Angin yang bertiup sepoi-sepoi bagai sebuah alunan yang membuat daun menari-nari dengan riang. Permadani biru yang tergelar dengan apik berhiaskan gumpalan putih, tertata dengan rapi.
Birunya langit dan suasana ceria, sangat berbanding terbalik dengan suasana hati seorang anak kecil, sebut saja namanya Ucup.
Suasana saat ini seolah meledek dirinya yang sedang terlihat sendu dan kelabu, dan semangatnya pun menjadi abu, terduduk seorang diri di sebuah bangku.
Helaan napas penuh keputusasaan, keluar secara berurut setiap waktu, kegelisahan perlahan mulai menyelimuti hatinya, tetapi tak ada tempat untuk mengadu.
Hingga sebuah tepukan di bahu menyentak kesadarannya, perlahan Ucup menoleh, tampak gadis dengan senyum manis terkembang di wajahnya yang ayu.
“Cup, sedang apa kau di sini sendirian?" tanyanya pada Ucup.
“Aku sedang galau, Lian. Entahlah pikiranku terasa berkecamuk, kesedihan pun seakan membelenggu diriku, semangatku seolah terserap habis oleh sesuatu," Ucup mulai mengadu.
“Biasanya kau coret-coret membuat komik, Cup. Kenapa tidak kau lakukan untuk mengalihkan perasaan galaumu yang tidak jelas itu?" Lian, atau gadis bernama Berlian ini merasa heran. Pasalnya ia kenal sekali dengan Ucup. Seorang pemuda yang memiliki minat yang besar pada dunia menulis. Bisa dikatakan menulis adalah hidupnya.
Lagi-lagi Ucup menghela napas. Matanya menerawang jauh memandang langit biru, “Justru itu, ideku pun melebur entah ke mana. Jadinya, aku tidak dapat melanjutkan komikku."
“Kalau begitu tuangkan saja perasaan galaumu lewat tulisan. Ya, semacam kau menulis buku harian. Supaya kemampuan menulismu tidak tumpul," usul gadis cantik itu.
“Cih! Menulis buku harian? Seperti anak perempuan saja," Ucup meremehkan usul sahabatnya itu.
“Belum dicoba, belum tahu. Aku yakin buku harianmu akan berbeda dengan buku harian kebanyakan orang. Terkadang perasaan sedih dan sendu bisa memainkan kata-kata dan menyusun sebuah kata menjadi tulisan yang apik dan berkesan. Ini ambilah!" Dilemparkannya sebuah note kecil serta sebuah pulpen pada Ucup. Dengan sigap, Ucup menangkapnya.
“Aku yakin kau bisa menuangkan perasaan sedihmu lewat sebuah tulisan dan membuat api semangatmu yang sempat menjadi abu akan berkobar kembali," lanjut Berlian kemudian. Setelahnya gadis itu pergi meninggalkan Ucup.
Ucapan Berlian terus terngiang-ngiang di kepalanya, ia mencoba menyusun sebuah kata di secarik kertas, penanya menari-nari dengan lincah di sana. Hingga tercipta sebuah narasi singkat.
Langit biru ....
Mengapa kau justru tersenyum
Disaat hatiku sedang sendu
Langit biru ....
Mengapa kau justru tersenyum
Disaat hatiku diselimuti awan kelabu
Kegelisahan dan kesepian yang membelenggu, membuat semangatku hancur dan menjadi abu.
Tetapi ...
Sepertinya kau tidak berniat untuk menghiburku dan mengubur senyumanku
Namun ...
Semua itu tak menjadi masalah buatku
Biarkan sekali ini saja aku mengadu padamu
Untuk menumpahkan segala keluh-kesah dan kegalauanku