Di sebuah taman yang sepi, senja mulai memeluk langit dengan warna jingga yang menenangkan. Di bangku kayu yang telah usang oleh waktu, duduklah sepasang sahabat, Johnny dan Avery, yang sudah terlalu lama menyimpan luka di hati masing-masing.
Sudah beberapa minggu berlalu sejak mereka bertengkar hebat. Johnny merasa Avery menjauh tanpa alasan yang jelas, sementara Avery merasa Johnny tak lagi memahami perasaannya. Namun, sore itu, mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu, ingin menyelesaikan segala yang belum terucap.
Avery memecah keheningan lebih dulu. "Kita sudah terlalu lama diam, Johnny. Mungkin ini saatnya kita bicara, dari hati ke hati. Aku ingin semuanya mengalir, seperti dulu," katanya dengan suara lembut namun tegas, matanya menatap lurus ke arah senja.
Johnny menghela napas panjang. "Aku marah, Avery. Tapi... mungkin benar apa yang kau katakan. Mungkin semua ini hanyalah kemarahan sementara. Hanya masalah kecil yang kita biarkan tumbuh seperti kertas yang mudah robek," Johnny meremas tangannya, mencoba meredakan gelombang emosi yang masih tersisa.
Avery tersenyum tipis, "Semua ini tak seberat yang kita bayangkan. Kita hanya perlu berbicara, mengalir bersama, seperti dulu. Kau tahu aku tak pernah ingin menjauh."
"Dan aku juga tak ingin kehilanganmu," Johnny mengangguk pelan, matanya mulai melembut. "Kemarahan ini, perasaan ini... bisa kita atasi. Aku tahu itu."
Mereka saling berpandangan, dan dalam keheningan yang menyusul, seolah ada jembatan yang kembali terbangun di antara mereka. Tidak ada lagi dinding yang memisahkan, hanya ada dua hati yang perlahan kembali menyatu, mengalir bersama, meninggalkan semua kemarahan yang ternyata memang hanya sementara.