#Prolog
Di sebuah desa terpencil, terdapat sebuah sekolah tua yang sudah lama ditinggalkan. Sekolah itu dikenal dengan nama SD Harapan, namun kini hanya menyisakan puing-puing dan kenangan kelam. Konon, banyak cerita menyeramkan yang beredar tentang tempat ini. Suara anak-anak yang tertawa, langkah kaki, dan bisikan misterius sering terdengar oleh mereka yang berani mendekat.
Suatu hari, sekelompok siswa dari SMA setempat memutuskan untuk menjelajahi SD Harapan. Mereka terdiri dari empat orang: Dika, Lila, Rudi, dan Sari. Dika adalah pemimpin kelompok yang selalu berani mengambil risiko, sementara Lila dan Sari lebih skeptis. Rudi, si penakut, hanya mengikuti teman-temannya karena tidak ingin dianggap pengecut.
Mereka tiba di sekolah saat senja. Bangunan itu tampak angker dengan jendela-jendela pecah dan dinding yang dipenuhi lumut. Meskipun suasana mencekam, Dika mengajak teman-temannya masuk ke dalam.
Begitu memasuki ruang kelas pertama, mereka merasakan hawa dingin yang aneh. Dika mencoba menyalakan senter untuk menerangi ruangan. Saat cahaya menyinari dinding, mereka melihat coretan-coretan aneh yang menggambarkan wajah-wajah menyeramkan.
“Ini pasti karya anak-anak nakal,” kata Dika sambil tertawa. Namun, Lila merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ia mendengar suara samar-samar dari arah lorong.
“Dengar! Apa itu?” tanya Lila dengan nada cemas.
“Cuma suara angin,” jawab Dika dengan percaya diri. Namun, Rudi mulai merasa tidak nyaman dan ingin pergi.
Mereka terus melanjutkan eksplorasi ke ruang perpustakaan. Di sana, mereka menemukan buku-buku tua yang berdebu. Salah satu buku menarik perhatian Sari, buku itu terbuka pada halaman yang menggambarkan sejarah sekolah tersebut. Ternyata, SD Harapan pernah menjadi tempat belajar bagi anak-anak sebelum tragedi mengerikan terjadi—sebuah kebakaran besar yang menewaskan banyak siswa.
Tiba-tiba, lampu senter Dika berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Dalam kegelapan, mereka mendengar suara anak-anak tertawa dan berlari-lari di luar ruangan.
“Apa kalian mendengar itu?” tanya Rudi dengan suara bergetar.
“Itu hanya imajinasimu,” jawab Dika sambil mencoba menyalakan senter lagi.
Saat mereka berusaha keluar dari perpustakaan, pintu tiba-tiba tertutup dengan keras. Mereka panik dan mencoba membuka pintu, tetapi tidak berhasil. Suara tawa anak-anak semakin dekat dan terdengar semakin jelas.
“Ini bukan lelucon lagi! Kita harus keluar!” teriak Lila sambil memukul pintu.
Ketika mereka berusaha mencari jalan lain, bayangan hitam melintas di depan mereka. Sari berteriak ketakutan saat melihat sosok seorang gadis kecil dengan gaun putih kotor dan rambut panjang terurai.
“Bantu… kami…” suara gadis itu terdengar lirih sebelum menghilang dalam kegelapan.
Mereka mulai merasakan ketakutan yang mendalam. Rudi terjatuh dan tidak bisa bergerak karena ketakutan. Dika berusaha menenangkan teman-temannya dan mencari jalan keluar lain. Namun saat mereka berlari ke lorong, suara tawa anak-anak kembali terdengar di belakang mereka.
“Jangan tinggalkan aku!” teriak Rudi sambil merangkak mundur.
Lila dan Sari menarik Rudi untuk berdiri dan bersama-sama mereka berlari menuju pintu keluar utama. Namun saat mencapai pintu tersebut, mereka menemukan bahwa pintu itu terkunci rapat.
Dalam keadaan putus asa, mereka mendengar suara gadis kecil itu lagi. “Kenapa kalian datang ke sini? Sekolah ini milik kami!” Suara itu menggema di seluruh ruangan.
Akhirnya, Dika menemukan jendela pecah di sisi lain ruangan dan mereka memutuskan untuk melompat keluar meskipun terluka oleh pecahan kaca. Mereka berhasil keluar dari sekolah tersebut dengan napas tersengal-sengal dan hati berdebar-debar.
Setelah berhasil keluar, mereka berlari sejauh mungkin tanpa menoleh ke belakang. Namun saat sampai di desa, mereka menyadari bahwa Rudi tidak ada di antara mereka.
Keesokan harinya, berita tentang hilangnya Rudi menyebar di desa. Teman-temannya tahu bahwa Rudi masih terjebak di dalam SD Harapan—sekolah yang terlupakan oleh waktu namun tetap menyimpan rahasia kelamnya sendiri.
### Epilog
Sekolah itu tetap berdiri dengan angkuh di tengah desa, menjadi saksi bisu dari tragedi masa lalu. Dan setiap kali malam tiba, suara tawa anak-anak akan kembali terdengar dari dalam bangunan tua itu—menyambut siapa pun yang cukup berani untuk mendekat… atau cukup bodoh untuk masuk ke dalamnya lagi.