Namaku Kyrin, istri dari Ryhan Xavier Putra, seorang aktor yang wajahnya menghiasi layar kaca hampir setiap hari. Di mata publik, ia adalah pria sempurna—gagah, penuh karisma, dan memesona siapa saja yang melihatnya. Ribuan penggemarnya bersorak setiap kali ia muncul, menyanjung dan memujanya. Namun, yang tak mereka ketahui adalah aku, seorang istri yang hidup di balik bayang-bayang ketenarannya, melihat sosok yang jauh berbeda dari yang mereka lihat.
Kami menikah saat ia belum menjadi siapa-siapa. Kala itu, Ryhan adalah pria biasa, seorang pegawai kantoran yang hanya memiliki impian besar yang bahkan sering ia ejek sendiri sebagai "mimpi gila." Tapi itulah yang membuatku jatuh cinta padanya—semangat yang membara di balik keraguan yang selalu ia tutupi dengan senyum khasnya, kesederhanaan, dan ketulusan yang ia berikan hanya padaku.
Namun, segalanya berubah ketika impiannya benar-benar menjadi kenyataan. Popularitas datang begitu cepat, melingkupinya dengan gemerlap yang pada awalnya terasa indah, tapi semakin lama terasa dingin dan asing. Ryhan tak lagi pulang dengan keletihan yang biasa, tak ada lagi cerita-cerita konyol yang dulu selalu menghangatkan malam kami. Kini, ia pulang larut malam, kadang tak pulang sama sekali, meninggalkan aku terjaga sendirian di ruang tamu dengan hati yang diliputi kekhawatiran dan rasa sepi yang perlahan membunuh.
Setiap malam, aku mencoba mengalihkan pikiranku, membaca buku atau menonton film. Tapi suara mobil yang berhenti di depan rumah selalu membuat jantungku berdetak lebih cepat, berharap itu dia. Namun sering kali harapanku hanya menjadi keheningan yang mengiris hati. Setiap kali aku menanyakan alasan keterlambatannya, ia hanya membelai pipiku sambil tersenyum samar, "Ini semua demi kita, Kyrin. Semua ini untuk masa depan kita." Kata-katanya dulu selalu menjadi alasan untukku bersabar. Tapi semakin hari, kata-kata itu terasa hampa, seperti topeng yang ia gunakan untuk menutupi sesuatu.
Lambat laun, aku mulai melihat berita yang menampilkan keakrabannya dengan wanita lain, aktris terkenal yang membuat para penggemar menjodoh-jodohkan mereka. Wajah mereka tampak bahagia, tertawa bersama, seolah berbagi rahasia yang hanya mereka tahu. Aku menonton dengan tatapan kosong, merasakan nyeri perlahan merayapi hatiku. Kenangan kami berdua terasa seperti bayang-bayang samar yang hanya mampu kulihat dari kejauhan, tertutup oleh sorotan lampu yang kini menyelimutinya.
Aku mencoba membicarakan perasaanku pada Ryhan, tapi ia hanya menatapku dengan mata lelah, seolah-olah aku sedang membicarakan hal yang tak penting. Setiap kali aku mengungkapkan kegundahanku, ia malah menuduhku mengada-ada, mengatakan aku hanya membuatnya stres dengan pikiran-pikiran yang tidak perlu. Hari demi hari, jarak di antara kami semakin melebar, seperti tembok tak kasat mata yang dibangun oleh kebohongan dan rahasia yang ia sembunyikan.
Suatu malam, setelah bertengkar kecil, aku keluar dari rumah untuk mencari udara segar. Saat itu aku melihatnya, bukan dengan wanita, melainkan seorang pria. Mereka duduk di sebuah kafe, berbicara dengan tatapan yang tak pernah lagi aku rasakan darinya. Tatapan lembut dan penuh arti yang dulu selalu ia berikan hanya padaku. Mereka tertawa, tangannya sesekali menyentuh tangan pria itu dengan keakraban yang membuat darahku seolah berhenti mengalir. Aku merasa dingin, hancur dalam kesunyian yang menyakitkan. Selama ini, aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya hilang dari kami? Apa yang mengubahnya begitu jauh?
Pulang ke rumah malam itu, aku menangis sendirian di mobil. Semua kenangan bersama Ryhan terasa seperti retakan di cermin yang semakin lama semakin jelas. Aku mencintainya, masih sangat mencintainya, tapi perasaan itu terasa seperti racun yang perlahan membunuh. Aku tahu, jika aku tetap di sisinya, aku hanya akan terus hancur.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menunggu hingga ia pulang lebih awal. Aku menyiapkan makan malam, berharap malam itu bisa menjadi titik terang di tengah gelap yang meliputi kami. Ketika ia tiba, aku mencoba tersenyum, meski hatiku bergetar hebat.
"Ryhan," ucapku dengan suara yang tertahan, "aku ingin bicara."
Ia menatapku sejenak, lalu mengangguk. "Ya, apa yang ingin kau bicarakan?"
Aku menahan napas, mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Aku melihatmu tadi malam... dengan pria itu. Ryhan, ada apa ini sebenarnya?"
Ia terdiam, hanya menundukkan kepala, tatapannya kosong. Detik-detik berlalu tanpa ada jawaban, dan dalam keheningan itu aku tahu, aku sudah kehilangan dia jauh sebelum hari ini. Tidak ada penyangkalan, tidak ada penjelasan. Hanya sunyi yang terasa lebih menyakitkan dari apapun yang bisa ia katakan.
Aku menghela napas, mencoba menahan air mata yang sudah lama ku pendam. "Ryhan," suaraku terdengar lebih tenang dari yang kuduga. "Aku mencintaimu. Tapi aku tak bisa lagi bertahan dalam bayang-bayang yang kau buat. Aku lelah menunggu dan bertanya-tanya siapa dirimu yang sebenarnya sekarang."
Ryhan mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang penuh penyesalan. "Kyrin, aku tak pernah bermaksud menyakitimu. Aku tersesat dalam dunia ini, dalam gemerlap yang kusangka bisa membuat kita bahagia. Maafkan aku."
Aku mengangguk, mencoba tersenyum meski hatiku terasa hancur berkeping-keping. "Aku tahu, Ryhan. Mungkin ini saatnya kita melepaskan. Cinta bukan hanya tentang saling memiliki, tapi juga tentang saling mengikhlaskan ketika semuanya sudah tak lagi sejalan."
Ryhan menggenggam tanganku untuk terakhir kalinya, dan dalam genggaman itu, aku merasakan kehangatan yang dulu pernah begitu aku cintai. Tapi kehangatan itu kini hanya tinggal kenangan, seperti lilin yang menyala sebelum akhirnya padam.
Malam itu, aku pergi, meninggalkan semua kenangan dan luka yang telah kami ciptakan bersama. Terkadang, cinta bukan hanya tentang kebahagiaan dan kegemerlapan. Di balik cahaya yang menyilaukan, ada air mata yang tersembunyi, dan luka yang hanya bisa sembuh ketika kita berani untuk melepaskan.