Aku adalah cewe yang bisa dibilang beruntung,tapi juga nggak. Sejak lulus kuliah, aku mengetahui bahwa aku bukanlah anak kandung orang tuaku.
Saat orang tua kandungku datang sebagai tamu di rumahku, aku menganggap bahwa mereka adalah teman orang tuaku.
"Salam kenal Om...Tante. Saya Dina,"
"Sudah besar ternyata. Kalian merawat Dina dengan baik, terimakasih,"
Dalam hatiku berkata, "Terimakasih. Kenapa berterimakasih, pertemanan kalian aneh,"
"Namanya saja amanah, tentu saja harus dijaga,"
"Maaf, Mah. Kalian membicarakan apa ya,"
"Begini, sayang. Sebenarnya mereka adalah orang tua kandung kamu,"
"Hah?,"
"Dulu saat ibu kamu mengandung kamu. Mertuanya tidak setuju, jika memiliki cucu perempuan. Mereka ingin cucu pertamananya adalah laki-laki,"
"Mertua ibumu menyuruh agar kamu dibuang dan segera memiliki anak lagi. Ibu dan ayahmu tidak bisa membuangmu, sebagai gantinya mereka menitipkan kamu ke mama,"
"Sebagai sahabat yang baik, mama menerima kamu dan mengadopsi kamu. Semua biayanya yang kamu butuhkan itu semua dari ibu kamu,"
"Kenapa baru sekarang kalian memberitahuku?," ucapku yang tidak percaya.
"Maafkan kami, saat itu tidak ada pilihan lain daripada kami harus kehilanganmu,"
"Sekarang mertua ibu sudah tiada, makanya kami berniat mengambilmu kembali,"
"Aku harus pisah dengan mama?,"
"Mama dan papa yang merawatku dari dulu, jika ingin mengambilku...kalian juga harus membawa mama dan juga papa,"
"Ibu setuju, bagaimana denganmu suamiku?,"
"Aku setuju saja. Bagaimanapun, merekalah yang membesarkan anak kita,"
Aku sedikit lega mendengar perkataan ayahku. Saat itu aku juga tahu kalau aku punya dua adik laki-laki. Mereka masih duduk di bangku SMA.
Orang tua kandungku selalu membicarakan bahwa mereka punya kakak perempuan dan tinggal jauh dari mereka supaya aman dari kakek dan juga neneknya. Syukurlah mereka paham dengan kondisi orang tua mereka dan menerimaku saat aku tiba disana.
Rumah mama dan papa dijual dan membeli rumah di perumahan tempat ibu dan ayah tinggal.
"Kak. Aku berangkat dulu ya," ucap Reno adik pertamaku.
"Hati-hati di jalan. Kamu nggak bareng sama si bungsu?,"
"Gio katanya mau jemput ceweknya,"
"Oke. Sudah pamit sama ibu dan ayah belum?,"
"Sudah, Kak. Aku pergi dulu, assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Mumpung libur kerja, aku menyempatkan main ke rumah mama dan papa. Papa sibuk mengurus kerjaannya di hari libur, sehingga hanya ada mama di rumah.
"Assalamualaikum, Ma,"
"Waalaikumsalam. Masuk sini, mama bikin kue kesukaanmu. Tadinya mama mau ke rumah kamu, ternyata sudah kesini aja,"
"Ini juga rumahku. Disitu ada orang tuaku, maka disitu juga ada aku,"
"Sudah sarapan belum?,"
"Sudah kok, Ma,"
"Baguslah. Mainlah agak lama, biar mama puas lihat kamu,"
"Siap, Ma. Aku kan selalu main kesini, masa mama belum puas,"
"Iya deh...habiskan kuenya. Sisanya kamu kasi ke ibu kamu ya,"
"Oke, Ma,"
Aku menghabiskan kue sambil bincang dengan mama, setelah selesai aku kembali pulang.
"Habis dari mamamu?," tanya Ibu.
"Iya. Ini kue buatan mama. Ibu disuruh habiskan kuenya,"
"Dari dulu paling suka kue buatan mamamu. Ternyata masih suka bikin kue dia,"
"Dari kecil aku juga selalu makan kue buatan mama. Dimakan ya, Bu. Aku mau mandi setelah itu mau ketemu sama teman kantorku,"
"Iya, ndok,"
Tahun berlalu hingga tidak terasa sudah lima tahun aku hidup dengan keluarga kandungku.
"Sudah beberapa hari ini, kondisi mama makin memburuk, Yah,"
"Ayah juga khawatir, ndok. Sudah ke beberapa rumah sakit, tapi tidak ada pembaikkan,"
Drt...drt..drt..
"Assalamualaikum, Pa. Ada apa ya telpon malam begini,"
Aku sempat terdiam sebentar setelah mendengar perkataan dari papa lalu kututup telpon itu.
"Sayang...kamu kenapa ndok," tanya ayah.
Aku menangis dengan kencang hingga membuat ayahku langsung memelukku untuk menenangkan diriku yang sedang menangis.
Ibu dan adik-adikku keluar ke teras saat mendengarkan tangisanku yang kencang.
"Ada apa ayah. Kenapa kakak nangis seperti ini," tanya gio.
"Sayang, ada apa ndok,"
Aku menghentikan tangisanku dan melepas pelukan ayah.
"Mama...barusan meninggal, Bu...,"
"Innanillahi. Sekarang kita siap-siap untuk ke rumah mamamu. Kalian mau ikut atau nggak?," tanya Ibu ke Reno dan Gio.
"Kita ikut, Bu. Sekalian melayat mama kak Dina,"
Kami pergi ke rumah mama dan disana sudah banyak tetangga yang berdatangan, tak lama terdengar pengumuman lelayu mamaku di speker mushola.
Aku segera memeluk papa dan menangis kembali. Jasad mama akan dimakamkan besok pagi. Setelah acara pemakaman mama dan juga tahlilan, papa menjual rumah itu dan pindah ke kota lain.
Mungkin bagi papa, ikatannya denganku hanya saat mama masih hidup dan aku tidak bisa melarang papa pergi tanpa kabar.
Walau sekarang aku hidup dengan keluarga kandungku, aku masih rindu dengan papa. Aku sudah menikah dan memiliki satu anak yang baru berusia tiga tahun.
TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA DAN JANGAN LUPA BACA JUGA KARYAKU *BENARKAH INI* GENRE CHAT^_^