Mentari sore menyinari lapangan basket sekolah, menerangi wajah-wajah ceria para siswa yang tengah asyik bermain. Di kelas 7A, suasana berbeda. Sepi, sunyi, dan sedikit mencekam. Hanya tersisa Rara, gadis berambut panjang yang duduk di bangku paling belakang, matanya tertuju pada buku pelajaran yang terbuka di hadapannya.
“Rara, kamu ngapain di sini sendirian?” Suara Arga, sahabat Rara, memecah kesunyian. Arga, pemuda bertubuh kekar dengan rambut ikal, mendekat dan duduk di bangku di samping Rara.
“Ngerjain PR,” jawab Rara singkat, matanya masih tertuju pada buku.
“Kok sendirian? Yang lain pada pulang semua,” kata Arga, heran.
“Aku mau ngerjain PR dulu, baru pulang,” jawab Rara, masih dengan nada datar.
Arga mengerutkan kening. “Kamu kenapa sih? Dari tadi diem aja, kayak ada yang ngeganggu,” kata Arga, memperhatikan raut wajah Rara yang tampak murung.
Rara menghela napas. “Aku takut, Ga,” jawabnya lirih.
“Takut apa?” tanya Arga, penasaran.
“Hantu,” jawab Rara, matanya mulai berkaca-kaca.
Arga terkekeh. “Hantu? Di sekolah? Kamu ngawur, Ra,” katanya, berusaha menenangkan Rara.
“Beneran, Ga. Aku ngeliat sendiri,” jawab Rara, suaranya bergetar.
“Ngeliat apa? Cerita dong,” desak Arga, penasaran.
Rara menghela napas panjang. “Tadi siang, pas aku lagi ngerjain PR di kelas, aku ngeliat bayangan hitam di pojok kelas. Bayangannya tinggi, kurus, dan kayak pakai baju putih,” cerita Rara, suaranya semakin lirih.
Arga mengerutkan kening. “Kamu ngantuk kali, Ra. Udah sore, pasti ngantuk,” katanya, berusaha meyakinkan Rara.
“Enggak, Ga. Aku beneran ngeliat. Bayangannya ngeliatin aku, terus ngilang,” jawab Rara, matanya berkaca-kaca.
Arga terdiam. Dia tidak ingin mengejek Rara, tapi dia juga tidak percaya dengan cerita hantu. “Yaudah, kalau kamu takut, kita pulang bareng aja,” kata Arga, akhirnya.
Rara mengangguk, lega. “Makasih, Ga,” katanya, tersenyum tipis.
Mereka berdua keluar kelas, berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Sepanjang jalan, Rara terus bercerita tentang pengalamannya melihat bayangan hitam di kelas. Arga mendengarkan dengan saksama, meskipun dalam hati dia masih meragukan cerita Rara.
Keesokan harinya, Rara kembali ke kelas 7A. Dia masih merasa takut, tapi dia berusaha untuk tidak memikirkan bayangan hitam yang dilihatnya kemarin. Dia duduk di bangku belakang, seperti biasa, dan mulai mengerjakan PR.
Namun, rasa takutnya kembali muncul saat dia melihat bayangan hitam di pojok kelas. Bayangan itu sama seperti yang dilihatnya kemarin, tinggi, kurus, dan memakai baju putih. Rara langsung berteriak, ketakutan.
“Ada apa, Ra?” tanya Arga, yang baru saja masuk kelas.
Rara menunjuk ke pojok kelas. “Itu, Ga. Bayangannya lagi ngeliatin aku,” katanya, ketakutan.
Arga mengerutkan kening. Dia melihat ke arah yang ditunjuk Rara, tapi dia tidak melihat apa-apa. “Kamu ngantuk lagi, Ra. Enggak ada apa-apa,” katanya, berusaha menenangkan Rara.
Rara menggeleng. “Beneran, Ga. Aku ngeliat sendiri,” katanya, suaranya bergetar.
Arga terdiam. Dia tidak ingin mengejek Rara, tapi dia juga tidak percaya dengan cerita hantu. Dia memutuskan untuk menyelidiki sendiri. Dia berjalan ke pojok kelas, mendekati tempat Rara melihat bayangan hitam.
“Rara, kamu ngeliat bayangannya di mana?” tanya Arga, matanya tertuju ke pojok kelas.
Rara menunjuk ke arah lemari tua yang ada di pojok kelas. “Di situ, Ga. Bayangannya ngeliatin aku dari balik lemari,” jawab Rara, suaranya bergetar.
Arga mendekati lemari tua itu. Dia mencoba membuka lemari, tapi lemari itu terkunci. “Lemarinya terkunci, Ra. Enggak mungkin ada orang di dalam,” kata Arga, berusaha meyakinkan Rara.
Rara menggeleng. “Aku yakin ada yang di dalam, Ga. Aku ngeliat sendiri,” katanya, suaranya semakin bergetar.
Arga terdiam. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak percaya dengan cerita hantu, tapi dia juga tidak ingin mengecewakan Rara. Dia memutuskan untuk mencari tahu sendiri.
Arga meminta bantuan teman-temannya untuk mencari kunci lemari tua itu. Setelah beberapa saat, mereka menemukan kunci lemari itu di ruang guru. Arga membuka lemari tua itu, dan ternyata di dalam lemari itu kosong.
“Lihat, Ra. Enggak ada apa-apa di dalam lemari,” kata Arga, lega.
Rara terdiam. Dia masih merasa takut, tapi dia mulai percaya bahwa mungkin saja dia salah melihat.
“Mungkin aku salah liat, Ga,” katanya, lirih.
Arga mengangguk. “Iya, Ra. Mungkin kamu ngantuk,” katanya, berusaha menenangkan Rara.
Rara tersenyum tipis. “Makasih, Ga,” katanya, lega.
Sejak hari itu, Rara tidak lagi melihat bayangan hitam di kelas. Dia mulai percaya bahwa mungkin saja dia salah melihat. Namun, dia tetap merasa sedikit takut saat berada di kelas 7A sendirian.
Suasana kelas 7A kembali normal. Para siswa kembali bercanda dan bermain di kelas. Rara pun kembali ceria, meskipun dia masih sedikit takut saat berada di kelas 7A sendirian.
Namun, beberapa minggu kemudian, Rara kembali melihat bayangan hitam di pojok kelas. Kali ini, bayangan itu lebih jelas dan lebih nyata. Rara berteriak ketakutan, dan semua siswa di kelas langsung menoleh ke arahnya.
“Ada apa, Ra?” tanya Arga, heran.
Rara menunjuk ke pojok kelas. “Itu, Ga. Bayangannya lagi ngeliatin aku,” katanya, ketakutan.
Arga mengerutkan kening. Dia melihat ke arah yang ditunjuk Rara, tapi dia tidak melihat apa-apa. “Kamu ngantuk lagi, Ra. Enggak ada apa-apa,” katanya, berusaha menenangkan Rara.
Rara menggeleng. “Beneran, Ga. Aku ngeliat sendiri,” katanya, suaranya bergetar.
Arga terdiam. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak percaya dengan cerita hantu, tapi dia juga tidak ingin mengecewakan Rara. Dia memutuskan untuk mencari tahu sendiri.
Arga meminta bantuan teman-temannya untuk mencari tahu tentang bayangan hitam itu. Mereka mencari informasi di internet, bertanya kepada guru-guru, dan bahkan mencoba menghubungi paranormal. Namun, mereka tidak menemukan jawaban yang memuaskan.
Akhirnya, Arga memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Dia berjanji kepada Rara bahwa dia akan mencari tahu tentang bayangan hitam itu. Dia akan membuktikan bahwa Rara tidak salah melihat.
Arga mulai menyelidiki kelas 7A. Dia memeriksa setiap sudut kelas, mencari petunjuk tentang keberadaan bayangan hitam itu. Dia menemukan sebuah buku tua di lemari tua yang pernah di buka sebelumnya. Buku itu berisi catatan-catatan tentang sejarah sekolah.
Arga membaca catatan-catatan itu dengan saksama. Dia menemukan sebuah cerita tentang seorang siswa yang meninggal di kelas 7A beberapa tahun yang lalu. Siswa itu meninggal karena sakit, dan arwahnya dikabarkan masih bergentayangan di kelas 7A.
Arga terdiam. Dia mulai percaya bahwa Rara tidak salah melihat. Bayangan hitam yang dilihat Rara mungkin adalah arwah siswa yang meninggal di kelas 7A.
Arga memutuskan untuk menceritakan penemuannya kepada Rara. Dia berharap Rara bisa tenang setelah mengetahui kebenaran tentang bayangan hitam itu.
Arga menemui Rara di kelas 7A. “Ra, aku udah nemu jawabannya,” kata Arga, serius.
Rara mengerutkan kening. “Jawaban apa, Ga?” tanyanya, penasaran.
Arga menceritakan penemuannya tentang siswa yang meninggal di kelas 7A. Rara terdiam, matanya berkaca-kaca.
“Jadi, bayangan hitam itu adalah arwahnya?” tanya Rara, lirih.
Arga mengangguk. “Mungkin,” jawabnya, pelan.
Rara terdiam. Dia merasa sedih dan takut. Dia tidak ingin arwah siswa itu bergentayangan di kelas 7A.
“Kita harus ngelakuin sesuatu, Ga,” kata Rara, tegas.
Arga mengangguk. “Iya, Ra. Kita harus bantu arwahnya tenang,” jawabnya, setuju.
Arga dan Rara memutuskan untuk mencari tahu bagaimana cara menenangkan arwah siswa itu. Mereka mencari informasi di internet, bertanya kepada guru-guru, dan bahkan mencoba menghubungi paranormal.
Akhirnya, mereka menemukan cara untuk menenangkan arwah siswa itu. Mereka harus melakukan ritual sederhana di kelas 7A. Ritual itu harus dilakukan pada malam hari, saat kelas 7A sepi.
Arga dan Rara memutuskan untuk melakukan ritual itu pada malam hari. Mereka membawa beberapa bunga dan lilin ke kelas 7A. Mereka menyalakan lilin dan meletakkan bunga di meja guru.
“Semoga arwahnya tenang,” kata Rara, lirih.
Arga mengangguk. “Semoga,” jawabnya, pelan.
Mereka berdua berdoa dan berharap arwah siswa itu bisa tenang. Setelah itu, mereka meninggalkan kelas 7A.
Keesokan harinya, Rara kembali ke kelas 7A. Dia merasa sedikit takut, tapi dia juga merasa lega. Dia berharap arwah siswa itu sudah tenang.
Rara duduk di bangku belakang, seperti biasa. Dia mulai mengerjakan PR. Namun, dia tidak melihat bayangan hitam di pojok kelas.
Rara tersenyum lega. Dia merasa arwah siswa itu sudah tenang. Dia tidak lagi takut berada di kelas 7A sendirian.
Arga mendekat dan duduk di samping Rara. “Kamu udah enggak takut lagi, Ra?” tanyanya, lembut.
Rara menggeleng. “Enggak, Ga. Aku udah enggak takut lagi,” jawabnya, tersenyum.
Arga tersenyum lega. Dia senang Rara sudah tidak takut lagi. Dia juga merasa lega karena arwah siswa itu sudah tenang.
Sejak hari itu, Rara tidak lagi melihat bayangan hitam di kelas 7A. Dia kembali ceria dan tidak lagi takut berada di kelas 7A sendirian.
Arga pun merasa lega. Dia senang Rara sudah tidak takut lagi. Dia juga merasa lega karena arwah siswa itu sudah tenang.
Kelas 7A kembali normal. Para siswa kembali bercanda dan bermain di kelas. Rara dan Arga pun kembali ceria, dan mereka tidak lagi takut berada di kelas 7A sendirian.
Kisah hantu di kelas 7A pun berakhir. Namun, cerita itu tetap menjadi misteri yang tidak terpecahkan. Apakah bayangan hitam itu benar-benar arwah siswa yang meninggal di kelas 7A? Atau hanya imajinasi Rara yang terlalu kuat?
Hanya Rara dan Arga yang tahu jawabannya. Dan mereka berdua memilih untuk menyimpan rahasia itu untuk selamanya.