Di sudut aula sekolah yang ramai, Kirara duduk tenang dengan buku sketsa di pangkuannya. Ia asyik menggambar karakter imajinasinya, tak terlalu memedulikan hiruk-pikuk di sekelilingnya. Kirara dikenal sebagai gadis pendiam, meskipun wajahnya yang manis dan sikapnya yang lucu sering menarik perhatian orang. Hobi menggambar adalah pelariannya, tempat ia merasa paling nyaman.
Hari itu, sekolah mengadakan kegiatan antar kelas, dan semua siswa berkumpul di aula. Kirara yang tidak terlalu suka keramaian memilih untuk menyendiri di pojok, menggambar sambil mengamati sesekali. Namun, rencananya untuk menghindari interaksi tiba-tiba terganggu saat seorang kakak kelas datang mendekat.
“Hei, Kirara! Lagi gambar ya? Yuk, ikut foto bareng sama anak-anak kelas lain. Jangan cuma duduk-duduk aja!” seru kakak kelas itu dengan senyum lebar.
Kirara terkejut dan ingin menolak, tapi sebelum bisa memberi alasan, si kakak kelas sudah menariknya ke arah sekelompok siswa lain yang sedang berfoto. Kirara merasa canggung, tapi ia tetap ikut, berdiri di pinggir kelompok sambil berharap momen ini cepat berlalu.
Di sisi lain aula, Putra, seorang remaja laki-laki yang ceria dan jago futsal, sedang bercanda dengan teman-temannya. Tanpa disadarinya, dia juga menjadi sasaran kakak kelas yang sama. “Ayo, Putra! Gabung buat foto bareng!” teriak si kakak kelas. Putra, yang senang bergaul, tak menolak dan segera bergabung. Namun, tanpa diduga, ia didorong tepat di sebelah Kirara.
“Wah, cocok banget kalian di tengah! Ayo, senyum semuanya!” seru kakak kelas, tertawa melihat ekspresi canggung di wajah Kirara dan Putra.
Setelah foto diambil, Putra menoleh dan tersenyum pada Kirara. “Kayaknya kita kena jebakan nih,” katanya sambil tertawa kecil.
Kirara hanya tersenyum malu-malu. Ia merasa sedikit canggung, tapi senyum ramah Putra sedikit meredakan kecanggungannya. Saat Putra melihat buku sketsa di tangan Kirara, matanya berbinar penasaran.
“Kamu suka gambar ya? Boleh lihat?” tanyanya dengan antusias.
Kirara ragu sejenak, tapi akhirnya menyerahkan buku sketsanya. Putra membuka lembar demi lembar, terlihat kagum dengan karya-karya Kirara. “Wah, gambarmu keren banget! Aku nggak nyangka kamu jago banget.”
“Terima kasih,” jawab Kirara pelan. “Aku suka menggambar sejak kecil.”
Putra tersenyum. “Aku juga punya hobi, tapi lebih ke olahraga sih. Aku suka main futsal.”
“Oh, iya? Kamu sering ikut turnamen?” tanya Kirara, mulai merasa sedikit lebih nyaman berbicara dengan Putra.
“Lumayan sering. Aku pengen jadi atlet futsal profesional suatu hari nanti,” kata Putra dengan semangat. “Kalau kamu? Mau jadi apa?”
“Aku pengen jadi penulis dan ilustrator. Aku suka buat cerita dan menggambar karakter-karakternya,” jawab Kirara dengan mata berbinar.
Mulai dari momen tak terduga itu, mereka jadi semakin sering berbicara. Putra yang energik dan ceria sering mengajak Kirara bicara tentang futsal dan rencananya untuk ikut turnamen besar, sementara Kirara bercerita tentang ide-ide gambarnya. Meski Putra aktif di lapangan futsal dan Kirara lebih suka menggambar di tempat yang tenang, mereka menemukan banyak kesamaan dalam cara mereka memandang impian.
Hari-hari mereka di sekolah pun dipenuhi dengan kebersamaan. Kirara mulai sering menonton Putra bermain futsal, memberikan semangat di pinggir lapangan, sementara Putra sesekali menemani Kirara menggambar di taman. Keduanya semakin dekat, hingga pada suatu sore, Putra akhirnya mengutarakan perasaannya.
"Kirara, aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacarku?" tanya Putra dengan senyum penuh harap, meskipun ada sedikit rasa gugup di baliknya.
Kirara tersipu, wajahnya memerah. Setelah sejenak terdiam, ia akhirnya mengangguk dan menjawab, "Aku juga suka sama kamu."
Hari-hari setelah itu terasa semakin indah. Mereka saling mendukung, Putra dengan futsalnya dan Kirara dengan hobinya menggambar. Namun, seperti awan cerah yang perlahan tertutupi mendung, kenyataan mulai mengintai kebahagiaan mereka. Setelah lulus, Putra diterima di universitas luar negeri untuk mengejar impiannya menjadi atlet futsal profesional, sementara Kirara memilih tetap tinggal di kota kecil mereka untuk fokus menulis dan menggambar.
Suatu sore, di taman tempat mereka sering bertemu, Putra menatap Kirara dengan ekspresi serius. "Kirara, aku... mungkin kita harus berpisah," kata Putra pelan, tapi tegas.
Kirara terkejut, meskipun dalam hati, ia sudah tahu hal ini akan datang. “Kenapa?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Aku harus pergi jauh buat ngejar cita-citaku, dan aku nggak mau kamu terjebak di hubungan ini karena jarak. Kita punya impian yang besar, dan aku nggak mau itu jadi penghalang.”
Air mata mulai menggenang di mata Kirara. Meski hatinya berat, ia tahu bahwa impian mereka adalah hal yang penting. “Aku mengerti,” jawabnya sambil berusaha menahan isak. “Kita harus fokus pada masa depan kita.”
Mereka saling menggenggam tangan untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya berpisah dengan hati yang berat. Meskipun kisah cinta mereka harus berakhir, kenangan manis tentang cinta pertama dan mimpi besar mereka akan selalu tersimpan dalam hati masing-masing, selamanya.