan terima kasih.
Aku mencoba meraih jemarinya, menggenggam erat tangan Dokter Ridho yang terasa begitu hangat menjalar ke seluruh tubuhku yang terasa dingin. Perlahan mataku terpejam dan genggaman itu terlepas sendiri.
“Mikha?” Dokter Ridho berbisik di telingaku. Aku masih bisa merasakan jemarinya menyentuh pergelangan tanganku. “Tidak, kumohon. Bertahanlah, Mikha.”
Aku tidak berdaya. Tubuhku terasa lemas. Samar-samar aku melihat Dokter Ridho memasang stetoskop di telinganya. Dokter Ridho memanggil-manggil namaku. Lalu, beberapa orang suster datang membawa beberapa alat medis.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku, tubuhku rasanya ringan seperti kapas. Semua beban yang kurasakan lenyap seketika. Aku merasa seperti terbang bersama jutaan kupu-kupu di angkasa. Senyumku mengembang, aku pun tertidur.
Dokter Ridho berdiri di sampingku. Kudengar suaranya yang memanggil-manggil namaku. Dia sudah melakukan CPR. Lalu berhenti, dan menangis. Dokter Ridho mengelus rambutku dengan penuh kasih, terakhir aku masih bisa mendengar tangisan Dokter Ridho di sampingku. Dokter Ridho membisikkan kata-kata di telingaku.
"Kumohon. Bertahanlah. Kembalilah. Mikha. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Kumohon.”
Aku tidak tahu persis apa yang terjadi setelah itu. Mataku terasa berat dan aku pun tertidur. Namun yang kurasakan sekarang adalah kebahagiaan dan rasa kebebasan. Setelah melewati masa-masa sulit itu, betapa banyak penderitaan yang kualami dengan begitu banyak air mata yang terpendam.
Lalu, Adam? Kulihat ia berlari menyusuri koridor rumah sakit. Matanya basah oleh kesedihan. Ayah, Ibu, Mas Dika dan Mbak Nia juga ada di sana. Mereka berlari menyusul Adam. Adam datang dan membanting pintu kamar tempatku berbaring dengan kaku sambil meneriakkan namaku.
Kurasakan jemarinya menyentuh pergelangan tanganku. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menangis, yang kulihat semua orang di ruangan ini sedang menangisiku.
Mataku terasa berat untuk terbuka, seluruh tubuhku lemas. Apakah ini adalah akhir dari hidupku? Hatiku bertanya dalam hati. Sejenak aku tersenyum lemah.
Mungkin inilah ajalku. Hidupku sudah berakhir.
Selamat tinggal, Adam.
Selamat tinggal Dokter Ridho.
Selamat tinggal Ayah, Ibu, Mas Dika, Mbak Nia.
Selamat tinggal kesedihan.
Selamat tinggal semuanya.
Sampai jumpa lagi di kehidupan abadi.
Terima kasih atas kebaikan kalian semua....
-Fin