Matahari sore mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah muda. Angin sepoi-sepoi yang hangat menyapu rambut Alif, membuatnya semakin tenggelam dalam pikirannya. Ia duduk di bangku taman sekolah, menunggu seseorang yang sudah membuat jantungnya berdegup kencang sejak pertama kali mereka bertemu di kelas sepuluh.
Namanya Naya, gadis ceria dengan senyum manis yang selalu berhasil membuat hari-hari Alif lebih berwarna. Mereka berteman sejak awal sekolah, dan sejak itu, Alif menyadari bahwa perasaannya terhadap Naya perlahan-lahan berubah. Awalnya, ia menganggap perasaannya biasa saja—sekadar kagum pada seorang teman. Tapi semakin sering mereka menghabiskan waktu bersama, semakin ia menyadari bahwa perasaan itu lebih dari sekadar kagum. Ia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.
Sore itu, Naya mengajaknya bertemu di taman setelah jam sekolah. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, katanya. Alif merasa gugup. Ini mungkin kesempatan untuk menyatakan perasaannya, pikirnya. Tapi di sisi lain, ia takut. Bagaimana jika Naya tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana jika pengakuannya malah merusak persahabatan mereka yang sudah terjalin selama ini?
Tak lama, Naya datang dengan langkah ringan, membawa dua botol minuman dingin di tangannya. "Maaf, lama nunggu?" tanyanya sambil tersenyum.
Alif tersenyum kecil, menutupi kegugupannya. "Nggak, kok. Baru aja."
Mereka duduk bersebelahan di bangku, memandangi langit senja yang semakin memerah. Hening sejenak, sebelum Naya akhirnya membuka pembicaraan.
"Aku seneng banget bisa ngobrol sama kamu di sini, Lif. Ada hal yang sebenarnya udah lama pengen aku omongin," ujar Naya sambil memainkan ujung botol minumannya.
Alif menelan ludah. Hatinya berdebar tak karuan. "Apa itu?"
Naya menatapnya sejenak, sebelum menunduk lagi. "Aku... sebenernya baru dapet kabar. Setelah ujian akhir nanti, aku mungkin harus pindah ke luar kota."
Degup jantung Alif terasa berhenti sejenak. "Pindah?" ulangnya, memastikan ia tidak salah dengar.
Naya mengangguk pelan. "Iya. Ayahku dapat pekerjaan baru di kota lain. Kemungkinan besar, kita bakal pindah pas liburan nanti."
Alif terdiam, merasa dunia di sekitarnya mendadak terasa sepi. Pindah? Berarti, Naya akan pergi dari kehidupannya? Jauh dari jangkauan, jauh dari kesempatan untuk mengatakan apa yang selama ini ia pendam?
"Jadi... kamu bakal ninggalin kita semua?" tanya Alif, mencoba terdengar tenang, meski hatinya gelisah.
Naya tersenyum tipis. "Iya, mungkin. Tapi kita masih bisa sering teleponan atau video call, kan? Dunia nggak bakal benar-benar memisahkan kita, Lif."
Namun bagi Alif, dunia terasa seolah akan benar-benar berubah. Ia tidak tahu apakah ia bisa menghadapi hari-hari di sekolah tanpa Naya di sana. Seseorang yang selalu ia tunggu setiap pagi, yang selalu menjadi pendengar terbaiknya, dan kini, ia akan pergi?
Mendadak, rasa takut itu semakin kuat. Jika ia tidak mengatakan perasaannya sekarang, mungkin ia tidak akan pernah mendapat kesempatan lagi. "Naya..." Alif memanggil, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
Naya menatapnya, tersenyum seperti biasa. "Iya?"
Alif menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberaniannya. "Sebenarnya... ada sesuatu yang pengen aku bilang dari dulu. Tapi aku selalu takut buat ngomongin ini, karena aku nggak mau ngerusak persahabatan kita."
Naya terdiam, tampak menunggu.
"Aku suka sama kamu, Naya," lanjut Alif akhirnya, dengan suara yang bergetar. "Aku nggak tahu kapan tepatnya perasaan ini muncul, tapi yang jelas, aku nggak bisa terus nyembunyiin ini. Aku cuma pengen kamu tahu, sebelum semuanya berubah."
Naya menatapnya, jelas terkejut dengan pengakuan Alif. Beberapa detik yang terasa seperti selamanya bagi Alif berlalu dalam keheningan. Lalu, Naya tersenyum lembut.
"Alif," katanya pelan, "Aku juga suka sama kamu."
Alif menatap Naya dengan tatapan penuh harap. "Serius?"
Naya mengangguk, masih dengan senyum manis yang kini terasa begitu menenangkan. "Aku nunggu kamu bilang itu dari dulu, sebenarnya. Tapi aku juga takut. Takut kalau kita bakal jadi canggung setelahnya."
Hati Alif terasa melambung, tapi segera saja realita menghantamnya lagi. "Tapi kamu bakal pindah..." ucapnya lirih.
Naya menunduk, lalu menatap langit senja. "Iya, mungkin kita bakal terpisah. Tapi kita tetap bisa berhubungan, kan? Dan siapa tahu, suatu hari nanti kita bakal ketemu lagi, di waktu yang tepat. Kita bisa janji, nggak akan pernah lupa sama apa yang kita rasain sekarang."
Alif menatap Naya, dan di bawah langit senja yang indah itu, ia merasa perasaannya benar-benar terhubung. Meski perpisahan tak bisa dihindari, ada satu hal yang pasti: cinta pertama mereka akan selalu ada, tersimpan dalam hati mereka masing-masing.
Dan dengan itu, mereka berdua pun saling berjanji, meskipun masa depan tidak pasti, mereka akan tetap menjaga apa yang sudah terjalin. Cinta remaja yang manis, meski tak sempurna, akan selalu menjadi kenangan terindah di bawah langit senja.