Ruang lab itu penuh dengan asap tebal, aroma logam terbakar memenuhi udara. Di sudut ruangan, seorang lelaki berumur 40-an terbaring bersandar pada mesin yang kacau, wajahnya berlumuran darah, napasnya tersengal-sengal. Namanya Aditya, seorang ilmuwan brilian yang kini di ambang kehancuran.
Tubuh Aditya gemetar, pakaiannya koyak, dan luka menganga di bagian dada akibat ledakan barusan. Polisi bersenjata sudah merangsek masuk, bersiap menangkapnya dengan segala tuduhan yang melekat. Mata Aditya yang biasanya penuh determinasi kini dipenuhi kelelahan dan kehancuran. Namun, meski tubuhnya sekarat, pikirannya terus berputar mengingat satu hal—eksperimen fatal yang merenggut nyawa putrinya, Aria, dan istrinya, Lila.
Di tengah ruangan, ada sebuah perangkat berbentuk kotak yang retak di beberapa bagian. Itu adalah mesin hasil eksperimennya yang disebut Microwave Anti-Matter Resonator, sebuah alat canggih yang bekerja dengan unsur antimatter 0,1% untuk mencapai resonansi waktu. Sebuah eksperimen yang awalnya ia anggap sebagai pintu menuju kemajuan, namun justru menjadi pintu menuju kehancuran hidupnya. Eksperimen ini dulunya ia yakini sebagai metode revolusioner untuk memanipulasi waktu dan energi. Namun, kekacauan ini adalah bukti bahwa kesuksesannya datang dengan harga yang terlalu mahal.
Aditya menarik napas pelan, pikirannya terbang melintasi waktu ke masa lalu yang kelam. Ingatan itu begitu jelas—seperti potongan gambar yang diputar ulang, menghantam kesadarannya dengan dingin yang menusuk.
Ia berada di rumah, larut malam. Aria, putri kecilnya yang berusia delapan tahun, bermain-main dengan cemerlang, suaranya yang riang mengisi ruangan, membuat malam yang sepi terasa hangat. Aria selalu penasaran dengan pekerjaan ayahnya, dengan kecemerlangan mata yang memancarkan ketertarikan tanpa batas. Dia sering berlari kecil ke lab Aditya, menyaksikan ayahnya bekerja dengan berbagai alat yang rumit, bertanya tanpa henti tentang dunia yang tampak misterius baginya.
Suatu malam, saat Aditya sedang mengerjakan Microwave Anti-Matter Resonator, ia lelah, lebih lelah dari biasanya. Ia tahu bahwa pekerjaannya berisiko, tetapi yakin bahwa keamanan labnya sudah cukup untuk melindungi keluarganya. Namun, saat ia berbalik untuk mengambil data dari meja kerjanya, suara gemeretak terdengar dari perangkat antimateri yang sedang ia aktifkan untuk uji coba singkat.
Sebelum ia bisa berbuat apa-apa, Aria yang mengendap-endap ke ruangan itu tanpa ia sadari, mendekati alat itu. Aria, dengan keingintahuan polos seorang anak, mengulurkan tangannya untuk menyentuh perangkat. Namun, dalam satu detik yang mengerikan, terjadi kilatan cahaya terang. Ledakan yang dihasilkan oleh antimateri merambat cepat melalui ruang lab, menciptakan energi yang meluap tak terkendali. Aria terhempas ke dinding, tubuhnya tergeletak tanpa suara, tanpa gerakan.
Aditya menjerit, berlari ke arah putrinya, tetapi semuanya sudah terlambat. Tubuh Aria tak bergerak, matanya yang biasanya hidup kini tertutup, membawa keheningan yang abadi. Lila, istrinya, berlari masuk ke lab setelah mendengar ledakan, dan saat menyadari tragedi itu, ia terhuyung-huyung dengan histeria. Tak lama, dalam kondisi terguncang dan kehilangan putrinya, Lila pun meninggalkannya, meninggalkan seorang Aditya yang kosong dan putus asa dalam kesepian yang ia ciptakan sendiri.
Sejak malam itu, Aditya tidak pernah tidur nyenyak lagi. Gambar terakhir putrinya terpatri di matanya—keingintahuan polos, keceriaan, dan tragedi yang terjadi begitu cepat.
Dengan berat hati, pikirannya kembali ke kenyataan. Di sinilah ia sekarang, bersandar lemah di sudut lab, dikelilingi asap dan kobaran api kecil.
Polisi semakin dekat, mengarahkannya dengan senjata, memberikan perintah terakhir untuk menyerah. Aditya menutup matanya sejenak, napasnya semakin berat. Dengan sisa tenaganya, ia mengulurkan tangan ke arah Microwave Anti-Matter Resonator. "Kalau aku harus mati... lebih baik aku mati dengan menyelamatkan mereka," gumamnya dalam hati, teringat wajah mungil putrinya dan senyum lembut istrinya.
Dengan satu gerakan cepat, ia mengaktifkan perangkat itu. Cahaya biru keunguan yang menyilaukan memenuhi ruangan, melesatkan percikan-percikan kecil antimateri. Polisi yang berada di dekatnya terdorong mundur, menutup mata mereka untuk melindungi diri dari kilauan yang intens.
Lalu, seketika, segala sesuatu terasa melambat. Aditya merasakan tubuhnya ringan, hampir seperti melayang di antara dua dimensi. Ketika ia membuka mata, ia berada di tempat yang familiar, namun tampak berbeda. Dinding lab itu kini bersih dan rapi, tidak ada bekas ledakan atau asap hitam. Lalu ia menyadari... ini adalah masa lalu, atau lebih tepatnya dunia alternatif di masa lalu, beberapa bulan sebelum kecelakaan itu terjadi.
Aditya menggenggam erat tangannya, jantungnya berdebar-debar. Di hadapannya kini adalah dirinya yang lebih muda, seseorang yang penuh dengan semangat, namun juga buta terhadap risiko eksperimen. Momen ini adalah kesempatan satu-satunya, dan kali ini, Aditya tahu bahwa ia tidak akan membiarkan eksperimen itu kembali menghancurkan hidupnya.
Dengan napas berat namun penuh tekad, Aditya menatap tajam versi dirinya yang lebih muda. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menghentikan semua kebodohan dan kecerobohan yang mengarah pada tragedi itu.
"Tidak lagi," katanya dengan suara serak namun penuh determinasi.