Malam jatuh pekat di Alas Setra, sebuah hutan tua di pedalaman Jawa. Angin menggesek dedaunan, menciptakan suara lirih seperti bisikan. Hutan itu bukan sekadar tempat yang ditakuti; ia menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar mitos—ia hidup, dan tidak semua yang hidup itu ramah.
Di pinggir hutan, Prawira berdiri gelisah. Tangan kirinya memegang obor kecil yang cahayanya bergetar diterpa angin. Ia menatap jalan setapak yang membelah lebatnya hutan. Bau tanah basah bercampur dengan aroma samar kemenyan menusuk hidung.
“Wis dicritakake, Wir. Ojo mlebu alas iku, luwih-luwih wengi Suro ngene.” Suara Mbah Rekso masih terngiang di telinga Prawira. (“Sudah dibilang, Wir. Jangan masuk ke hutan itu, apalagi malam-malam di bulan Suro seperti ini.”)
Namun, ia tak punya pilihan. Kakaknya, Aryo, menghilang tiga hari lalu setelah nekat berburu di Alas Setra. Sejak itu, suara tembang Jawa kerap terdengar dari dalam hutan setiap tengah malam.
Dengan langkah ragu, Prawira memasuki Alas Setra. Suara tembang lirih mulai terdengar, namun ia tidak bisa memastikan dari mana asalnya.
Semakin jauh ia melangkah, semakin dingin hawa yang menyergap tubuhnya. Cahaya obor seperti enggan menerangi jalan. Di kejauhan, samar-samar terlihat siluet perempuan berdiri di bawah pohon randu besar.
“Sing sopo iku?” Prawira memberanikan diri bertanya. (“Siapa itu?”)
Perempuan itu menoleh perlahan. Rambutnya panjang menjuntai, menutupi sebagian wajahnya. Namun saat ia mengangkat kepala, Prawira melihat senyum yang tak wajar.
“Kowe nggoleki Aryo?” Suaranya dingin, seperti angin malam yang menusuk tulang. (“Kamu mencari Aryo?”)
Deg. Nama kakaknya disebut dengan suara yang begitu dingin. Prawira berusaha tetap tenang.
“Iyo, Aryo. Sampeyan ngerti dheweke neng ngendi?” tanyanya dengan suara bergetar. (“Iya, Aryo. Apakah Anda tahu dia ada di mana?”)
Perempuan itu tertawa kecil, namun tawa itu berubah menjadi tangis pilu. “Bakal ketemu. Nanging ora kowe sing nglairke dheweke metu saka alas iki.” (“Akan bertemu. Tapi bukan kamu yang akan membawa dia keluar dari hutan ini.”)
Sebelum Prawira sempat bertanya lagi, perempuan itu lenyap di telan kabut.
Prawira terus berjalan. Langkah kakinya semakin berat, seolah-olah tanah di bawahnya berusaha menahannya. Ia mulai mendengar suara gemerisik di sekitarnya, seperti langkah kaki yang mengikutinya.
“Mbok meneng wae, Wir. Ojo nengok, ojo nengok…” gumamnya pelan, mengingat pesan Mbah Rekso. (“Diam saja, Wir. Jangan menoleh, jangan menoleh…”)
Tiba-tiba, terdengar suara Aryo dari belakangnya.
“Adik! Iki aku, Aryo! Tulung, Wir! Aku kedinginan…” (“Adik! Ini aku, Aryo! Tolong, Wir! Aku kedinginan…”)
Prawira berhenti. Suara itu begitu jelas, begitu akrab. Ia hampir menoleh, tapi pesan Mbah Rekso kembali terngiang.
“Ojo nengok, apapun sing kok rungokno.” (“Jangan menoleh, apapun yang kamu dengar.”)
“Aryo?” tanyanya tanpa menoleh. Suaranya hampir pecah. (“Aryo?”)
“Aku kedinginan, Wir. Aku ing kene, nang mburi. Tulung…” Suara itu terdengar semakin lemah, hampir seperti isak tangis. (“Aku kedinginan, Wir. Aku di sini, di belakang. Tolong…”)
Kaki Prawira bergetar. Ia ingin berlari, namun tubuhnya terasa berat. Ia memejamkan mata, menahan diri untuk tidak menoleh.
Setelah berjalan beberapa langkah lagi, Prawira melihat sesuatu di depannya. Sebuah gubuk reyot berdiri di bawah pohon besar. Di dalamnya, ia melihat sesosok tubuh tergolek lemas—Aryo!
“Kang, iki aku! Aku bakal nylametke sampeyan!” teriaknya sambil berlari mendekat. (“Kak, ini aku! Aku akan menyelamatkanmu!”)
Namun, saat ia menyentuh tubuh itu, Aryo menoleh. Matanya kosong, bibirnya membiru, dan sebuah senyuman perlahan merekah di wajahnya.
“Wis telat, Wir…” bisiknya dengan suara yang terdengar bukan miliknya sendiri. (“Sudah terlambat, Wir…”)
Tiba-tiba, tangan Aryo mencengkeram erat pergelangan Prawira. Dari belakangnya, suara perempuan tadi terdengar lagi, kali ini lebih dekat.
“Kowe melu, to? Pancen seduluran ora bakal pisah…” Perempuan itu tertawa, sementara tubuh Prawira ditarik ke dalam kegelapan gubuk. (“Kamu ikut, ya? Memang saudara tak akan terpisah…”)
Di luar, tembang Jawa kembali terdengar, mengiringi keheningan malam di Alas Setra.