Malam itu hujan deras banget. Desa kecil di pinggir hutan jadi makin sunyi, cuma ada suara gemuruh petir sesekali. Ardi, mahasiswa jurusan arkeologi, baru aja sampai di rumah tua peninggalan keluarganya. Rumah itu berdiri terpencil di ujung desa, diapit pohon-pohon tua yang rimbun. Pintu kayunya besar, catnya udah ngelupas. Di depan pintu, Ardi nahan napas sebentar, ragu.
“Kamu beneran yakin mau tinggal di sini sendirian, Di?” tanya Pak Burhan, pemilik warung desa yang barusan nganterin dia pake sepeda motor tuanya.
“Yakin, Pak,” jawab Ardi sambil senyum tipis. Sebenarnya dia sendiri nggak seratus persen yakin, tapi dia nggak mungkin bilang itu. “Saya cuma butuh tempat tenang buat riset. Lagipula, rumah ini kan warisan keluarga, Pak. Nggak mungkin dibiarin gitu aja.”
Pak Burhan ngelirik rumah itu, kayak lagi mikir sesuatu. "Iya, tapi rumah ini tuh... udah lama banget kosong. Orang-orang bilang suka ada suara-suara aneh, apalagi kalau malam."
Ardi cuma ketawa kecil, meski kata-kata Pak Burhan tadi bikin bulu kuduknya agak berdiri. “Ah, cerita orang kampung, Pak. Paling juga cuma suara tikus.”
Pak Burhan nggak jawab lagi. Dia bantu nurunin barang Ardi dari motor, terus buru-buru pamit. “Kalau ada apa-apa, kamu teriak aja. Tapi… ya, saya nggak janji ada yang dengar.” Setelah bilang itu, dia langsung cabut, ninggalin Ardi sendirian di depan rumah tua itu.
Ardi akhirnya ndorong pintu besar itu pelan. Suara berderit 'kreeeek' langsung bikin dia merinding. Di dalamnya gelap banget, cuma ada cahaya remang-remang dari kilat yang sesekali nyambar. Bau lembap dan apek langsung nyerang hidungnya.
Dia nyalain lampu minyak kecil yang dia temuin di meja dekat pintu. Begitu ruangan jadi terang, dia bisa lihat sofa tua yang ditutup kain putih, rak buku berdebu, dan di ujung ruangan ada cermin besar. Ukiran kayunya rumit, tapi cerminnya sendiri udah buram. Sekilas, cermin itu kayak memantulkan sesuatu yang bergerak.
Ardi geleng-geleng kepala. “Jangan parno dulu, Di. Belum apa-apa udah halu.”
Dia mulai naruh barang-barangnya di ruang tamu. Tapi baru aja dia mulai beres-beres, tiba-tiba dia dengar suara kecil, pelan banget.
“Pergilah…”
Ardi berhenti. Dia nengok ke belakang, matanya nyari-nyari asal suara. Nggak ada siapa-siapa. Rumah itu sepi lagi, cuma ada suara hujan dari luar. Dia ngehela napas, mencoba tenang.
“Mungkin cumak angin,” katanya pelan, lebih buat menenangkan dirinya sendiri. Tapi saat dia mau lanjut beres-beres, dia ngerasa ada sesuatu yang merhatiin dia dari pojok ruangan. Pandangannya jatuh lagi ke cermin besar itu. Entah kenapa, dia merasa cermin itu… hidup.
Meski ngerasa aneh dikit, Ardi mengabaikan suara tadi. Dia menggeret tas besar ke ruang tengah, lalu membuka salah satu jendela untuk membiarkan udara segar masuk. Tapi begitu jendela dibuka, angin dingin menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau busuk samar.
"Yah, rumah tua, wajar lah bau begini," gumamnya, berusaha meyakinkan diri.
Dia ngelirik lagi toh, ke sekitar ruangan. Dindingnya penuh dengan foto-foto tua, semuanya berbingkai kayu ukir. Sebagian besar foto memamerkan wajah-wajah yang asing baginya—keluarga besar dari generasi sebelum dia lahir. Tapi satu foto menarik perhatiannya. Foto itu memajang seorang pria tua dengan ekspresi serius. Di tangannya ada buku hitam besar yang terlihat berat.
“Jadi ini kakek buyut gue, ya,” ujar Ardi pelan sambil memandang tulisan di bawah foto yang berbunyi: Herman Wiryawan, 1937.
Sambil memandangi foto itu, Ardi merasa seolah-olah pria di foto sedang natap balik, matanya tajam nusuk. Dia ndadak ngerasa nggak nyaman. Kepala Ardi berpaling ke arah lain, ke cermin besar di sudut ruangan. Cermin itu masih diam di tempatnya, memantulkan bayangan samar dari cahaya lampu minyak. Tapi ada yang janggal. Sekilas, dia merasa ada bayangan lain yang bergerak di cermin itu, tapi saat dia menatap lebih lama, hanya ada dirinya sendiri.
"Dah, Di, stop halu. Kebanyakan baca cerita horor," katanya sambil tertawa kecil, walau senyumnya agak dipaksakan.
Ardi mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka tasnya dan menata barang-barangnya di ruang tamu. Saat tangannya sibuk, pikirannya terusik oleh suara tadi. Ia mencoba menganalisa: apakah tadi benar suara angin? Atau hewan yang masuk ke celah-celah rumah tua ini?
Namun, dia nggak bisa melawan instingnya. Suara itu terasa... beda. Seolah-olah ada yang berbisik langsung di dekat telinganya.
Ketika dia sedang membongkar tumpukan buku untuk ditaruh di rak, dia mendengar suara lagi. Kali ini lebih jelas, seperti ada seseorang di belakangnya.
“Kamu nggak seharusnya di sini...”
Ardi terdiam. Tangannya gemetar, buku yang dia pegang terlepas jatuh ke lantai. Napasnya mulai berat, tapi dia nggak berani menoleh.
"Siapa itu?" suaranya parau. Tapi lagi-lagi, tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara detak jam tua di ruangan, pelan dan teratur, tapi entah kenapa terasa makin keras di telinga.
Ia memberanikan diri menoleh ke belakang. Ruangan itu kosong.
“Udah, cukup. Jangan kebanyakan mikir,” katanya keras, mencoba mematahkan ketakutan di pikirannya. Tapi matanya kembali tertuju ke cermin. Entah kenapa, dia merasa bayangannya sendiri di cermin itu terlihat sedikit... salah.
Ardi memutuskan untuk menjelajahi rumah itu lebih jauh. Mau tidak mau, dia harus terbiasa dengan suasana rumah tua ini kalau mau tinggal di sini selama beberapa hari. Toh, menurut pikirannya, semua keanehan tadi cuma efek suasana mencekam dan pikirannya yang kelewat waspada.
Dia mulai dengan ruang kerja yang ada di lantai bawah, tepat di sebelah ruang tamu. Begitu membuka pintunya, bau kayu tua yang lembap langsung menyambut. Rak-rak penuh buku tua berdiri kokoh di sepanjang dinding. Sebagian besar buku itu ditutupi debu tebal. Namun, di atas meja besar yang ada di tengah ruangan, ada satu buku yang terlihat berbeda.
Buku hitam.
Ardi mendekatinya. Buku itu persis seperti yang dia lihat di foto tadi—ukuran besar dengan sampul kulit yang warnanya sudah memudar. Tangan Ardi ragu-ragu menyentuhnya. Namun, rasa penasarannya lebih besar dari rasa takutnya.
Buku itu berat saat diangkat. Ketika ia membuka halaman pertamanya, tulisan tangan dengan tinta hitam memenuhi halaman-halaman awal. Sebagian besar tulisannya dalam bahasa Jawa Kuno, dengan huruf-huruf yang kaku. Meski nggak bisa membaca seluruhnya, ada beberapa kata yang bisa ia pahami karena pernah mempelajarinya sedikit di kampus.
Di salah satu halaman tengah, ada yang bikin bulu kuduknya berdiri:
"Yén sapérangan ingkang ngéwahi ingkang boten pantes urip, badhé nampani pitrapa langgeng." Atau dalam bahasa indonesia “Barang siapa membangkitkan yang tak berhak hidup, ia akan menanggung kutukan abadi.”
Ardi mengernyit. Kata-kata itu terdengar seperti mantra atau peringatan. Tapi sebelum dia bisa menganalisa lebih jauh, suara keras tiba-tiba terdengar dari atas.
Grebak!
Ardi langsung berdiri, matanya otomatis mengarah ke langit-langit. Suara itu keras, seperti sesuatu terjatuh atau didorong. Dia mencoba tetap tenang. “Ah.. mungkin ada hewan di atas,” gumamnya, meski hatinya nggak yakin.
Dengan senter di tangan, dia berjalan ke tangga yang mengarah ke lantai dua. Setiap langkahnya menghasilkan suara berderit pelan yang menambah kesan seram. Lampu minyak yang dibawanya hanya memberikan cahaya kecil, tapi cukup untuk melihat sekeliling.
Begitu sampai di ujung tangga, dia melihat pintu kamar terbuka sedikit. Cahaya remang-remang dari dalam kamar itu memperlihatkan bayangan seseorang berdiri membelakanginya.
"Mbak?" Ardi mencoba memanggil dengan suara setenang mungkin. Tapi sosok itu diam saja.
Ardi maju perlahan, tangan kirinya memegang lampu minyak erat-erat. “Hei, saya nggak akan marah. Kalau ada orang iseng, keluar aja, ya.”
Tiba-tiba, sosok itu bergerak. Dengan gerakan yang pelan tapi nggak wajar, sosok itu menoleh. Wajahnya... bukan wajah manusia. Kulitnya pucat, hampir transparan, dengan mata yang kosong—hanya rongga hitam yang dalam.
"ASTAGA!" Ardi terhuyung mundur, hampir menjatuhkan lampu minyak. Sosok itu langsung menghilang begitu saja, seperti asap yang tersapu angin.
Dia nggak tahu harus ngapain lagi. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan cepat. Tapi sebelum dia sempat berpikir, dia melihat sesuatu di lantai dekat tempat sosok itu berdiri. Sebuah potongan foto kecil.
Dia memungutnya. Itu adalah potret pria tua di ruang tamu, tapi ada yang aneh—matanya di foto itu dicoret dengan tinta hitam kasar.
Ardi buru-buru turun ke lantai bawah, tangannya gemetar memegang lampu minyak. Dia yakin ada sesuatu yang salah dengan rumah ini. Dia harus pergi.
Sampai di ruang tamu, dia langsung mencoba membuka pintu depan. Tapi pintu itu tidak bergerak sedikit pun. Padahal sebelumnya pintu itu bisa dibuka dengan mudah. Dia menariknya keras-keras, bahkan memukulnya dengan bahunya, tapi pintu tetap tidak bergeming.
"Ini kenapa sih?!" teriaknya, frustrasi.
Lalu dia dengar suara itu lagi. Kali ini lebih jelas, lebih dekat, dan lebih dingin.
"Panjenengan boten pantes mbuka buku punika." Atau "Kamu nggak seharusnya buka buku itu.”
Ardi terdiam, tubuhnya membeku. Suara itu kayak bisikan yang ada tepat di belakang telinganya. Tapi saat dia menoleh, tidak ada siapa-siapa.
Ardi berdiri di ruang tamu, tubuhnya gemetar. Pintu depan tetap terkunci meski ia sudah memukul dan menariknya dengan sekuat tenaga. Rumah ini jelas tidak ingin dia pergi. Napasnya memburu, dan suara bisikan itu kembali terdengar.
“Kamu nggak seharusnya di sini.”
Ardi memejamkan mata, mencoba mengatur napas, tapi bisikan itu malah semakin jelas, seperti berada tepat di telinganya. Dengan panik, ia berlari kembali ke ruang kerja. Ia yakin buku hitam itu punya petunjuk. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang bisa menjelaskan atau bahkan membebaskannya dari situasi ini.
Dia membuka buku itu dengan tangan gemetar, membuka halaman demi halaman yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Akhirnya dia menemukan sebuah bagian yang mencolok, sebuah kalimat yang membuat darahnya berdesir:
"Grijikan ing pungkasan wonten ing kaca." Atau “Kunci terakhir ada di cermin.”
Cermin besar di ruang tamu langsung terlintas di pikirannya. Cermin itu, yang sejak tadi memantulkan bayangan-bayangan aneh. Ia menatap buku itu sekali lagi, berharap menemukan penjelasan lebih, tapi halaman berikutnya kosong.
Tanpa membuang waktu, ia kembali ke ruang tamu, meskipun bulu kuduknya berdiri setiap kali melewati sudut-sudut gelap rumah itu. Di sana, cermin besar itu berdiri kokoh. Cahaya dari lampu minyak yang dibawanya memantulkan bayangan dirinya, tapi lagi-lagi, bayangan itu terasa salah. Wajahnya terlihat lebih tua, matanya gelap, dan ada senyuman samar yang bukan miliknya.
“Tolong… tunjukkan apa yang sebenarnya terjadi,” katanya pelan, hampir seperti memohon.
Tidak ada jawaban, tapi retakan kecil tiba-tiba muncul di cermin itu, menyebar pelan-pelan di permukaannya. Ardi mundur setengah langkah, namun tidak bisa melepaskan pandangannya. Dari balik retakan, sebuah bayangan muncul, samar-samar tapi perlahan semakin nyata. Itu adalah sosok pria tua yang ia lihat di foto di ruang tamu—Herman Wiryawan, kakek buyutnya.
"Panjenengan sampun nyuwunaken aku." Atau “Kamu sudah memanggilku,” suara pria itu terdengar berat dan serak, tapi sangat jelas meskipun dia berbicara dari balik cermin. “Sekarang, jalanku terbuka.”
Ardi terdiam, seluruh tubuhnya membeku. “Apa yang kamu mau? Siapa kamu?” tanyanya, meskipun dalam hati ia tahu jawabannya.
Pria itu tersenyum kecil. "Aku punika bagéyan saking getihmu, lan koe sampun nyuwunaken ingkang kedah tetep kunci." atau “Aku adalah bagian dari darahmu, dan kamu telah memanggil sesuatu yang seharusnya tetap terkunci.”
Sebelum Ardi bisa merespons, tangan pria itu tiba-tiba menembus permukaan cermin, seolah cermin itu adalah air. Tangan itu besar, dingin, dan langsung mencengkeram pergelangan tangannya.
“Lepas! Apa-apaan ini?!” teriak Ardi panik.
Dia mencoba menarik dirinya, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. Cermin mulai bergetar hebat, cahaya redup dari retakan di permukaannya berubah menjadi gelap pekat. Suara-suara aneh mulai terdengar di sekitarnya—bisikan-bisikan yang bercampur dengan suara tawa samar, seperti ada banyak orang di ruangan itu.
Bayangan hitam mulai muncul dari sudut-sudut ruang tamu, mengelilinginya perlahan. Mereka bergerak mendekat, tubuh mereka seperti asap pekat yang menggumpal.
“AKU NGGAK MAU IKUT CAMPUR! LEPASIN AKU!” Ardi berteriak histeris, tapi tidak ada yang mendengarnya.
Pria tua itu tertawa pelan, suara yang penuh kepuasan. “Kamu sudah membuat pilihan saat membuka buku itu. Sekarang kamu adalah bagian dari rahasia ini.”
Ardi berusaha melawan, mencoba mencengkeram apa pun yang ada di dekatnya untuk mencegah tubuhnya terseret. Tapi bayangan hitam itu bergerak lebih cepat, mereka meraih kakinya, menyeretnya lebih dekat ke cermin.
“Aku nggak tahu apa-apa! Ini nggak ada hubungannya sama aku!” teriak Ardi.
"Malah amargi koe boten sumerep, koe boten saged mlayu." Atau “Justru karena kamu tidak tahu, kamu tak bisa lari,” jawab pria itu dengan nada datar.
Perlahan, tubuh Ardi mulai masuk ke permukaan cermin, seperti ditelan oleh air dingin yang membekukan. Cahaya dari lampu minyaknya meredup, meninggalkan ruangan itu dalam gelap gulita.
Suara terakhir yang terdengar adalah jeritan panjang Ardi, yang perlahan menghilang bersama tubuhnya di dalam cermin.
Ketika semuanya selesai, rumah itu kembali sunyi. Cermin besar itu berdiri tanpa retakan sedikit pun. Tapi kalau diperhatikan lebih dekat, ada jejak tangan samar di permukaannya, seolah-olah seseorang telah mencoba keluar dari dalam.
Hujan akhirnya berhenti menjelang pagi. Langit masih kelabu, tetapi tetesan air yang tersisa di dedaunan membuat suasana desa terasa lebih sunyi dari biasanya. Pak Burhan, pemilik warung yang kemarin mengantar Ardi, memutuskan untuk memeriksa rumah itu. Ia tidak biasa merasa khawatir, tetapi sejak meninggalkan pemuda itu semalam, ada firasat buruk yang terus mengganggunya.
Sesampainya di depan rumah, Pak Burhan ragu-ragu mengetuk pintu besar itu. “Ardi? Kamu di dalam, Nak?” panggilnya, suaranya menggema pelan.
Tidak ada jawaban. Pintu tua itu sedikit terbuka, menampilkan celah kecil yang gelap. Pak Burhan mendorongnya perlahan, dan pintu itu berderit seperti mengeluh.
“Di? Kamu di mana?” Ia melangkah masuk, menyalakan lampu senter kecil yang dibawanya. Ruangan itu dingin dan kosong, bau apek bercampur tanah basah masih terasa. Barang-barang Ardi ada di sana—tasnya, buku-bukunya, dan lampu minyak yang sudah padam di lantai. Tapi Ardi sendiri tidak ada.
Matanya kemudian tertuju pada cermin besar di ujung ruangan. Pak Burhan mendekat, senter di tangannya menerangi permukaan cermin itu. Dia melihat bayangannya sendiri, tampak lelah dan tua. Tapi kemudian, sesuatu menarik perhatiannya—ada jejak tangan samar di permukaan cermin, seperti seseorang telah memukul atau mencoba keluar dari dalamnya.
Pak Burhan merinding. Dia menatap cermin itu lebih lama, dan kali ini dia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di balik bayangannya sendiri, ada sosok lain. Ardi. Wajahnya panik, matanya memohon, dan tangannya terus mengetuk permukaan kaca. Tapi tidak ada suara.
Pak Burhan tersentak mundur, hampir menjatuhkan senter. Dia memutar tubuhnya, bersiap lari keluar rumah, tapi sebuah bisikan menghentikan langkahnya.
“Tolong aku…”
Dia menoleh kembali, tetapi cermin itu sudah normal. Tidak ada sosok Ardi, tidak ada jejak tangan. Hanya pantulan ruang tamu yang kosong.
Tanpa pikir panjang, Pak Burhan berlari keluar, meninggalkan rumah itu dengan pintu terbuka lebar. Napasnya tersengal-sengal saat ia mencapai jalan utama desa.
Sesampainya di warungnya, dia menceritakan apa yang dia lihat kepada beberapa penduduk desa yang kebetulan lewat. Tapi mereka hanya tertawa kecil. “Pak Burhan kebanyakan dengar cerita horor,” salah satu dari mereka berkata.
Namun, malam berikutnya, seorang pemuda desa yang kebetulan melewati rumah tua itu mendengar suara ketukan pelan dari dalam cermin besar di ruang tamu. Ia mengintip dari jendela, tapi tidak melihat apa-apa selain pantulan bayangan dirinya.
Sejak saat itu, rumah tua itu kembali ditinggalkan, dibiarkan membusuk bersama rahasianya. Namun, siapa pun yang cukup nekat mendekatinya, pasti akan mendengar bisikan kecil di telinga mereka, memohon untuk dibebaskan.
“Tolong aku…”
"Kumohon... Tolong Aku...."
---
Lanjutan ceritanya ada.