Langit di luar jendela rumah sakit itu berwarna abu-abu. Hujan rintik-rintik membasahi jalanan, menciptakan suara lembut yang menemani keheningan di ruangan itu. Cahaya redup dari lampu gantung menyorot samar wajah Dion yang duduk di sisi tempat tidur. Tangan kanannya menggenggam erat jemari Lila, wanita yang telah mencuri hatinya bertahun-tahun lalu.
Lila terbaring lemah dengan mata tertutup, selang infus dan berbagai alat medis menempel di tubuhnya yang kurus. Nafasnya naik turun pelan, seolah setiap tarikan napas adalah perjuangan tersendiri. Dion menatap wajah Lila yang pucat, penuh dengan perasaan yang campur aduk—rasa cinta yang tak terbatas, diiringi rasa sakit yang tak tertahankan.
Lila adalah cinta pertamanya, juga cinta sejatinya. Mereka bertemu di universitas, di sebuah acara seni di mana Lila menjadi salah satu penyanyi. Suaranya yang lembut dan senyumnya yang manis membuat Dion langsung jatuh hati. Dalam waktu singkat, mereka menjadi dekat, dan tanpa disadari, perasaan cinta itu tumbuh semakin dalam. Hidup terasa sempurna saat mereka bersama, seolah tidak ada hal di dunia ini yang bisa memisahkan mereka.
Namun, takdir sering kali datang dengan cara yang tak terduga. Setahun lalu, Lila didiagnosis dengan penyakit langka yang tidak bisa disembuhkan. Perlahan, tubuhnya mulai melemah, dan senyum cerianya mulai memudar. Mereka berdua tahu bahwa waktunya semakin singkat, tapi Dion selalu berusaha menutupi rasa takutnya. Ia ingin memberikan kebahagiaan bagi Lila, bahkan di tengah keputusasaan yang semakin menghampiri.
Setiap hari, Dion menemani Lila. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi yang dulu mereka bangun bersama—pernikahan yang belum sempat terjadi, rumah kecil yang ingin mereka tinggali, dan anak-anak yang dulu mereka bayangkan akan bermain di taman. Semua itu kini hanya menjadi cerita yang tak pernah akan terwujud.
Suatu sore, ketika Lila masih bisa bicara, ia memegang tangan Dion erat dan berbisik, “Aku nggak takut, Dion. Aku cuma sedih karena kita nggak bisa terus bersama. Tapi kamu harus janji, setelah aku pergi, kamu akan terus hidup bahagia.”
Dion tersenyum pahit sambil menahan air mata. “Aku nggak tahu apakah aku bisa hidup tanpa kamu, Lila. Kamu adalah segalanya buat aku.”
Lila menatapnya dengan mata penuh cinta. “Kamu harus bisa. Aku ingin kamu bahagia, walau aku nggak ada di sampingmu.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Dion. Bagaimana ia bisa bahagia tanpa Lila? Bagaimana ia bisa menjalani hidup tanpa wanita yang telah menjadi bagian terpenting dari dunianya?
Kembali ke hari ini, di ruang rumah sakit yang sepi itu, suara hujan di luar semakin deras. Dion merasakan tubuh Lila semakin dingin di genggamannya. Waktu mereka semakin singkat, dan itu membuat dadanya semakin sesak.
“Lila,” panggil Dion pelan, suaranya bergetar.
Lila membuka matanya perlahan, menatap Dion dengan sisa-sisa kekuatannya. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang dulu selalu membuat dunia Dion terasa lebih cerah. “Dion…,” bisiknya lemah.
Dion menunduk, mencium tangan Lila yang semakin lemah. “Aku di sini, Lila. Aku selalu di sini.”
“Aku sayang kamu…,” ucap Lila dengan suara yang hampir tak terdengar. “Selamanya…”
Air mata Dion akhirnya jatuh, tak mampu lagi ia tahan. “Aku juga, Lila. Aku sayang kamu lebih dari apapun. Selalu.”
Lila menatapnya sekali lagi, sebelum akhirnya matanya tertutup perlahan. Nafasnya berhenti dengan tenang, meninggalkan keheningan yang menusuk di dalam ruangan itu. Dion merasakan dunia seakan berhenti berputar. Wanita yang ia cintai telah pergi, meninggalkan lubang besar di hatinya yang tak akan pernah bisa terisi.
Dengan air mata yang terus mengalir, Dion mencium kening Lila untuk terakhir kalinya. “Selamat jalan, sayangku,” bisiknya. “Aku akan selalu mencintaimu.”
Malam itu, hujan terus turun, seolah langit pun menangis bersama Dion. Cinta mereka begitu dalam, namun takdir berkata lain. Meski begitu, cinta Dion untuk Lila tak akan pernah pudar, meski ia harus menjalani sisa hidupnya tanpa wanita yang telah menjadi segalanya baginya.
Di ujung waktu, cinta mereka akan tetap hidup, meskipun dunia telah memisahkan mereka.