Senja berwarna oranye tua membentang di langit, mengirimkan semburat warna di cakrawala, seolah mengiringi langkah Raka yang perlahan menuju bangku kayu di pinggir danau. Tempat itu selalu menjadi saksi bisu pertemuannya dengan Alia—wanita yang mencuri hatinya beberapa tahun lalu, di tempat yang sama.
Hari itu, udara masih sehangat senyum pertama Alia saat mereka bertemu. Alia adalah sosok yang ceria, penuh semangat, dan selalu tahu bagaimana membuat Raka merasa istimewa. Mereka bertemu secara kebetulan di sebuah acara kampus, dan sejak saat itu, cinta tumbuh perlahan, seperti api kecil yang lambat laun menjadi nyala terang.
Namun cinta tak selalu berjalan mulus. Di balik tawa dan kebersamaan, ada luka yang terus-menerus mengintai, dan mereka tak mampu menghindarinya. Tiga tahun setelah pertemuan pertama mereka, Alia didiagnosis mengidap penyakit yang menggerogoti hidupnya—kanker stadium akhir. Dunia mereka berubah drastis. Senyum yang dulu selalu menghiasi wajah Alia, kini kerap tenggelam dalam kesakitan. Raka tahu, waktu mereka semakin singkat, namun ia tidak pernah menyerah untuk memberikan kebahagiaan selama Alia masih di sisinya.
Hari-hari mereka menjadi perjuangan melawan ketidakpastian. Raka yang selalu mengantarkan Alia ke rumah sakit, menunggui di ruang perawatan, mendampingi di setiap detik yang tersisa. Meski tubuh Alia semakin lemah, hatinya tetap kuat. Ia tak pernah membiarkan penyakit itu mengambil cinta mereka. Setiap kali Raka merasa tak berdaya, Alia akan tersenyum dan berkata, “Aku akan baik-baik saja, Rak. Selama kamu ada di sini, aku bisa bertahan.”
Tapi waktu memang kejam. Dua bulan lalu, Alia tak lagi mampu melawan. Di malam yang hening, dengan tangan Raka menggenggam erat tangannya, Alia menghembuskan nafas terakhirnya. Dalam keheningan itu, Raka merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Ia tahu saat itu akan datang, namun ia tak pernah siap untuk kehilangannya.
Sekarang, di senja yang sunyi ini, Raka kembali ke tempat yang selalu menjadi saksi cinta mereka. Setiap sudut danau ini penuh kenangan—tawa Alia, obrolan ringan mereka, janji-janji yang kini tak bisa lagi diwujudkan. Raka menatap ke arah air danau yang tenang, berharap bisa melihat bayangan Alia di sana, seperti dahulu.
Di saku jaketnya, Raka merogoh sebuah kotak kecil yang sudah lama ia simpan. Cincin yang dulu ia beli untuk Alia, yang tak pernah sempat ia berikan. Ia ragu-ragu, tak ingin merelakan momen yang seharusnya menjadi simbol komitmen mereka.
“Aku selalu ingin menikah denganmu, Alia,” bisik Raka kepada angin senja yang seolah-olah membawa suaranya jauh ke horizon.
Tiba-tiba, angin berembus lebih kencang, seperti menjawab bisikannya. Ia tersenyum pahit, merasakan perih yang sama setiap kali mengenang Alia. Meski Alia tak lagi di sini, cintanya tetap ada, menggema di sudut hatinya. Raka tahu, tak ada cara untuk melupakan cinta sedalam ini. Bahkan dalam kepergian, Alia meninggalkan jejak yang tak akan pernah terhapus.
Hujan mulai turun rintik-rintik, seperti tangis langit yang memahami duka Raka. Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu dan melemparkan cincin tersebut ke danau. Ia melihatnya tenggelam pelan-pelan, tenggelam di bawah permukaan air yang dingin. Air mata turun dari sudut matanya, menyatu dengan hujan yang membasahi pipinya.
Di tengah hujan itu, Raka menatap langit. Alia sudah pergi, tapi cintanya akan selalu ada. Meski tragis, ia tetap bersyukur pernah mencintai dan dicintai begitu dalam, walau hanya untuk waktu yang singkat.
"Aku akan selalu mencintaimu, Alia. Selalu."
Danau tetap sunyi, hanya riak kecil yang tersisa, seolah berbisikkan kenangan cinta yang tak akan pernah mati, meski raga tak lagi ada.