Mentari Kamis dan Janji Perpisahan
Matahari Kamis itu terasa seperti bara api yang membakar kulit. Avani dan Rara berlari menuju kantin, mencari kesegaran es untuk meredakan dahaga. Di tengah kantin yang penuh sesak, mataku menangkap sosok seorang laki-laki. Seragam Pramukanya tampak begitu gagah, senyumnya merekah seperti mentari pagi, dan matanya… Matanya seolah berbisik kata-kata yang tak terucap. Sejak saat itu, aku tak bisa melupakan senyumnya. Dia adalah Rio, sekretaris OSIS yang selalu ramah dan murah senyum. Perasaanku padanya tumbuh semakin kuat, bersemi di taman hati yang dulu membeku.
Rasa ini bukan sekadar rasa suka pada seorang kakak kelas, tapi sebuah cinta yang tulus dan penuh harap. Aku ingin sekali mengungkapkannya, tapi rasa takut mencengkeram jiwaku. Apa jadinya jika dia menolak? Apakah aku akan kehilangannya?
Hatiku berdegup kencang, tangan berkeringat. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. "Rio, boleh aku ngobrol sebentar?" tanyaku dengan suara gemetar.
"Tentu," jawab Rio dengan senyum yang membuatku semakin gugup.
Aku menghela napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. "Rio, aku suka kamu," kataku terbata-bata.
Senyum Rio memudar, digantikan oleh raut wajah yang sulit diartikan. "Maaf, aku anggap kamu hanya seperti adikku sendiri," jawabnya pelan.
Rasa sakit menusuk-nusuk jantungku. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang mengancam jatuh.
"Aku mengerti," kataku, berusaha tersenyum, meskipun rasanya pedih sekali. "Aku harus ke kelas dulu."
Aku berbalik dan berlari, meninggalkan Rio yang masih berdiri di sana dengan wajah yang tak terbaca. Aku menangis di kelas, menumpahkan semua kesedihan dan kekecewaan.
Hari-hari selanjutnya terasa berat. Setiap kali bertemu Rio, aku selalu teringat penolakannya. Aku berusaha untuk melupakan, tapi rasa sakit itu masih terasa.
Suatu hari, ketika sedang sholat Ashar di mushola, aku mendengar suara yang familiar. "Avani," suara Rio membuatku terkejut.
Aku menoleh dan melihat Rio berdiri di pintu, dengan raut wajah yang serius. "Avani, bagaimana kabarmu? Maaf, aku dulu tak bisa membalas perasaanmu. Aku salah menilai diriku," katanya.
Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Rasa marah dan kecewa bercampur baur dengan sedikit rasa lega.
"Aku masih mencintai kamu, Avani. Apakah kamu mau memberi aku kesempatan untuk membuktikannya?"
Air mataku kembali mengalir, tapi kali ini karena kebingungan. Dia meminta kesempatan, tetapi aku masih terluka.
"Aku butuh waktu untuk berpikir," jawabku.
"Baiklah, aku mengerti. Bolehkah aku meminta nomor WA-mu?"
Aku ragu sejenak. Tapi, entah mengapa, hatiku masih menyimpan sedikit rasa cinta untuknya. "Ya," jawabku pelan.
Malam itu, Rio mengirim pesan. Kami mengobrol tentang berbagai hal, dan lama-kelamaan, rasa cintaku padanya kembali muncul.
Dia menyatakan cintanya padaku. Aku terharu, tetapi hatiku masih terluka.
"Aku tidak bisa menerima cintamu," kataku. "Aku masih sakit hati karena penolakanmu dulu."
"Aku mengerti. Aku tak akan memaksamu. Tapi, aku hanya ingin kamu tahu, aku mencintai kamu."
Perpisahan kami bukanlah akhir dari segalanya. Jalan hidup kami memang berbeda. Aku harus fokus meraih cita-citaku, dan Rio pun memiliki jalannya sendiri.
Namun, kenangan manis masa sekolah, ketika mentari Kamis menyapa kami di kantin, akan selalu terukir di hati. Perpisahan kami, yang terjadi karena keadaan, bukan karena takdir. Perpisahan yang membuatku terluka, namun juga menjadi pelajaran hidup.
Tak mudah melupakan cinta pertama. Rasa sakit dan kenangannya tetap terpatri. Namun, hidup terus berjalan. Aku mencoba untuk fokus pada mimpi-mimpiku. Menjadi dokter, menolong orang lain, itulah tujuan hidupku.
Aku masih sering mengingat Rio. Terkadang, senyumnya terlintas dalam mimpi, dan aku merasa seperti kembali ke kantin sekolah, di bawah terik mentari Kamis.
Aku tahu, jalan kita mungkin tak sama. Tapi, jiwa kita terikat, meskipun raga kita terpisah. Cinta kita, meski kini perlahan pudar dari ingatan, akan selalu ada di dalam hati.
Perpisahan ini hanyalah cobaan. Cobaan yang menguji kekuatan cinta kita. Cobaan yang membuat kita harus berpisah untuk sementara waktu, untuk meraih cita-cita masing-masing.
Perpisahan ini bukan akhir, melainkan awal dari segalanya. Kita berpisah ke jalan masing-masing, untuk mencapai cita-cita yang kita impikan.
Hari-hari berlalu, dan aku semakin fokus pada pelajaran. Kuliah kedokteran bukanlah hal yang mudah, tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk meraih cita-citaku.
Namun, aku tak bisa melupakan Rio. Aku masih sering memikirkan senyumnya, matanya, dan suaranya.
Setahun berlalu, dan aku tak pernah bertemu dengannya. Aku merasa kehilangan, kehilangan sosok yang pernah mengisi hatiku, yang pernah membuatku tersenyum.
Hingga suatu hari, aku mendengar kabar tentang karnaval di daerah sekolahku. Karnaval ini melibatkan beberapa sekolah, termasuk SMK tempat Rio bersekolah.
Seketika, hatiku berdesir. Aku ingin bertemu dengan Rio, melihat senyumnya, mendengar suaranya, merasakan kehadirannya lagi.
Aku berjanji pada diriku sendiri, aku harus datang ke karnaval itu.
Hari karnaval pun tiba. Aku bersemangat, degup jantungku tak menentu. Ketika aku melihatnya, sosoknya berdiri di tengah kerumunan, senyumnya masih sama seperti dulu, matanya masih menyimpan sinar hangat.
Aku teriak memanggil namanya, "Rio!"
Dia menoleh ke arahku. Matanya terbelalak, tertegun melihatku. Aku pun tertegun melihatnya. Dia bertambah tinggi, dan aku masih pendek seperti ini.
"Avani?" ucapnya, suaranya terdengar tak percaya.
"Hai, Avani! Apa kabar?" sapa Rio dengan senyum yang membuatku tersentak.
"Rio..." Aku terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Aku sangat merindukannya.
Dia menghampiriku, dan dengan lembut, dia berkata, "Apakah kamu sudah memaafkanku?" tanyanya dengan raut wajah yang sedih.
"Aku rindu padamu," bisiknya di telingaku.
Aku tak bisa menahan tangisku. "Ya, aku juga rindu padamu," jawabku, air mataku mengalir deras.
Aku menangis di pelukannya, merasa sangat merindukan dirinya. Sudah tiga tahun sejak kelulusan, aku tak pernah bertemu dengannya. Apakah benar teori benang merah itu? Teori yang mengatakan bahwa orang-orang yang ditakdirkan untuk bertemu akan selalu bertemu?
Kami banyak bercerita, berbagi pengalaman, dan kekecewaan. Rio bercerita tentang pekerjaannya di bengkel, tentang hobinya memperbaiki mesin. Dia masih sangat bahagia ketika berurusan dengan mesin-mesin itu.
"Aku masih mencintaimu," ujarnya, suaranya terdengar pelan tapi pasti.
Aku terdiam, tertegun. Mataku bertemu dengan matanya, dan aku melihat cinta di dalamnya.
"Aku belum siap mencintaimu. Maaf, tapi aku mau fokus terhadap sekolahku," jawabku dengan suara bergetar.
Rio tertawa, "Kamu memang selalu serius."
"Dulu, kamu suka menjahilku, ingat?" tanyanya, senyumnya mengembang.
"Ya, memang," jawabku, teringat masa sekolah. "Kamu sering mengambil buku pelajarananku, lalu menyembunyikannya, dan ketika aku mencari, kamu malah tertawa. Kamu juga pernah mengganti contekananku dengan kertas kosong!"
Rio tertawa lebih keras, "Hahaha, maaf ya, aku memang nakal."
Kami berjalan bersama, menikmati karnaval itu. Aku menggenggam tangannya, merasa sangat nyaman, sangat dekat. Rio mengantar Avani sampai depan gerbang SMA-nya.
"Jangan rindu. Rindu itu berat, biar aku saja," ujar Rio, mengelus kepala Avani, sembari berkata
"belajar yang rajin. Aku merindukanmu, selalu merindukanmu. Aku siap jika kau rindu, telpon saja aku," ujar Rio sambil tersenyum.
Avani pun berbalik, tersenyum, dan melambaikan tangan. Rio pun pergi, menghilang di antara kerumunan.
Avani kembali ke sekolah, merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Dia merasa hidupnya kembali berwarna.
Pertemuan di karnaval itu seperti menghidupkan kembali api cinta yang sudah lama padam.
Namun, Avani masih ragu. Dia belum siap menjalin hubungan dengan Rio.
Avani mencoba untuk fokus pada kuliah kedokterannya. Dia berharap suatu hari nanti, dia bisa memberikan jawaban yang tepat untuk Rio.
Hari-hari berlalu, Avani terus berusaha fokus pada kuliahnya. Dia mengulang pelajaran dengan tekun, mengerjakan tugas dengan rajin, dan mencoba untuk menghilangkan bayangan Rio dari pikirannya.
Namun, memang tak mudah untuk melupakan seseorang yang pernah menguasai hatinya. Avani masih sering mengingat senyum Rio, kata-kata Rio, dan sentuhan Rio.
Suatu sore, ketika Avani sedang berjalan pulang dari kampus, dia menemukan Rio sedang menunggu di depan gerbang kampus.
"Rio?" Avani terkejut.
"Aku ingin mengantarkan kamu pulang," kata Rio, senyumnya menawan.
"Eh, nggak usah. Aku bisa pulang sendiri."
"Tidak apa-apa. Aku ingin mengantarkanmu. Lagipula, aku sedang kosong hari ini." Rio mengeluarkan sepeda motornya dari parkiran.
Avani mengangguk sambil tersenyum. Dia mencoba untuk menghilangkan kebingungannya dan menyerahkan tas kuliahnya pada Rio.
Rio mengantarkan Avani pulang. Sepanjang jalan, mereka berbincang tentang berbagai hal. Rio bercerita tentang pekerjaannya di bengkel, tentang hobinya memperbaiki mesin, dan tentang cita-citanya untuk membuka bengkel sendiri.
Avani tertawa mendengar cerita Rio. Dia terpesona oleh semangat dan keberanian Rio. Avani juga bercerita tentang kuliahnya, tentang tantangan yang dihadapinya, dan tentang mimpi-mimpinya untuk menjadi dokter yang baik.
Saat mereka sampai di depan rumah Avani, Rio menghentikan sepeda motornya. "Terima kasih sudah mengantarkanku," kata Avani.
"Sama-sama," jawab Rio. "Aku berharap kamu bisa memberiku jawaban tentang perasaanmu segera."
Avani terdiam. Dia menatap mata Rio, mencoba mencari jawaban di dalam hatinya.
"Aku masih perlu waktu untuk berpikir," jawab Avani akhirnya. "Tapi, terima kasih atas kesabaranmu."
Rio mengangguk sambil tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku akan menunggu."
Avani turun dari sepeda motor, kemudian berbalik dan menatap Rio. "Terima kasih untuk segalanya," katanya.
Rio mengangguk. "Aku juga mencintaimu, Avani."
Avani tersenyum sambil menggeleng kepala. Dia mengangkat tangannya dan melambaikan tangan pada Rio.
"Sampai jumpa lagi," katanya.
Rio mengangguk dan berbalik, kemudian meninggalkan Avani yang masih terpaku di tempat.
Avani masuk ke rumahnya dengan hati yang berbunga-bunga. Pertemuannya dengan Rio hari ini memberikannya sebuah harapan baru.
Avani mencoba untuk fokus pada kuliahnya. Dia berharap suatu hari nanti, dia bisa memberikan jawaban yang tepat untuk Rio.
Avani tahu bahwa menjalin hubungan dengan Rio tidak akan mudah. Tetapi, dia juga tahu bahwa hatinya masih mencintai Rio.
Avani berharap bahwa waktu akan memberikan jawaban yang tepat untuknya.
…