Pagi itu, kabut tipis menyelimuti kota kecil di tepi pantai. Angin dingin berembus pelan, membawa aroma laut yang basah. Di bawah langit kelabu, berdiri seorang gadis di halte tua, menatap lurus ke jalanan yang berliku, menunggu dengan hati yang penuh harap. Namanya Naya. Setiap pagi, ia berdiri di tempat yang sama, berharap melihat sosok yang diam-diam memenuhi pikirannya selama ini. Sosok yang datang seperti angin musim semi dan hilang seperti bayangan dalam kabut.
Crush-nya, Dika, tak pernah meninggalkan pesan atau tanda. Ia datang di saat yang tak terduga, mengisi hari-hari Naya dengan tawa dan percakapan panjang tentang hal-hal kecil yang tak penting, tapi terasa hangat di hati. Tapi entah kenapa, suatu hari Dika pergi begitu saja tanpa pamit. Seperti kabut pagi ini, ia lenyap begitu saja. Naya menunggu. Setiap hari. Setiap jam.
Waktu berlalu, musim berganti. Jam-jam yang semula terasa bersemangat menemaninya kini terasa mengeluh, seakan turut menyesalkan kehadiran yang selalu dinanti namun tak pernah tiba. Jarum-jarum jam berdetak dengan irama malas, seperti mendesah kesal dan merindukan kebahagiaan yang pernah menghiasi waktu Naya.
"Naya, untuk apa kau menunggu seseorang yang bahkan tidak pernah menjanjikan apapun?" bisik hati kecilnya. Namun, perasaan cinta pertama itu begitu dalam, mengakar di hatinya. Ia tak bisa melepaskannya begitu saja.
Suatu sore, di bawah langit yang merah membara, seorang teman Naya menghampirinya dan menceritakan kabar yang sudah lama ia pendam. Dika pindah ke kota lain, entah kapan akan kembali. Naya terdiam, merasakan gemuruh di dadanya. Sakit dan rindu bercampur menjadi satu. Sekilas ia ingin membenci Dika, karena meninggalkan perasaan yang tak pernah terselesaikan.
Hari demi hari berlalu. Naya menyadari, tak peduli seberapa keras ia merindukan Dika, ia harus melepasnya. Ia sadar, menunggu seseorang yang takkan kembali hanya akan membuat hatinya semakin terbelenggu dalam kenangan. Dengan langkah pelan, ia meninggalkan halte itu. Takkan ada lagi penantian di sana. Kini, ia memilih untuk merangkai cerita baru, dan memulai kembali hidupnya, tanpa bayang-bayang Dika.
Jam di dinding berhenti mengeluh. Detik demi detik kembali berdetak, kini seiring langkah Naya yang penuh dengan ketenangan. Meskipun Dika tak pernah kembali, kenangan tentangnya akan tetap tinggal dalam hati, sebagai bagian dari masa lalu yang kini menjadi pelajaran untuk melangkah ke masa depan.