Malam itu, hujan turun begitu deras, menciptakan gemuruh yang memekakkan telinga di atap rumah. Awan gelap bergulung di atas langit, menyelimuti seluruh desa dalam kegelapan pekat. Di ujung desa, berdirilah sebuah rumah tua yang telah lama ditinggalkan. Rumah itu memiliki aura yang tidak biasa, seolah-olah menyimpan rahasia yang tak ingin diungkapkan.
Dimas, seorang pemuda yang baru saja pindah ke desa itu, mendengar banyak cerita tentang rumah tua tersebut. Warga desa sering memperingatkannya untuk menjauh dari rumah itu, namun rasa penasaran Dimas justru semakin besar. Ia tidak percaya pada cerita hantu atau kutukan. Baginya, itu hanya takhayul orang-orang desa yang terlalu lama hidup dalam ketakutan.
Suatu malam, ketika rasa penasarannya tak lagi bisa ditahan, Dimas memutuskan untuk mengunjungi rumah tua itu. Tanpa sepengetahuan teman-temannya, ia membawa senter dan masuk ke pekarangan rumah yang terlantar. Pintu kayu yang reyot berderit ketika didorongnya, suara itu terdengar seolah-olah rumah itu merintih. Dengan hati-hati, Dimas melangkah masuk.
Di dalam rumah, bau lembap dan debu yang tebal memenuhi udara. Dinding-dindingnya berlumut, dan langit-langitnya terlihat hampir roboh. Namun, yang membuat Dimas merinding adalah lukisan besar yang tergantung di ruang utama. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita dengan gaun putih panjang, wajahnya menunduk, menyembunyikan mata di balik rambut hitam panjang yang kusut.
Dimas menyalakan senternya, memandangi lukisan itu dengan seksama. Ada sesuatu yang aneh. Seolah-olah wanita dalam lukisan itu bergerak sedikit. Matanya mencoba menepis bayangan itu sebagai ilusi optik, namun perasaan tidak nyaman mulai menyusup ke dalam pikirannya. Seketika, terdengar suara langkah kaki dari lantai atas.
“Siapa di sana?” Dimas memanggil, namun hanya keheningan yang menjawab.
Dengan rasa takut yang mulai menghantui, Dimas melangkah ke tangga yang berderit setiap kali diinjaknya. Suara langkah itu semakin jelas, dan berasal dari kamar di ujung lorong. Pintu kamar itu sedikit terbuka, dan dari dalamnya terdengar suara tangisan pelan.
Dimas memberanikan diri mendekati pintu, dengan jantung berdebar kencang. Tangannya gemetar ketika ia membuka pintu lebih lebar. Di dalam kamar, ia melihat sosok wanita yang sama dengan yang ada di lukisan. Wanita itu duduk membelakangi pintu, bahunya bergetar, seolah-olah sedang menangis. Rambut hitam panjangnya menutupi punggungnya yang kurus.
Dimas mundur perlahan, berniat untuk pergi, namun lantai di bawahnya berderak keras. Wanita itu tiba-tiba berhenti menangis dan memutar kepalanya dengan gerakan cepat yang tidak manusiawi. Wajahnya pucat, matanya kosong, menatap langsung ke arah Dimas. Mulutnya terbuka lebar, seolah-olah hendak berteriak, namun yang keluar hanyalah bisikan mengerikan, “Tolong aku…”
Dengan kengerian yang tak bisa lagi dibendung, Dimas berlari secepat mungkin keluar dari rumah itu. Di belakangnya, suara langkah kaki mengikutinya, semakin cepat dan mendekat. Ia berusaha untuk tidak melihat ke belakang, tetapi sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk menoleh.
Seketika, Dimas merasa seluruh tubuhnya kaku. Di ujung lorong, wanita itu berdiri, menatapnya dengan tatapan kosong. Senyum mengerikan terpahat di wajah pucatnya, dan tubuhnya perlahan mendekat tanpa menggerakkan kaki. Dimas terjatuh, merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya.
Keesokan paginya, warga desa menemukan pintu rumah tua itu terbuka lebar. Tidak ada jejak Dimas, hanya senter yang tergeletak di lantai dan sebuah bekas tangan berlumuran darah di dinding. Sejak hari itu, tak ada seorang pun yang berani mendekati rumah tua itu lagi.
Namun, setiap kali hujan deras turun di malam hari, beberapa warga mengaku mendengar suara tangisan dari dalam rumah tua di ujung desa.