Cahaya lampu gantung berkilau di langit-langit gedung resepsi, memantulkan sinar ke seluruh ruangan yang dipenuhi tamu. Musik lembut mengalun, mengiringi langkah pengantin yang tengah menari di tengah panggung. Di sudut ruangan, Arini duduk terpaku, memandangi semua itu dengan perasaan campur aduk.
"Kenapa kamu gak ikut menari?" tanya Dina, sahabatnya yang duduk di sebelah, sambil menyikut lembut.
Arini tersenyum kaku, mencoba menutupi kegelisahannya. "Aku nggak suka keramaian. Lagian, aku lebih nyaman duduk di sini."
Padahal, jauh di lubuk hatinya, alasan itu hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Sesungguhnya, keramaian bukanlah masalah. Ketakutannya yang lebih dalam adalah sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan mudah—sebuah ketakutan terhadap pernikahan.
Bukan karena ia tidak percaya pada cinta. Bukan karena ia tak ingin merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajah mempelai di depannya. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang selalu menahan langkah itu, sebuah rasa takut yang tidak ia pahami sepenuhnya.
Setiap kali melihat orang-orang bersanding di pelaminan, rasa cemas itu muncul. Ada bayangan tak jelas tentang apa yang akan terjadi setelah hari pernikahan. Bayangan pertengkaran, kekecewaan, pengkhianatan, bahkan perpisahan yang menyakitkan. Padahal, Arini belum pernah mengalami itu. Ia belum pernah menikah, bahkan tidak pernah benar-benar dekat dengan konsep itu. Tapi entah kenapa, trauma yang ia rasakan begitu nyata.
Malam itu, dalam perjalanan pulang dari pesta pernikahan, Dina kembali bertanya, “Arin, sebenarnya kamu kenapa sih? Kamu selalu terlihat gugup setiap kali kita bahas soal pernikahan. Padahal, kamu belum pernah ada di situasi itu. Apa kamu takut menikah?”
Arini terdiam sejenak. Kata-kata Dina menamparnya. "Aku... nggak tahu," jawabnya pelan. “Mungkin aku takut. Tapi aku nggak ngerti kenapa.”
Dina menatapnya dengan perhatian. “Kamu tahu, nggak apa-apa merasa takut. Tapi kamu harus cari tahu, kenapa kamu merasa seperti itu. Mungkin kamu pernah mengalami sesuatu yang bikin kamu trauma, walaupun nggak langsung tentang pernikahan.”
Sepulang dari rumah Dina, Arini merenung di kamarnya. Kata-kata sahabatnya terus terngiang-ngiang. Apa yang sebenarnya membuatku takut? pikirnya. Ia mencoba mengingat kembali masa kecilnya, mencari-cari jawaban yang mungkin tersembunyi di antara kenangan lama.
Dan di malam itu, ingatan itu kembali. Sebuah bayangan yang lama terkubur muncul ke permukaan—kedua orang tuanya.
Ketika Arini masih kecil, rumahnya tidak pernah benar-benar tenang. Pertengkaran antara ayah dan ibunya seperti bagian dari kehidupan sehari-hari. Ia ingat suara piring yang pecah, teriakan yang menggema di ruang tamu, dan malam-malam ketika ia menutup telinganya dengan bantal untuk meredam suara perdebatan. Ibunya sering menangis, sementara ayahnya keluar rumah dengan wajah marah.
Arini tidak pernah membicarakan ini dengan siapa pun. Sejak kecil, ia menyimpan semua itu dalam hatinya, berpura-pura kuat, seolah semuanya baik-baik saja. Namun, tanpa ia sadari, bayangan masa lalu itu menanamkan ketakutan yang mendalam dalam dirinya. Trauma itu membentuk persepsinya tentang pernikahan, bahwa pernikahan hanyalah awal dari penderitaan.
Keesokan harinya, Arini bertemu dengan Dina lagi. Kali ini, ia berani menceritakan masa kecilnya. "Aku rasa, aku tahu kenapa aku takut menikah," kata Arini pelan. "Aku lihat sendiri gimana pernikahan orang tuaku berakhir. Dan itu bikin aku nggak yakin apakah aku bisa menjalani pernikahan tanpa mengalami hal yang sama."
Dina mengangguk, memahami. “Tapi, Arin, itu pengalaman orang tua kamu, bukan kamu. Kamu berhak punya cerita yang berbeda. Kamu nggak harus terjebak dalam bayangan masa lalu mereka.”
Arini terdiam, merenungkan kata-kata Dina. Mungkin benar, selama ini ia membiarkan masa lalu mengendalikan hidupnya. Trauma itu memang nyata, tapi bukan berarti ia harus selamanya hidup dalam ketakutan yang sama.
Namun, meski begitu, rasa takut itu tidak bisa langsung hilang begitu saja. Ada proses yang harus dilalui, dan Arini tahu bahwa butuh waktu untuk benar-benar bisa berdamai dengan dirinya sendiri.
Di malam itu, Arini memutuskan untuk membuat janji dengan seorang terapis. Ia sadar bahwa untuk melangkah ke depan, ia harus mulai memahami dan menyembuhkan luka di dalam dirinya. Trauma mungkin tak bisa sepenuhnya hilang, tapi ia bisa belajar untuk tidak membiarkan trauma itu menentukan masa depannya.
Sambil menatap bayangan dirinya di cermin, Arini tersenyum tipis. “Aku mungkin belum siap sekarang,” bisiknya pelan. “Tapi aku akan sampai di sana. Suatu hari nanti.”