Hujan rintik-rintik mulai turun ketika Maya keluar dari kantor. Udara sore yang dingin menyapa kulitnya, seolah-olah menyuarakan apa yang ia rasakan di dalam hati. Seminggu terakhir, hidupnya terasa begitu berat. Rasa lelah bukan hanya karena pekerjaan, tetapi lebih pada tekanan hidup yang seakan tak kunjung henti menghimpit.
Tepat dua minggu lalu, ayahnya divonis mengidap penyakit serius. Biaya pengobatan begitu mahal, sementara Maya hanyalah seorang karyawan biasa. Gajinya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi untuk menutupi biaya rumah sakit, itu bagaikan mimpi yang tak tergapai.
Setiap hari, Maya bertanya-tanya apakah semua ini akan berlalu. Rasanya seakan dunia sedang mengujinya tanpa henti. Sepulang kerja, ia selalu mendatangi ayahnya di rumah sakit, berbicara dengan dokter, dan mengurus berbagai dokumen asuransi yang penuh kerumitan.
Malam itu, saat ia tiba di kamar rumah sakit, ia menemukan ayahnya duduk di tempat tidur, tersenyum tipis. “Nak, kamu kelihatan capek. Jangan memaksakan diri, ya?”
Maya tersenyum hambar, menyembunyikan keletihannya. “Nggak apa-apa, Yah. Aku kuat kok. Lagipula, kita harus terus berjuang, kan?”
Ayahnya menatap Maya dengan mata yang dalam. “Tahu nggak, Maya? Hidup ini memang nggak pernah mudah. Banyak ombak yang harus kita terjang. Tapi selalu ingat, di ujung ombak itu pasti ada pantai yang menunggu. Kita cuma perlu terus berenang, meski kadang harus tenggelam dulu untuk bisa bangkit lagi.”
Kata-kata ayahnya selalu membuatnya terharu. Maya sadar, meski berat, ia harus terus melangkah. Setiap tetes air mata yang ia tahan, setiap malam yang ia lalui tanpa tidur, semua itu adalah bagian dari perjuangan hidup. Setiap orang punya beban yang mereka tanggung, dan kali ini adalah beban yang harus ia pikul.
Esoknya, Maya kembali bekerja seperti biasa. Beban di pundaknya tidak berkurang, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ia mulai melihat hidup dari sudut pandang yang lain. Bukan lagi sebagai serangkaian masalah yang tak berkesudahan, tapi sebagai proses pembelajaran yang harus dilalui.
Di kantor, atasannya memanggil. “Maya, saya tahu akhir-akhir ini kamu sedang dalam situasi sulit. Tapi pekerjaanmu tetap sangat baik. Saya ingin mengajukan kamu untuk promosi. Kamu layak mendapatkannya.”
Maya terkejut, hampir tak percaya. Di tengah kesulitan yang mencekiknya, ada titik terang kecil yang menyapa. Senyumnya mengembang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasakan sesuatu yang mendekati kebahagiaan.
Malam itu, ia duduk di sebelah tempat tidur ayahnya, menggenggam tangannya. “Yah, aku baru saja dapat kabar baik. Aku dipromosikan di kantor,” ucapnya dengan mata berbinar.
Ayahnya tersenyum bangga. “Lihat? Apa yang Ayah bilang? Gelap nggak akan selamanya bertahan. Pada akhirnya, terang akan datang juga.”
Maya terdiam, merasakan kehangatan di dalam dadanya. Hidup memang penuh dengan cobaan, tapi selama ia percaya bahwa ia bisa melaluinya, tak ada yang mustahil.
**
Malam semakin larut. Di luar, hujan masih turun. Tapi bagi Maya, hujan itu kini terasa seperti melodi yang menenangkan, bukan lagi seperti beban yang harus ditanggung. Hidup ini memang berat, tapi selama ada semangat untuk terus melangkah, semua badai pasti bisa dilewati.