Kafe tempat aku duduk ini sepi, hanya suara sendok dan cangkir yang sesekali beradu. Aku menunggu dia—Dara, yang dalam beberapa bulan terakhir, hidupku seolah berputar hanya di sekitarnya. Ada sesuatu yang harus kukatakan. Sesuatu yang kusimpan, yang mengendap di dadaku seperti racun.
Dan dia datang. Senyumnya, dulu terasa hangat, kini tampak asing. Wajahnya tampak lelah, atau mungkin aku saja yang mulai melihat celah-celah kecil yang selama ini tidak kusadari. Celah yang perlahan membuatku sadar bahwa hubungan kami tidak lagi utuh.
“Maaf, lama ya?” Dia duduk di hadapanku, meletakkan tas di meja, dan menatapku dengan mata yang, kali ini, terasa jauh.
Aku tersenyum tipis. “Enggak, baru sebentar kok.” Padahal aku sudah menunggu lebih dari satu jam. Waktu yang sepertinya hanya menambah beban di dadaku.
Aku menarik napas panjang, berusaha mencari kekuatan untuk memulai pembicaraan ini. Tapi sebelum aku bisa mengeluarkan sepatah kata, Dara lebih dulu berbicara.
“Aku ada sesuatu yang mau aku bicarakan.”
Kalimat itu membuat hatiku berdegup kencang. Ada sesuatu yang berubah dalam suaranya. Sesuatu yang dingin dan terkesan menghindar.
“Ya, aku juga,” jawabku pelan, berharap dia tak menyadari kegugupanku.
Dia menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. "Kita sudah lama bersama, Dika. Tapi... aku merasa ada yang berubah."
Kata-kata itu menghantamku. Selama ini, aku merasakan hal yang sama, namun aku menepisnya. Pura-pura semuanya baik-baik saja. Tapi mungkin aku salah. Mungkin aku bukan satu-satunya yang merasakan kehampaan ini.
"Apa maksudmu?" tanyaku, meski sebenarnya aku sudah tahu arah pembicaraan ini.
“Aku... bertemu seseorang,” katanya pelan, suaranya sedikit bergetar. Matanya tetap terfokus pada cangkir di depannya, menghindari tatapanku.
Seketika, dunia di sekitarku terasa hening. Semua suara, semua gerakan, menjadi lambat. Rasanya seperti tenggelam dalam mimpi buruk yang tak berujung. Aku sudah menduga ini akan terjadi, tapi mendengarnya langsung dari mulutnya membuat segalanya terasa lebih nyata. Lebih menyakitkan.
“Siapa?” Aku berusaha menjaga suaraku tetap tenang, meskipun di dalam diriku, segalanya terasa hancur berantakan.
"Namanya Raka. Kami bertemu di kantor." Dia akhirnya menatapku, dan di sana aku melihat sesuatu yang baru. Bukan cinta, melainkan rasa bersalah. "Aku nggak tahu harus gimana. Tapi aku nggak bisa bohong sama kamu. Aku merasa ada yang hilang di antara kita."
Ada jeda panjang di antara kata-katanya. Hening yang membuat segalanya lebih sulit untuk diterima. Aku menunduk, mencoba mencerna semua ini. Perasaan campur aduk—marah, sedih, kecewa, dan... kosong.
"Kenapa?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri daripada kepadanya.
“Karena... aku merasa kehilangan kamu, Dika. Kamu ada, tapi kita seolah berjalan di jalur yang berbeda.”
Kata-katanya benar, meskipun berat untuk kuterima. Memang sudah lama aku merasakan hubungan ini tak lagi sama. Tapi aku selalu berpikir itu hanya fase. Bahwa kami bisa melewatinya. Ternyata tidak.
"Jadi, kamu pilih dia?" tanyaku lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan. Aku tak bisa lagi menutupi patah hatiku.
Dara menggigit bibirnya, ragu. “Aku nggak tahu. Tapi aku juga nggak bisa terus seperti ini.”
Keheningan kembali menyelimuti kami. Di luar, hujan mulai turun, deras, seolah mencerminkan suasana hatiku. Ada ribuan kata yang ingin kukatakan, tapi semuanya terjebak di tenggorokanku, tertelan oleh rasa sakit yang perlahan-lahan menghancurkan.
Akhirnya, aku berdiri. “Mungkin kita memang butuh waktu untuk berpikir,” kataku datar. Suaraku terdengar asing di telingaku sendiri.
Dia menatapku, matanya basah. Tapi kali ini, aku tak bisa lagi membaca perasaannya. Mungkin karena perasaanku sendiri sudah terlalu hancur untuk bisa merasakan apapun.
Tanpa menunggu jawabannya, aku melangkah keluar dari kafe. Hujan langsung menyambutku, membasahi tubuhku. Tapi anehnya, aku tidak peduli. Mungkin hujan bisa menyamarkan air mata yang sejak tadi kutahan.
Di tengah hujan, aku berjalan menjauh. Setiap langkah terasa berat, seolah meninggalkan kepingan diriku di belakang. Dara telah menjadi bagian dari hidupku begitu lama, dan kini, tanpa dia, aku merasa kosong. Hampa.
Namun, di balik kehampaan ini, ada rasa lega yang perlahan tumbuh. Aku tahu ini adalah akhirnya, tapi mungkin ini juga awal dari sesuatu yang baru. Aku hanya belum tahu apa itu.
Yang pasti, aku harus belajar berjalan sendiri lagi. Mungkin, suatu hari nanti, hujan ini akan berhenti.
---