Ada sebuah kisah tentang seorang pemuda bernama Jungwon yang selalu merasa hatinya kecil, seolah tidak mampu menampung segala perasaan dan harapan yang ada di dunia ini. Namun, di dalam hatinya yang kecil itu, tumbuh kebajikan yang mungkin tak pernah Jungwon sadari. Seperti benih yang tersembunyi di tanah yang keras, kebajikan itu perlahan tumbuh, meski dengan penuh perjuangan.
Seiring waktu, cobaan hidup datang silih berganti. Hatinya yang kecil itu pecah berkeping-keping, dihantam kekecewaan, kesedihan, dan rasa takut. Namun, meski hancur, ada kekuatan yang membuatnya bertahan. Jungwon tidak tahu bagaimana, tapi setiap keping hatinya yang patah justru memberi ruang bagi kebajikan yang lebih dalam untuk tumbuh.
Suatu hari, setelah sekian lama, Jungwon merasa hatinya mengeras, seolah menjadi batu yang kokoh. Namun, bukan batu keras yang kaku—melainkan batu yang terukir oleh waktu dan pengalaman. Dan setelah melalui perjalanan yang panjang itu, hatinya yang telah melewati banyak perubahan akhirnya meleleh, mengalir seperti air yang jernih. Dari sanalah, keabadiannya terungkap, bukan dalam bentuk yang megah, tetapi dalam kedamaian yang datang dari pemahaman yang dalam tentang dirinya sendiri.
Jungwon menyadari, bahwa dalam segala penderitaan dan kebingungan, kebajikan yang tumbuh dari dalam dirinya adalah yang membuatnya abadi. Bukan karena ia bebas dari kesulitan, tetapi karena ia mampu bertahan dan belajar dari semuanya. Keabadian bukanlah tentang waktu yang tak terbatas, melainkan tentang kemampuan untuk tetap ada, tumbuh, dan memberi arti, meski segala sesuatu di sekitar kita terus berubah.