Tak! Tak! Tak!
Suara tempurung kelapa dipukul dari ujung timur sana. Abdi lah pelakunya. Dia seorang anak laki-laki yang berusia 9 tahun. Abdi memukul tempurung kelapa itu sekali lagi seraya berlarian di jalanan sempit yang membelah persawahan.
Matahari telah lelah menunjukkan dirinya dan menghilang dibalik arah barat. Abdi seakan mengejar matahari itu. Langkah kakinya makin lama makin cepat disertai bunyi tempurung yang semakin memekakkan telinga.
"Abdi! Pulanglah ke rumahmu, hari mulai petang." Ucap Widya, seorang warga setempat yang berprofesi sebagai petani. Ia baru saja ingin pulang dan menjumpai Abdi berlari-lari sendirian.
Abdi tidak mendengarkan dan terus berlari keluar dari area persawahan. Kakinya tak beralas dan tanah kotor menempel di kuku kakinya.
"Bocah nakal!"
Abdi membuang tempurung kelapanya di dekat pohon pisang. Ia berhenti sejenak menetralkan napasnya. Langit sudah mulai berwarna kemerahan dan beduk dipukul, adzan dikumandangkan dari mushola. Waktunya pulang, pikir Abdi.
Abdi memiliki kedua orang tua yang sibuk berdagang. Ibu dan Bapaknya akan menjual hasil perkebunan mereka di pasar, mereka juga memiliki usaha warung kelontong di desa dan saat panen tiba orang tua Abdi akan memanen jagung di sawah mereka sendiri. Bisa dibilang Abdi adalah anak yang berkecukupan namun karena kehidupan masa kecilnya yang diurus oleh neneknya membuat Abdi susah diatur.
Kata warga, kenapa jarang pakai sandal? Baju compang camping, apa tidak dibelikan bapak ibukmu? Abdi hanya menjawab jika dirinya tidak ingin, ia hanya malas memakai pakaian bagus toh akan jelek juga saat dipakai bermain.
Anak seusianya memang susah diatur. Apa benar? Buktinya teman-temannya anteng saja menurut sama Ibunya. Memang anak itu saja yang susah diatur.
Abdi bersenandung nyanyian Bubuy Bulan sepanjang langkahnya. Anak ini memang tidak kenal takut, teman sepantarannya telah duduk manis di dalam rumah saat maghrib datang tapi tidak dengan Abdi, dia justru bernyanyi ria dan berjalan pelan untuk pulang.
"Bubuy bulan, bubuy bulan sangray bentang." Nyanyinya.
Sejenak ia berhenti melangkah memperhatikan bangunan sederhana peninggalan kolonial Belanda di depannya. Bangunan tersebut adalah sebuah rumah dulunya namun diganti fungsi menjadi panti asuhan setempat. Beberapa warga menitipkan anaknya di sana karena alasan bekerja ke luar kota hingga sebagai tki di negeri orang atau memang ditelantarkan.
"Mila kamanya nya?" Tanya Abdi seorang diri.
Mila alias Jameela, dia merupakan teman dekat Abdi dari mereka balita. Sejak balita Abdi selalu diajak main oleh neneknya ke panti itu dan yang paling sering dengan Jameela.
Jameela sendiri memiliki darah campuran Arab, dan sang ibu yakni Efa, yang kerja di Arab. Saat pulang Efa telah mengandung tiga bulan dan setelah melahirkan Jameela, sang Ibu menitipkan anaknya ke panti asuhan dan tidak ada kabar apapun. Bahkan rumah Efa di kampung telah terbengkalai tak terurus hingga bagian dalamnya sebagian telah roboh.
"Abdi! Kamu ini bagaimana? Pulang! Sudah maghrib masih keluyuran."
"Maaf, Pak. Saya pulang."
Abdi harus melewati panti itu untuk pulang ke rumahnya. Ia sangat penasaran dimana teman perempuannya itu? Apakah telah ada keluarga angkat yang membawanya pergi? Abdi sudah tidak melihat Jameela sejak dua hari yang lalu. Seketika raut wajahnya menjadi murung.
Langit semakin menggelap hingga tengah malam. Bumi berputar membawa hari baru seperti biasanya. Abdi harus berangkat sekolah hari ini. Pintar sekali dia memanfaatkan kondisi. Abdi akan tampil rapi dan wangi saat di hari-hari penting namun jika telah terlewat ia akan kembali ke wujud awut-awutannya.
Aneh, memang aneh.
Abdi melangkah ke dalam panti yang terbuka pintunya. Anak-anak telah siap dengan seragam sekolahnya. Dari dua puluh lima anak panti hanya tujuh yang memasuki usia sekolah dan satu di antaranya ialah Jameela.
Anak perempuan itu memakai seragam merah putihnya. Rambut Jameela dikepang dua, manisnya ia dan cantiknya wajah perpaduan dua negara ini. Jameela dan Abdi hanya selisih satu tahun. Mereka akan berangkat bersama ke sekolah yang sama pula.
Abdi senang karena Jameela. Ia memiliki sahabat yang selalu bersamanya, saat bermain, bersedih dan itu adalah Jameela.
"Kamu dimana saja, Mila?"
"Ibu Fatimah membawaku ke kota."
"Untuk apa?"
"Memperkenalkan orang tua angkatku."
Abdi merasa sedikit tidak suka mendengarnya. Itu berarti Jameela akan pergi meninggalkan dirinya. Ia tidak bisa lagi bersama Mila nya, kepada siapa ia harus ditemani jika bukan Mila. Dia selalu menemaninya dimanapun ia mau tapi kenapa Jameela harus pergi?
"Tidak apa-apa, Abdi. Aku akan mengunjungimu nanti."
"Memangnya kapan?"
"Satu minggu lagi." Jameela terkikik setelahnya.
Entah mengapa waktu itu sangat cepat berlalu, ya. Dihitung dari kemarin, Abdi sudah melewati satu hari sebelum kepergian Jameela. Abdi berlari cepat mengunjungi panti dan di sana sudah ada Jameela yang menunggunya di atas ayunan kayu di bawah pohon besar.
Abdi menghampirinya dan menutup kedua mata Jameela. Ia merasa bulu mata sedang berkedip mengenai telapak tangan kecilnya. Ia menahan tawa gelinya di belakang.
"Abdi, kunaon ih."
Abdi tertawa karena tertangkap basah. Mereka tertawa bersamaan dan setelahnya pergi berjalan-jalan menelusuri desa. Tak terasa mereka berjalan hingga ke desa sebelah, menempuh perjalanan yang lama namun tak terasa.
"Kalau besar kamu mau jadi apa, Abdi?"
"Tidak tahu, kamu?"
"Aku akan menjadi guru."
Abdi mengangguk seraya mencabut bunga ilalang yang tampak indah di pinggir jalan itu. Ia membentuknya seperti hiasan kepala yang melingkar, terdapat bunga berwarna ungu yang mempercantiknya.
"Aku jadi pangeranmu saja." Ucap Abdi sembari memasangkan hiasan itu di atas kepala Jameela.
Jameela tertawa menanggapinya. Ia senang Abdi mengatakan itu dan lebih senangnya hiasan kepala yang diberikan sangatlah indah dan rapi.
"Wah, geulis pisan. Aku suka, makasih Abdi."
Mereka terhanyut dalam kebahagiaan. Abdi menikmati cipratan air yang diberikan untukknya. Aliran sungai yang kecil mereka rasakan. Baju mereka sedikit basah bawahnya tapi Jameela tidak memikirkannya begitupun dengan Abdi.
Tak terasa sudah mau maghrib lagi dan mau tak mau mereka harus kembali ke rumah masing-masing. Jameela melambaikan tangannya senang dan melihat kepergian Abdi.
"Ya Gusti, Mila. Sini masuk udah mau maghrib baru pulang."
"Maaf, Ibuk. Mila sama Abdi tadi."
"Kebiasaan. Orang tua mu udah datang, gak jadi minggu depan."
Apa yang harus Mila katakan terhadap Abdi?
Abdi baru saja merasakan bahagia di atas awang-awang. Tidurnya menjadi tak nyenyak karena memikirkan Jameela. Berharap dapat menikmati setiap momen bersama Mila, paginya Nenek Abdi membuka kasar pintu kamarnya.
"Abdi! Si Mila mau pergi, sana disamperin." Ucap nenek Abdi sembari mengunyah sirihnya.
Abdi terlonjak dari tidurnya. Bukankah masih beberapa hari lagi tapi kenapa hari ini perginya?
Abdi buru-buru turun dari ranjangnya dan berlari keluar rumah dengan cepat. Ia sangat kaget mendengar Mila nya akan pergi dengan cepat. Tanpa terasa air matanya jatuh sedikit di pelupuk kiri matanya.
Jameela terlihat memeluk bonekanya dan mengenakan jaket di samping mobil jeep. Ia menoleh melihat Abdi di sana, sedikit bersembunyi melihatnya. Ia masih sama tak memakai sandal dengan baju usang yang ia punya.
Jameela memanggilnya sembari melambai. "Abdi!"
Abdi melangkah pelan seraya menunduk. Ia sampai lupa mencuci wajahnya karena Jameela.
"Maafkan aku, Abdi. Aku berjanji akan menemuimu."
"Aku takut."
"Kenapa?"
"Kau berbohong! Harusnya kau pergi seminggu lagi."
"Maaf, aku juga tidak tahu. Ibuk berkata kemarin malam selepas kita bermain."
Abdi tiba-tiba memeluk Jameela erat. Ia menangis sesenggukan merasa kehilangan. Jameela menenangkan sahabatnya ini.
"Jangan menangis. Kamu kan ingin menjadi pangeran untukku. Apa kamu lupa?"
Tentu saja tidak! Sampai Abdi berusia 23 tahun ia tetap menjadi pangeran Jameela. Kini Abdi telah tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan bersih, tubuhnya terawat dengan baik. Dan saat ini ia menempuh pendidikan master nya di kota.
Di satu sisi seorang wanita hamil mengelusi perutnya yang sedikit membuncit. Ia membelai hiasan kepala yang telah layu dan kering, sangat jelek namun penuh makna di dalamnya. Ia memilin cincin pernikahannya yang berusia satu tahun itu.
Wanita itu tentu saja Jameela.
Tidak terasa belasan tahun telah terlewati dan kini Abdi dan Jameela menjadi sepasang suami istri yang memadu kasih. Bahagianya lagi mereka akan merasakan kehidupan baru dari sang buah hati yang akan lahir.
Mereka berpelukan mesra melihat rumah panti di depan mereka. Anak-anak telah tumbuh dewasa dan sebagian sudah banyak yang bekerja. Jameela tak menduga hal ini akan terjadi.
Teman kecilnya, sahabatnya, Abdi akan menjadi pangerannya secara nyata. Abdi adalah suaminya sekaligus cinta pertamanya.
Takdir Tuhan memang tidak ada yang bisa menebak lantas jika ingin menebak, siapa kira-kira yang akan menjadi pasanganmu kelak?