Jakarta, kota impian yang gemerlap, kini terasa begitu asing bagi Arya. Cahaya lampu neon yang menyilaukan tak mampu mengusir sepi yang merayap dalam hatinya. Cowok desa itu baru saja menginjakkan kaki di ibu kota untuk mengejar cita-cita. Ia diterima di salah satu universitas bergengsi, sebuah pencapaian yang membanggakan bagi keluarganya.
Hari-hari pertama di kosan terasa berat. Keramaian Jakarta begitu kontras dengan suasana desa yang tenang. Suara bising kendaraan, hiruk pikuk orang berlalu-lalang, membuat Arya merindukan suara jangkrik dan gemericik air sungai di kampung halamannya.
Di kampus, Arya merasa seperti butiran pasir di gurun. Teman-temannya berasal dari berbagai daerah, sudah terbiasa dengan gaya hidup perkotaan. Mereka dengan mudah bergaul dan membuat kelompok kecil. Arya, dengan logat desanya yang kental dan sifat pemalu, kesulitan untuk masuk ke dalam lingkaran pergaulan mereka.
Mata kuliah terasa berat. Materi yang diajarkan begitu cepat dan kompleks. Arya harus berjuang keras untuk mengejar ketertinggalan. Malam-malam ia habiskan untuk belajar, namun rasa kantuk seringkali menghampiri. Sesekali, ia keluar kamar kos untuk mencari hiburan, namun selalu berakhir dengan kekecewaan.
Rasa rindu pada keluarga semakin menjadi-jadi. Ia seringkali menelepon ibunya, menceritakan tentang kesulitan yang dihadapinya. Ibunya selalu memberikan semangat dan nasihat agar Arya tidak mudah menyerah.
Suatu malam, Arya duduk termenung di balkon kosannya. Ia menatap langit Jakarta yang penuh bintang. Tiba-tiba, ia teringat kata-kata ibunya, “Kamu adalah bintang, Arya. Bersinarlah di mana pun kamu berada.” Namun, Arya merasa dirinya seperti bintang kecil yang tersesat di galaksi yang luas.
Saat itulah, Arya memutuskan untuk mengubah dirinya. Ia mulai aktif mengikuti organisasi di kampus, bergabung dalam komunitas yang sesuai dengan minatnya. Ia juga berusaha untuk lebih terbuka dan ramah kepada orang-orang di sekitarnya.
Perubahan itu tidak terjadi dalam semalam. Butuh waktu dan usaha yang cukup besar. Namun, sedikit demi sedikit, Arya mulai merasa nyaman dengan kehidupan barunya. Ia menemukan teman-teman baru yang bisa diajak berdiskusi dan berbagi cerita. Ia juga mulai aktif berkontribusi dalam kegiatan kampus.
Arya menyadari bahwa merantau adalah sebuah proses pembelajaran yang panjang. Ia harus belajar untuk mandiri, beradaptasi dengan lingkungan yang baru, dan keluar dari zona nyaman. Meskipun sulit, Arya yakin bahwa semua pengalaman ini akan membuatnya menjadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh.
Arya masih terus belajar dan berjuang. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, namun ia tidak pernah menyerah. Ia akan terus bersinar, seperti bintang yang tak pernah padam.
Jakarta, dengan segala hingar bingarnya, perlahan mulai terasa seperti rumah bagi Arya. Ia telah beradaptasi dengan kehidupan kota, menjalin pertemanan baru, dan mulai menemukan ritme belajarnya. Namun, sebuah dilema besar kini menghadang di hadapannya.
Sejak bergabung dengan sebuah komunitas di kampus, Arya semakin dekat dengan seorang teman bernama Rani. Rani adalah gadis cerdas dan penuh semangat yang selalu mendukungnya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, belajar kelompok, dan berbagi cerita. Arya merasa sangat nyaman berada di dekat Rani.
Namun, ujian akhir semester semakin dekat. Beban belajar semakin berat, dan Arya harus membagi waktunya antara belajar dan menghabiskan waktu bersama Rani. Rani sedang mengerjakan proyek besar yang membutuhkan banyak bantuan. Ia meminta Arya untuk membantunya, namun jadwal belajar Arya sudah sangat padat.
Arya merasa terjebak dalam sebuah dilema. Di satu sisi, ia ingin membantu Rani. Ia tidak tega melihat temannya kesulitan. Di sisi lain, ia juga ingin meraih nilai yang bagus. Ia takut jika nilai akademisnya menurun, orang tuanya akan kecewa.
Perasaan bersalah dan dilema terus menghantuinya. Arya seringkali begadang untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, dan pada siang hari ia merasa sangat lelah. Konsentrasinya terganggu, dan ia kesulitan memahami materi kuliah.
Suatu malam, Arya dan Rani bertemu di perpustakaan. Mereka membahas proyek Rani, dan Arya menyadari bahwa ia tidak bisa terus-menerus menunda-nunda. Ia harus membuat keputusan.
"Aku benar-benar butuh bantuanmu, Arya," kata Rani dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."
Arya menatap Rani dengan iba. Ia ingin sekali membantu temannya, tetapi ia juga khawatir akan konsekuensinya. "Aku akan berusaha membantumu sebisaku, Rani," jawab Arya. "Tapi aku juga harus memikirkan nilai akhir semesterku."
Rani mengangguk mengerti. "Aku tahu ini sulit, Arya. Aku tidak ingin merepotkanmu."
Beberapa hari kemudian, Arya memutuskan untuk membagi waktunya. Ia akan meluangkan waktu di malam hari untuk membantu Rani, dan di siang hari ia akan fokus pada belajar. Namun, jadwal yang padat membuatnya semakin kelelahan. Ia sering merasa sakit kepala dan sulit berkonsentrasi.
Pada hari ujian, Arya merasa sangat gugup. Ia takut tidak bisa menjawab semua soal dengan baik. Setelah ujian selesai, ia merasa lega namun juga khawatir. Ia tidak tahu apakah keputusan yang telah diambilnya adalah keputusan yang tepat.
Beberapa minggu kemudian, hasil ujian akhir semester keluar. Arya mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, namun tidak sebaik yang ia harapkan. Meskipun begitu, ia merasa bahagia karena telah membantu Rani menyelesaikan proyeknya. Rani berhasil mendapatkan nilai A untuk proyeknya, dan ia sangat berterima kasih kepada Arya.
Arya menyadari bahwa dalam hidup, kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Tidak ada jawaban yang benar atau salah. Yang penting adalah kita harus berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas konsekuensinya.