Malam mulai menyelimuti kota. Lampu-lampu jalan menyala, menemani langkah lelah Kirin atau Rin, begitu ia disapa oleh keluarga terdekatnya. Baru saja ia selesai dengan les biola, pelajaran yang membuat hatinya tenang, namun malam itu, ketenangan itu hancur dalam sekejap.
Dengan motor yang melaju pelan, Rin memutar di tikungan jalan kecil. Tanpa peringatan, seorang pria terhuyung ke arah jalur motornya. "Awas!" Rin berteriak, tetapi tabrakan tak terhindarkan. Pria itu terjatuh, tak sadarkan diri.
“Ya Tuhan, apa yang baru saja kulakukan?” Rin gemetar, jantungnya berdegup kencang. Melihat pria itu tergeletak dengan luka-luka yang tak terhitung, Rin sadar ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Dengan susah payah, ia mengangkat tubuh pria itu ke jok motornya, lalu mengikat tubuh mereka dengan jaket kulitnya.
"Semoga kau memaafkanku," bisik Rin, menahan napas saat melaju ke rumah temannya, Aselia, yang berprofesi seorang perawat di salah satu rumah sakit besar di kota itu.
---
“Rin, kau gila? Membawa orang seperti ini tanpa tahu siapa dia?” Aselia memarahi, tapi segera merawat luka pria itu. “Luka sayatan di sini, dan ini... luka tembakan?” Aselia melirik Rin dengan tatapan khawatir. “Siapa dia sebenarnya?”
Rin menggeleng, merasa berat di dadanya. "Aku hanya... aku tak tahu. Aku harus membantunya."
Setelah semua perawatan selesai, Aselia pergi bekerja, meninggalkan Rin sendirian. Rin menatap pria yang terbaring di sofa, wajahnya penuh memar tapi terlihat damai dalam tidurnya. "Siapa kau?" gumamnya.
Hari-hari berlalu tanpa ada orang yang datang mencari pria itu, dan kehidupan Rin perlahan kembali normal—kuliah, les biola, latihan bela diri bersama Paman Artur. Namun, pikirannya terus dihantui oleh kejadian itu.
---
Di danau yang tenang, Rin duduk termenung, masih terengah-engah usai latihan bela diri. Paman Artur sering berkata bahwa bela diri adalah cara terbaik untuk melindungi diri dari tekanan, tetapi tak ada yang bisa membantunya melawan tekanan keluarganya.
"Perjodohan dengan Febri? Benar-benar lelucon," Rin mendesah, mengingat ibunya yang ingin menjodohkannya dengan Febri, anak kolega ayahnya. Febri yang arogan, selalu membanggakan kekayaan keluarganya, dan merendahkan semua orang. “Aku lebih baik hidup sendiri,” Rin berbisik.
Namun malam itu, hidup Rin berubah lagi. Saat ia duduk sendirian di tepi danau usai les biola, seseorang muncul di depannya. Pria yang dulu ia selamatkan berdiri tegap, mengenakan kemeja putih yang mengibarkan bayangan aneh di bawah sinar lampu.
"Kau... mengapa kau bisa berada di sini?" Rin terkejut, berdiri dengan hati berdebar.
Pria itu tersenyum tipis. “Rin, bukan? Maaf, aku mengagetkanmu. Namaku Riko.” Riko mengulurkan tangannya. “Mau ikut ke pasar malam?”
Rin terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Kenapa tidak?”
Mereka menghabiskan malam itu, mengabaikan beban masing-masing. Riko yang misterius mulai sering datang, menemani Rin di waktu senggang, membuat hati Rin terisi kembali. Tanpa sadar, cinta mulai tumbuh di antara mereka.
---
Namun kebahagiaan itu berumur pendek. Orang tua Rin mempercepat rencana pertunangannya dengan Febri, dan Rin merasa terdesak. Dalam keputusasaan, Rin bertemu Riko di taman kota.
"Riko, bawalah aku pergi!" Rin memohon, matanya penuh air mata. "Aku tidak tahan lagi. Aku tidak ingin menikah dengan Febri, aku tidak ingin hidup dalam bayangan yang mereka paksakan padaku."
Riko menatap Rin, matanya penuh kesedihan namun penuh kasih. "Rin, kabur takkan menyelesaikan apa-apa. Kita hanya akan membuat masalah semakin besar."
"Tapi aku tak punya pilihan!" Rin berteriak.
Riko mendekati Rin, memegang kedua bahunya. "Percayalah padaku. Aku akan menemukan jalan keluar. Aku janji."
Rin menatapnya, matanya penuh keputusasaan. "Janji?"
Riko mengangguk, lalu pergi. Hari-hari berikutnya sunyi. Riko tak memberi kabar, meninggalkan Rin dengan kekecewaan yang dalam. Saat hari pertunangan tiba, Rin merasa seperti boneka, berdiri di tengah keluarga besar yang berkumpul, menunggu nasib yang tidak diinginkannya.
Namun di tengah kerumunan, Rin menangkap sosok yang ia rindukan. Riko berdiri di sana, menatapnya. Tapi sukacita Rin segera digantikan oleh rasa sesak di dada. "Apa gunanya kau di sini, Riko?" Rin berbisik, lalu melarikan diri ke taman belakang.
Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku benci semuanya," isaknya, sampai tangan hangat menyentuh wajahnya. Riko.
"Kau kembali," Rin berbisik dengan getir, lalu menampar Riko. Tamparan itu disusul pukulan-pukulan kecil, membuat Riko meringis.
"Aku pantas mendapatkannya," Riko berkata sambil tertawa pelan. Rin akhirnya memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.
"Jangan pergi lagi," Rin memohon. "Bawa aku pergi jauh."
Riko menggeleng. "Tidak. Aku di sini untuk memperjuangkanmu, bukan untuk melarikanmu." Ia menjelaskan bagaimana ia telah membantu keluarga Rin menghadapi masalah perusahaan dengan dukungan perusahaannya sendiri.
Kedua orang tua Rin datang, mendekati mereka. “Rin,” kata ibu Rin, suaranya lembut, “pertunangan dengan Febri tak perlu lagi dilakukan. Kau bebas memilih jalan hidupmu.”
Riko menggenggam tangan Rin. “Aku ingin melamarmu dengan baik, tanpa melukai keluargamu. Itu sebabnya aku pergi untuk memperbaiki segalanya.”
Rin menatap Riko, air matanya bercampur bahagia. “Kalau begitu, jangan pernah pergi lagi.”
Dan malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Rin dan Riko tahu bahwa perjuangan mereka untuk cinta telah membuahkan kebahagiaan yang mereka impikan.