Nata adalah anak remaja yang pendiam dan pemalu di sekolahnya. Setiap sekolah mengadakan lomba entah itu lomba olahraga, akademik, atau seni, dia selalu menjadi penonton. Bukan karena dia tidak mempunyai kemampuan, tapi karena rasa takut gagal yang selalu menghantuinya. Teman-temannya selalu mengolok-olok nya setiap kali nata menolak untuk ikut serta.
“Dasar nata si pengecut! Kau selalu menjadi penonton, tidak berani ikut lomba!”kata salah satu teman sekelasnya dengan nada mengejek suatu hari.
Nata hanya diam dan menunduk, berusa tidak memperlihatkan rasa malu nya. Karena yang dikatakan temannya itu memang benar, nata sebenarnya mempunyai mimpi yang luar biasa tapi hanya gara-gara ketakutan nya mimpi itu tidak akan tercapai.
Suatu ketika sekolah nata mengadakan lomba menari. Tentu saja nata tertarik karena dia sangat pandai menari. Tetapi ketakutan gagal yang selalu menghantuinya dan ketidak percayaan dirinya itu membuat nya enggan untuk ikut serta dalam lomba tersebut. Saat jam istirahat nata masih saja belum beranjak dari tempat duduknya dan memikirkan lomba tersebut.
Lalu salah seorang temannya yang bernama lilis menghampirinya. Lilis adalah teman sekelas nata yang tidak pernah sama sekali mengejek nata di kelasnya. Lilis pun berbicara pada nata ”Nata kenapa dari tadi kamu hanya diam, kamu nggak mau ke kantin”. Lalu nata terkejut “astaga! Eh aku mikirin sesuatu jadi aku nggak mau ke kantin dulu”lalu lilis menjawab “emang kamu lagi mikirin apa?”. Nata pun tidak merespon pertanyaan lilis dan hanya diam karena tidak ingin orang lain tau.
Lilis berkata lagi “Nata aku mohon kalau ada masalah tolong ceritakan karena kita teman sebaiknya kita berbagi cerita, mungkin aku mempunyai solusi jika ada masalah “ nata pun tanpa basa basi bercerita tentang lomba menari yang iya pikirkan “Aku mikirin tentang lomba menari yang akan datang ini, aku ingin mengikuti lomba itu tapi aku takut gagal dan tidak mempunyai kepercayaan diri”. Lalu lilis memberikan pendapatnya “Nata sebaiknya kamu ikuti saja lomba itu, jangan merasa takut tunjukkanlah bahwa kamu bisa”. Nata berkata “Aku akan memikirkannya nanti” dengan perasaan bingung dan gugup.
Di rumah, Nata menghabiskan waktu sendirian di kamarnya. Di dalam ruangan itu, dia bebas mengekspresikan dirinya. Dia sering menari di depan cermin, membayangkan dirinya berada di panggung besar, menari dengan gemulai mengikuti irama musik. Setiap gerakan yang dia pelajari berasal dari video-video tari yang sering dia tonton di ponselnya. Hanya di kamarnya, Nata merasa bebas, meski dunia di luar terus menekan.
Setelah nya saat makan malam bersama, nata berkata kepada ibu nya “Ibu apakah aku akan menang jika ikut lomba menari di sekolah” sontak ibu nata terkejut karena ini kali pertama nata ingin mengikuti lomba. Ibu nata berkata “Tentu saja, kamu anak yang sangat pandai menari walau hanya ibu yang tau kepandaian mu itu”.”Tapi bagaimana jika aku kalah dalam lomba itu ibu?” lalu ibunya berkata lagi “Kalah atau menang itu urusan belakangan, yang pasti kamu bisa memberanikan diri untuk tampil di atas panggung” Kata ibunya nata yang menyemangati nya.
Keesokan harinya sekolah pun membuka pendaftaran lomba tersebut. Saat nata ingin masuk ke ruang pendaftaran, teman-teman nata melihatnya dan langsung mengejek nata "Nata pasti nggak berani ikut lagi. Cuma bisa jadi penonton, kan?" kata salah satu teman yang sering memimpin ejekan. Ejekan itu membuat hati Nata terasa semakin berat. Namun, kali ini, sesuatu dalam dirinya berubah. Rasa lelah karena terus-menerus merasa takut dan diremehkan perlahan menguap, digantikan oleh tekad yang tumbuh dari dalam.
"Aku harus mencobanya, setidaknya sekali," bisik Nata pada dirinya sendiri.
Lalu dengan tangan gemetar dan perasaan gugup nata mendaftar untuk lomba menari. Kabar itu pun tersebar ke telinga teman-temannya. Mereka terkejut bahkan ada yang tertawa saat nata akan berpartisipasi. "Serius, Nata mau ikut? Jangan-jangan cuma buat lucu-lucuan!" ejek mereka lagi.
Namun, Nata tidak peduli. Tekadnya sudah bulat. Dia tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan ejekan itu adalah dengan membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia bisa melakukannya, bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri.
Hari perlombaan pun tiba. Di aula sekolah, panggung telah disiapkan, dan Nata menunggu gilirannya dengan jantung berdebar. Ketika namanya dipanggil, dia melangkah ke atas panggung dengan gugup. Ruangan terasa hening, seolah semua mata tertuju padanya.
Namun, begitu musik mulai mengalun, tubuh Nata bergerak mengikuti irama. Semua rasa takut, keraguan, dan ejekan teman-temannya seakan hilang begitu saja dan juga berkat ibu dan lilis yang memotivasi nya. Nata menari dengan seluruh hatinya, seolah hanya dia dan musik yang ada di dunia ini. Gerakannya luwes, dan terlihat indah di mata penonton.
Saat tarian berakhir, aula dipenuhi tepuk tangan yang gemuruh. Bahkan teman-teman yang biasanya mengejeknya pun terdiam, tidak menyangka bahwa Nata bisa menari sebaik itu. Beberapa dari mereka malah terlihat kagum, sementara yang lain tampak malu karena sudah meremehkan Nata selama ini.
Nata berdiri di atas panggung, terengah-engah, namun dengan senyuman yang tak bisa disembunyikan. Bukan karena dia menang atau kalah, tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia berani melawan ketakutan yang selama ini menghantuinya. Setelah acara selesai, beberapa teman menghampirinya termasuk lilis. Lilis memuji nata “wah! nata tadi keren sekali, aku juga ingin belajar menari dari kamu nanti! ” kata lilis sangat gembira. Nata yang malu berkata “Kamu ini bisa aja”.
"Iya nata, kamu keren banget tadi," kata salah satu temannya, yang biasanya ikut mengejek.
Nata hanya tersenyum. Dia tahu, perjalanan menuju kepercayaan diri masih panjang, tapi langkah pertamanya sudah dia ambil. Kini, dia tidak lagi menjadi penonton dalam hidupnya sendiri. Dia telah menemukan keberanian untuk mengepakkan sayapnya dan terbang, melampaui ketakutan dan ejekan yang dulu membuatnya ragu.
Akhirnya, Nata menyadari bahwa kemenangan terbesar bukanlah mengalahkan orang lain, tapi mengalahkan rasa takut dalam diri sendiri.
By. Cmah