Hujan turun dengan derasnya sore itu, mengguyur halaman depan rumah tua di ujung jalan. Andra berdiri di beranda, memandang ke luar sambil merapatkan jaket di tubuhnya. Suara gemuruh dan angin kencang seolah menjadi irama yang memaksa pikirannya kembali ke masa lalu—ke rumah yang dulunya penuh dengan tawa dan kehangatan keluarga.
Rumah ini, yang kini terasa sunyi dan lapuk, dulunya adalah tempat di mana kebahagiaan selalu menyelimuti hari-hari Andra dan keluarganya. Ayah, Ibu, dan adiknya, Sinta, selalu berkumpul di meja makan setiap malam, bercanda, bercerita, dan merayakan hal-hal kecil yang sering kali dianggap remeh oleh orang lain. Bagi Andra, rumah ini adalah dunia kecil yang sempurna.
Namun, seperti halnya hidup, waktu tidak selalu bersikap baik. Ketika Andra masih duduk di bangku SMA, sebuah kecelakaan merenggut nyawa ayahnya. Hari itu, tawa yang selalu mengisi rumah mereka berubah menjadi tangis dan duka yang tak berkesudahan. Kehilangan sang kepala keluarga membuat semua terasa runtuh. Ibunya, yang selalu terlihat kuat dan penuh senyum, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang sering terdiam, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Andra, yang saat itu baru beranjak dewasa, berusaha keras untuk menjadi pengganti ayahnya. Ia mulai bekerja paruh waktu di berbagai tempat, membantu keuangan keluarga sambil tetap bersekolah. Adiknya, Sinta, yang baru berusia sepuluh tahun kala itu, masih terlalu kecil untuk benar-benar memahami besarnya kehilangan mereka. Namun, Andra bisa melihat kesedihan di mata adiknya, setiap kali mereka duduk bersama di ruang tamu yang kini lebih sering sunyi.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Andra menyelesaikan sekolahnya dan diterima bekerja di luar kota, sementara Sinta mulai menempuh pendidikan menengah atas. Kehidupan mereka perlahan-lahan bergerak maju, namun kehangatan yang dulu ada di rumah itu tidak pernah benar-benar kembali. Ibunya, meski berusaha tetap tegar, sering kali terlihat lelah, baik secara fisik maupun emosional.
Sampai suatu hari, Andra menerima telepon dari rumah. Suara Sinta di ujung telepon terdengar serak dan penuh ketakutan. "Kak, Ibu sakit... parah. Aku nggak tahu harus gimana."
Tanpa berpikir panjang, Andra mengambil cuti dari pekerjaannya dan kembali ke rumah. Di sanalah ia melihat kondisi ibunya yang semakin lemah. Dokter mengatakan bahwa Ibunya menderita penyakit kronis yang selama ini ia sembunyikan dari mereka. Ibunya tidak ingin membebani anak-anaknya lebih jauh, sehingga menahan rasa sakitnya sendiri.
Setiap malam, Andra dan Sinta bergantian menjaga ibunya. Mereka mencoba menghidupkan kembali suasana kebersamaan di rumah itu, meskipun rasa khawatir selalu menyelimuti hati mereka. Hari-hari yang mereka habiskan bersama terasa singkat, seolah waktu berlari lebih cepat daripada biasanya.
Sampai akhirnya, di suatu pagi yang tenang, Ibunya menghembuskan napas terakhirnya. Andra duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin, sementara Sinta menangis di sudut ruangan. Untuk kedua kalinya, mereka merasakan kehilangan yang begitu dalam. Rumah yang dulu penuh dengan kehangatan keluarga kini benar-benar terasa hampa.
Sejak saat itu, Andra merasa tanggung jawab penuh ada di pundaknya. Ia harus menjaga Sinta, memastikan adiknya menyelesaikan sekolah dan meraih impian-impian yang dulu mereka bangun bersama keluarga. Meski begitu, ada rasa hampa yang selalu menyelimutinya, setiap kali ia memandang rumah tua mereka yang kini semakin sepi.
Sore itu, setelah hujan mereda, Sinta pulang dari sekolah. Kini ia sudah remaja, dengan langkah yang semakin tegap. Meski masih ada sisa kesedihan di matanya, Sinta selalu berusaha untuk kuat, mengikuti jejak kakaknya.
"Kak, aku pulang," sapa Sinta sambil masuk ke dalam rumah.
Andra menoleh, tersenyum lelah. "Gimana sekolah hari ini?"
"Baik. Tapi aku mikirin rumah ini terus," jawab Sinta, suaranya lirih. "Rasanya beda sekarang."
Andra mengangguk. Ia tahu persis apa yang dirasakan Sinta. Rumah ini, yang dulu menjadi tempat berlindung dari segala masalah, kini hanya menjadi kenangan masa lalu. Namun, meskipun semuanya berubah, ada satu hal yang tetap mereka miliki—ikatan keluarga yang tak pernah pudar, meski orang-orang yang mereka cintai telah pergi.
"Kamu tahu, rumah ini mungkin nggak sama lagi," ucap Andra, menatap adiknya dengan mata penuh kasih. "Tapi kita masih punya satu sama lain. Itu yang paling penting."
Sinta menatap kakaknya, matanya mulai berkaca-kaca. "Iya, Kak. Kita masih punya satu sama lain."
Dan di tengah keheningan sore itu, mereka berdua tahu bahwa meski rumah ini akan terus menyimpan kenangan-kenangan masa lalu, kehidupan harus terus berjalan. Mereka masih punya satu sama lain, dan dengan itu, mereka yakin bisa menghadapi apa pun yang ada di depan.