Hujan turun deras ketika Dika menginjakkan kakinya kembali di desa yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Aroma tanah basah bercampur dengan kenangan pahit yang kembali merasuk dalam ingatannya. Kenangan tentang ayahnya, Pak Rahman, yang dipermalukan dan dihancurkan hidupnya karena tuduhan yang tak pernah terbukti. Semua itu adalah ulah Pak Arif, mantan kepala desa yang rakus dan licik. Akibat fitnah itu, ayah Dika kehilangan pekerjaannya, nama baik keluarganya hancur, dan akhirnya Pak Rahman meninggal dalam kesedihan yang mendalam.
Hari ini, Dika datang untuk satu tujuan: balas dendam.
Desa ini tak banyak berubah sejak terakhir kali ia melihatnya. Rumah-rumah berdiri dengan kesederhanaannya, jalan setapak yang licin, dan suara aliran sungai yang tenang. Di sebuah rumah megah di ujung desa, Pak Arif kini menikmati masa tuanya. Kabarnya, sejak pensiun, dia mulai sakit-sakitan. Namun, bagi Dika, itu belum cukup.
Malam semakin larut ketika Dika menyelinap menuju rumah Pak Arif. Langkah kakinya ringan dan senyap, menghindari perhatian tetangga sekitar. Dika sudah mempersiapkan segalanya—setiap gerakan, setiap detail rencana yang sudah ia susun bertahun-tahun dalam diam.
Di ruang tengah rumah Pak Arif, Dika menyusup masuk dengan mudah. Tidak ada penjagaan. Dika mengenakan topeng hitam, dan hanya matanya yang tajam yang terlihat. Ia melihat Pak Arif terbaring di kursi tua, terlihat lemah, dengan tubuh yang tak lagi kokoh seperti dulu. Namun, di sanalah letak kekejaman manusia. Dika tahu, meskipun terlihat renta, Pak Arif masih sama liciknya seperti dulu.
Dika mendekat perlahan, dan tanpa suara ia mulai berbicara. "Kepala Desa Arif," suaranya tegas tapi penuh amarah yang terkendali, "ingatkah kau pada Pak Rahman?"
Pak Arif terbangun dengan ketakutan. Matanya yang lemah memandang Dika dengan cemas. “Siapa…siapa kamu?”
“Aku anak Rahman. Laki-laki yang kau hancurkan hidupnya dengan fitnahmu,” jawab Dika dingin.
Raut wajah Pak Arif berubah. Bibirnya bergetar, namun ia tak mampu berbicara. “Aku tahu kau pasti ingat. Karena perbuatanmu, aku kehilangan ayahku. Dia meninggal tanpa keadilan. Kau mungkin tak peduli, tapi bagiku, itu adalah luka yang tak pernah sembuh."
Dika lalu mengeluarkan beberapa kertas dari dalam tasnya—surat-surat bukti yang selama ini disembunyikan oleh orang-orang desa. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pak Arif adalah dalang dari fitnah itu. Bukti yang mungkin sudah terlambat untuk mengembalikan kehormatan Pak Rahman, tetapi cukup untuk menghancurkan nama baik Pak Arif di akhir hidupnya.
Dengan suara rendah, Dika berkata, "Aku tidak datang untuk menghabisi nyawamu. Itu terlalu mudah. Aku ingin orang-orang tahu kebenaran, agar kau merasakan rasa malu seperti yang pernah ayahku rasakan."
Dika meninggalkan surat-surat itu di atas meja Pak Arif dan berbalik. Ia tahu bahwa esok, penduduk desa akan mengetahui segalanya. Pak Arif akan menghadapi hukuman dari mata mereka yang penuh tuduhan, setiap tatapan yang penuh penghinaan.
Saat Dika melangkah keluar, ia merasa beban di hatinya berkurang. Dendamnya kini terbalaskan, bukan dengan darah, tapi dengan kebenaran yang selama ini tertutupi. Hujan telah berhenti, dan udara malam terasa lebih sejuk, seakan alam pun turut membersihkan luka lama yang selama ini disimpannya dalam sunyi.
---