Aku tidak pernah mengira perkenalan itu akan membuatku terikat begitu dalam. Semuanya bermula dari seorang teman yang mengasih sebuah nomor orang,yang tidak aku kenal.awal nya kami hanya perkenalan saja hingga lama lama kami agak semakin dekat.
Dari hari itu percakapan kami mengalir seperti air. Aku, seorang gadis berusia 14 tahun yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, menemukan kehangatan dari kalimat-kalimat lelaki bernama Mugan yang tak pernah kutemui sebelumnya.
Hari-hari kami penuh cerita. Dari hal remeh tentang hobby hingga kami sempat bermain game bersama . Mugan selalu punya cara membuatku tersenyum ketika membaca chatnya,dengan cara nya yang seperti itu membawa ketenangan yang sulit kujelaskan. Dia juga pernah menelpon ku sekali, aku ingat itu, kami berbincang dan bercanda tawa .Aku mulai merasa seperti mengenalnya jauh lebih lama daripada kenyataannya.
Namun, aku tak bisa menutupi kekanak-kanakanku. Kadang, aku membanjiri ponselnya dengan pesan-pesan yang mungkin terlalu berlebihan.
"gan, kamu lagi apa?"
"gan, kok nggak balas sih? Marah ya?"
"mug, udah makan,nggak."
Awalnya, dia menanggapi dengan sabar. Tapi, perlahan, aku merasakan ada yang berubah. Pesannya semakin jarang. Balasannya semakin singkat.
Hingga suatu malam, sebuah pesan darinya muncul di layar ponselku:
"Kita udahan aja." ujarnya
"kalau aku enggak mau gimana?"Tanya ku
"Kalau aku enggk peduli gimana?" tanya nya balik
"Maksud kamu apa?" aku yang kebingungan tak mengerti dari semua itu
"Ada kata kata terkahir?" balas nya
"Kalau aku nangis gimana? "Ujar ku sambil menahan sakit air mata
"aku enggk peduli"
Setelah itu ,belum aku sempat membalas Chatnya, ia lalu memblokir nomor ku.
seketika aku merasa amat sedih,aku tak tahu apa yang aku lakukan sehingga dia begitu, kalau di tanya rasanya ya.
Rasanya seperti ada yang mencabut oksigen dari sekitarku. Aku membaca pesan itu dengan tangan gemetar, mencoba memintanya menjelaskan, tetapi tak pernah ada jawaban.
Aku menatap ponselku setiap malam, berharap dia berubah pikiran. Tapi, pesan terakhir itu tetap menjadi penghuni terakhir di ruang percakapan kami.
Hari demi hari berlalu, dan aku mulai menerima kenyataan bahwa mugan benar-benar pergi. Aku menyimpan pesan terakhirnya, bukan sebagai luka, tapi sebagai pengingat.
Aku sadar, mungkin dia benar. Aku memang masih perlu waktu untuk tumbuh. Tapi rasa kehilangan itu tidak akan pernah sia-sia. Dari setiap kata yang pernah kami bagi, aku belajar satu hal: mencintai bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang kesiapan menerima dan memahami.
mugan, jika suatu hari kita bertemu lagi, aku ingin kau tahu: aku sudah menjadi versi terbaik dari diriku. Terima kasih telah menjadi bagian kecil dari perjalananku.