Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah benar-benar tidur, suara mesin motor Balfas memecah malam. Dengan tatapan dingin dan langkah penuh percaya diri, dia melaju di jalanan yang menjadi saksi bisu dari segala luka dan amarahnya.
Meski usianya baru 17 tahun, hidup Balfas sudah penuh dengan kegelapan dan dendam yang tertanam dalam. Kehidupannya berubah sejak malam yang mengerikan itu, malam ketika ibunya dibunuh di depan matanya oleh sosok bertopeng.
Balfas adalah pemimpin Zero Black, geng motor yang paling ditakuti di kotanya. Dia dikenal bukan hanya karena kebrutalannya dalam perkelahian, tetapi juga karena ketajamannya dalam mengatur strategi. Gengnya menguasai banyak wilayah, dan setiap anggota tahu bahwa perintah Balfas adalah mutlak.
Tidak ada yang berani menentangnya. Setiap malam, Balfas memimpin mereka berpatroli, memastikan bahwa kota itu tunduk di bawah bayangannya. Kehidupannya sebagai pemimpin geng adalah pelarian dari rasa sakit, sekaligus alat untuk mencari jawaban.
Dia masih mengejar bayangan pria bertopeng yang membunuh ibunya, sosok yang entah di mana.
***
Malam itu, Balfas tiba di rumah setelah menerima panggilan dari ayahnya yang memintanya pulang lebih awal. Rumah terasa sunyi, hampir menyeramkan.
Ayahnya duduk di ruang tamu, wajahnya tampak serius dan lebih tegang dari biasanya. Mereka jarang berbicara banyak sejak tragedi itu, dan kalaupun berbicara, percakapan mereka selalu dingin.
"Fas, duduk sini sebentar," kata ayahnya saat Balfas masuk.
"Ayah mau ngomong apa?" Balfas mendekat, duduk di kursi sebelah dengan ekspresi datar.
Sang ayah menatapnya sejenak, menghela napas, lalu berkata, "Ayah pengen kamu masuk pesantren. Setahun aja."
Balfas mengangkat alis, lalu tertawa kecil. "Balfas nggak salah denger kan? Pesantren? Serius, yah?"
"Serius, Fas. Ayah udah mikirin ini matang-matang. Kamu butuh ini."
"Ayah pasti bercanda," balas Balfas, suara tawanya terdengar dingin. "Balfas nggak ada niat buat hidup di tempat kayak gitu."
"Kalau kamu nggak mau, saham yang udah ayah siapkan nggak akan kamu dapat," ujar ayahnya, nada suaranya tegas, tak memberi ruang untuk bantahan.
Tatapan Balfas berubah. "Jadi, ayah pikir dengan cara gini, Balfas bakal nurut?"
"Bukan soal nurut, Fas. Ayah cuma mau yang terbaik buat kamu. Di sana kamu bisa belajar sesuatu yang nggak pernah kamu dapetin di luar."
Balfas diam, matanya menyiratkan amarah yang tertahan. Dia tahu satu hal: saham itu sangat penting. Itu adalah cara baginya untuk membangun kekuatannya sendiri, sesuatu yang tidak bisa dikendalikan ayahnya.
Meski hatinya menolak keras ide untuk dikirim ke pesantren, dia tahu bahwa menolak berarti kehilangan kendali atas masa depannya.
"Fine," katanya akhirnya, dengan suara rendah dan dingin. "Balfas bakal pergi, tapi jangan harap Balfas akan berubah atau ikut aturan."
Ayahnya hanya bisa tersenyum tipis. "Kita lihat aja, Fas. Kadang hidup punya cara buat ngubah orang, lebih dari yang kita sangka."
***
Hari pertama di pesantren menjadi momen yang tidak akan terlupakan oleh para santri. Ketika mobil hitam berhenti di gerbang, sosok yang keluar bukanlah santri biasa.
Balfas turun dengan jaket kulit hitam, jeans robek, dan sepatu boots, seperti bayangan gelap yang masuk ke dunia penuh cahaya. Wajahnya tetap dingin, tak menunjukkan emosi sedikit pun.
Santri-santri yang berkumpul di halaman berhenti berbicara, semua mata tertuju pada Balfas. Mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa sosok asing ini.
"Dia siapa? Gayanya kayak berandalan," bisik salah satu santri, sedikit ketakutan.
"Sepertinya bukan orang sini. Lihat tatapan matanya, serem banget," tambah yang lain.
Di pesantren, aturan ketat diterapkan—tidak ada ponsel, musik, atau hal-hal yang mengganggu. Namun, itu tidak menghentikan Balfas dari membuat keonaran.
Saat orientasi, ketika para santri baru sedang memperkenalkan diri satu per satu, Balfas duduk di barisan paling belakang dengan ekspresi bosan. Ketika gilirannya tiba, dia bangkit dan berjalan ke depan dengan langkah santai, menatap santri lain dengan tatapan tajam.
"Nama gue Balfas," ucapnya dengan suara rendah yang membuat semua orang terdiam.
"Gue di sini cuma karena keinginan orang tua gue, jadi jangan harap gue bakal patuh sama semua aturan yang ada."
Para ustadz yang hadir di aula tampak terkejut, tapi sebelum mereka sempat bereaksi, Balfas sudah kembali ke tempat duduknya, seolah-olah dia baru saja mengatakan hal yang paling biasa di dunia.
***
Sore harinya, ketika seharusnya semua santri berlatih ibadah dan mengaji, Balfas memilih untuk duduk di atap asrama, menyendiri. Atap itu sebenarnya terlarang untuk didatangi, tapi Balfas berhasil menemukan cara untuk naik ke sana tanpa ada yang tahu.
Ketika seorang santri senior mendekatinya dan mencoba menegur, Balfas hanya melirik sekilas dan melontarkan senyum dingin.
"Gue nggak peduli sama aturan lo di sini. Gue naik ke sini karena gue mau," katanya, suara rendahnya menantang.
Malam itu, Balfas kembali membuat masalah. Ketika semua santri sedang bersiap tidur, dia sengaja mematikan listrik di asrama, membuat seluruh bangunan gelap gulita.
Ketika santri dan ustadz sibuk mencari sumber masalah, Balfas duduk di sudut halaman, mengamati kekacauan yang dia buat dengan ekspresi puas.
Kejadian itu menyebar cepat di kalangan santri, dan hanya dalam sehari, nama Balfas sudah dikenal sebagai sosok yang tidak bisa dianggap remeh.
Mereka tidak tahu siapa dia sebenarnya, tapi satu hal yang pasti, Balfas bukan santri biasa. Ada sesuatu yang gelap dan berbahaya di balik tatapannya yang dingin, sesuatu yang membuat orang lain enggan mendekat.
***
Di bawah langit malam yang cerah, Balfas duduk sendirian di luar asrama, tatapannya tertuju pada bintang-bintang yang berkilauan.
Di dalam hatinya, dia merasa semakin jauh dari kebebasan yang dulu dia rasakan di jalanan. Tapi dia tahu satu hal: meski terpaksa tinggal di pesantren ini, dia tidak akan pernah membiarkan tempat ini mengubahnya.
Selama masih ada pria bertopeng yang masih bebas di luar sana, Balfas tidak akan berhenti mencari cara untuk keluar dan menemukan jawabannya. Untuk itu, dia harus bertahan—tanpa terikat, tanpa berubah.
~Bersambung