Malam itu begitu sunyi, hanya desiran angin dari celah-celah rumah tua yang terdengar samar. Rumah besar peninggalan kakek di pinggir kota itu sudah lama tak berpenghuni. Kini, Reya, seorang penulis cerita misteri yang sedang mencari inspirasi, memutuskan untuk tinggal sementara di sana. Rumah yang berdiri megah dengan nuansa kuno itu tampak memanggilnya, seolah menyimpan rahasia yang menunggu untuk diungkapkan.
Reya menatap jendela besar di ruang tamu yang menghadap ke hutan kecil di belakang rumah. Di balik kegelapan, ia merasa ada sesuatu yang mengintai, tetapi ia tak pernah melihat apa pun dengan jelas. Namun, rasa dingin yang merambat di tengkuknya setiap kali ia memandang ke sana, membuatnya gelisah.
Setiap malam, Reya mendengar suara-suara aneh. Kadang seperti langkah kaki, kadang hanya gemerisik di atap. Awalnya, ia mengira itu hanya suara angin atau hewan liar yang berkeliaran di sekitar rumah. Tapi suara itu semakin hari semakin keras dan tak bisa diabaikan. Ada sesuatu yang salah.
Reya menulis catatan di buku hariannya:
“Hari keempat di rumah kakek. Aku mulai merasa ada sesuatu di sini. Bukan hanya suara-suara, tapi… seperti ada yang mengawasi. Tapi aku tidak melihat siapa pun. Mungkin hanya perasaanku. Aku harus tetap fokus menulis, mungkin hanya otakku yang terlalu terobsesi dengan cerita horor yang sedang kutulis.”
Namun, semakin ia mencoba mengabaikan, semakin nyata kehadiran itu terasa. Reya memutuskan untuk menyelidiki sendiri. Ia mengambil senter dan mendekati jendela besar itu. Di luar, hanya hutan yang kelam, pepohonan tinggi yang berbisik dalam gelap. Tapi ketika ia menyorotkan senter, ia melihat bayangan—cepat sekali, seolah ada yang bergerak di antara pohon.
“Wuuss…” angin mendesir, membawa suara samar seperti bisikan, tapi tak jelas dari mana asalnya. Reya mundur, merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia berusaha menenangkan diri. “Hanya hembusan angin,” gumamnya, tapi hatinya mengatakan sebaliknya.
Malam berikutnya, Reya memutuskan untuk merekam suara-suara yang ia dengar. Ia meletakkan ponselnya di meja ruang tamu, menghadap ke jendela besar itu. Beberapa jam berlalu tanpa kejadian berarti, hingga tepat saat tengah malam, suara itu kembali. Kali ini, lebih dekat. Bukan langkah kaki, melainkan seperti ketukan halus di kaca.
“Tok... tok... tok...”
Reya tersentak, matanya terpaku pada jendela. Tak ada siapa pun di luar, tapi ketukan itu nyata. Ia memberanikan diri mendekat, tapi ketika tangannya hampir menyentuh kaca, ketukan berhenti. Napas Reya memburu. Ia menekan tombol stop pada ponselnya dan segera memeriksa rekaman. Dan apa yang ia dengar membuat darahnya seolah membeku.
Di balik ketukan itu, ada suara lain. Suara anak kecil yang berbisik.
“Buka jendelanya… buka...”
Reya menahan napas, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya lelucon pikirannya sendiri. Tapi rekaman itu nyata. Suara itu ada. Dan yang paling menakutkan, suara itu datang dari dalam rumah, bukan dari luar.
Pada titik ini, Reya mulai merasa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih menyeramkan daripada sekadar suara-suara aneh. Kegelapan di sekitar rumah seolah menyimpan misteri yang tak terlihat. Rumah ini, pikirnya, menyimpan rahasia yang mungkin seharusnya tak pernah ia coba ungkap.
Reya tak bisa tidur malam itu. Pikiran tentang suara misterius di rekamannya terus menghantuinya. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bisikan itu terngiang di telinganya, mengundang dengan lembut tapi mengerikan. “Buka jendelanya…”
Pagi harinya, Reya merasa sedikit lega. Ketenangan siang membuat semuanya tampak seperti mimpi buruk yang tidak nyata. Namun, ketegangan yang terus mengganjal membuatnya semakin penasaran. Dia memutuskan untuk mencari lebih dalam tentang rumah kakeknya. Reya membuka laptopnya dan mulai mencari informasi tentang rumah itu.
Tak butuh waktu lama hingga Reya menemukan sesuatu yang aneh. Ada beberapa catatan lama di arsip kota tentang hilangnya beberapa anak kecil di sekitar area rumah ini. Kasus-kasus tersebut terjadi lebih dari lima puluh tahun lalu, tepat sebelum rumah itu diwariskan ke kakeknya. Anak-anak itu hilang tanpa jejak, dan yang lebih aneh, banyak yang melaporkan mendengar suara anak kecil di malam hari sebelum mereka menghilang.
Reya bergidik. Apakah ini ada hubungannya dengan suara yang ia dengar? Benarkah ada sesuatu yang mengintai di balik jendela besar itu? Pikirannya mulai dipenuhi ketakutan, tapi ada dorongan kuat untuk mengetahui lebih banyak. Reya memutuskan untuk bertemu dengan satu-satunya tetangga yang masih tinggal di dekat rumah itu, seorang pria tua bernama Pak Joko yang sudah tinggal di sana selama puluhan tahun.
Pak Joko, yang tampak enggan untuk membicarakan topik itu, akhirnya berbicara setelah Reya memaksa. “Rumah itu,” kata Pak Joko dengan suara rendah, “sejak dulu memang ada sesuatu. Ada kutukan, katanya. Anak-anak dulu sering main di sekitar sana, tapi beberapa menghilang. Lalu, orang mulai mengaitkan itu dengan jendela besar di rumah kakekmu.”
Reya merinding. “Jendela besar?”
Pak Joko mengangguk pelan. “Ya. Mereka bilang, kalau kau mendengar suara ketukan atau bisikan di jendela, jangan pernah membuka. Jangan pernah.”
Reya menelan ludah. “Apa yang terjadi kalau dibuka?”
Pak Joko hanya menggeleng, tatapannya suram. “Tak ada yang tahu. Mereka yang mencoba membuka, tak pernah kembali.”
Malam itu, Reya tak bisa menahan diri. Meski peringatan Pak Joko membuatnya takut, dorongan untuk mengungkap kebenaran jauh lebih kuat. Ia kembali ke ruang tamu dan berdiri di depan jendela besar. Segalanya tampak begitu tenang, namun ketenangan itu hanya membuat suasana semakin mencekam.
Ketukan itu kembali.
“Tok… tok… tok…”
Reya menahan napas. Kali ini, suara itu lebih pelan, hampir seperti memohon. Dan lalu, lagi-lagi, suara bisikan itu terdengar.
“Buka jendelanya…”
Dengan tangan gemetar, Reya mendekati kaca. Jantungnya berdebar kencang, seperti akan melompat keluar dari dadanya. Ia tahu ia tidak seharusnya melakukannya. Ia tahu ini berbahaya. Tapi ada sesuatu yang begitu kuat, yang menariknya untuk melawan semua akal sehatnya.
Tepat ketika tangannya menyentuh pegangan jendela, ketukan itu berhenti.
Sunyi. Hening yang mencekam.
Reya memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. Tapi saat ia membuka matanya lagi, ada sesuatu di luar jendela. Sebuah bayangan kecil, berdiri di tengah kegelapan hutan. Perlahan, sosok itu semakin jelas. Seorang anak kecil, dengan gaun putih kumal, menatapnya dengan mata yang kosong dan bibir yang membentuk senyum menakutkan.
“Apa kau yang mengetuk?” bisik Reya, suaranya bergetar.
Anak itu tidak menjawab. Tapi bibirnya yang bergerak samar-samar seakan mengatakan sesuatu. Reya tidak mendengar suaranya, tapi ia tahu apa yang anak itu katakan. “Buka jendelanya…”
Dengan ketakutan yang luar biasa, Reya tiba-tiba teringat peringatan Pak Joko. “Jangan pernah membuka,” bisiknya pada dirinya sendiri. Dengan gemetar, ia mundur perlahan dari jendela, berusaha mengabaikan godaan kuat untuk membuka. Namun, saat ia berbalik, seluruh ruangan tiba-tiba menjadi gelap.
Terdengar bisikan di seluruh ruangan. Bukan hanya satu suara, melainkan banyak. “Buka… buka… buka…”
Reya tersandung dan jatuh ke lantai. Ia mencoba merangkak, tetapi kegelapan semakin menghimpitnya, seolah-olah dinding-dinding rumah ini hidup dan menelan setiap cahaya. Suara bisikan semakin keras, semakin banyak. Dan di tengah kekacauan itu, Reya menyadari sesuatu yang sangat mengerikan.
Suara-suara itu tidak berasal dari luar.
Mereka berasal dari dalam rumah.
Reya berusaha bangkit dari lantai. Tangannya gemetar hebat saat ia mencoba mencari titik terang di tengah kegelapan yang menyelimutinya. Bisikan-bisikan yang memenuhi ruangan kini terdengar semakin dekat, seolah-olah berasal dari berbagai penjuru sekaligus. Reya mencengkram dadanya, mencoba menenangkan napasnya yang semakin terengah-engah. Dia harus keluar dari rumah ini sekarang juga.
Namun, sebelum ia dapat bergerak lebih jauh, tiba-tiba sebuah suara lain terdengar. Lebih keras, lebih jelas, dan lebih menyeramkan. Suara seorang anak kecil, yang kali ini bukanlah bisikan. Anak itu berbicara langsung di belakangnya.
“Buka jendelanya, Kakak… Aku kedinginan…”
Reya tersentak. Lututnya lemas, hampir membuatnya jatuh lagi. Dengan keberanian yang tersisa, ia memberanikan diri menoleh ke belakang, namun yang dilihatnya membuat darahnya berdesir kencang.
Di sudut ruangan, berdiri sosok anak kecil, sama seperti yang dilihatnya di luar jendela. Pakaian lusuh, wajah pucat, dan mata kosong. Sosok itu tersenyum aneh, menyeringai, seakan menantang Reya untuk mendekat. Reya ingin berteriak, namun suaranya tercekik di tenggorokan.
“Aku kedinginan, Kakak...” Anak itu melangkah maju perlahan, setiap langkahnya menghasilkan suara mencicit yang terdengar tidak wajar.
Reya mundur dengan cepat, hingga akhirnya punggungnya menabrak sesuatu yang keras di jendela. Ketakutan yang luar biasa melanda. Suara ketukan kembali terdengar, namun kali ini lebih keras, memukul kaca jendela seperti palu besar.
“Tok… tok… tok...”
Reya tak bisa bergerak. Seolah ada sesuatu yang mengikat tubuhnya di tempat. Matanya terfokus pada anak itu, yang kini sudah berdiri hanya beberapa langkah darinya, bibirnya bergerak lagi, tapi kali ini tak ada suara yang keluar.
Kemudian, dengan kecepatan yang mengejutkan, anak itu menghilang seolah tertelan oleh kegelapan yang pekat di ruangan itu.
Suara ketukan mendadak berhenti. Keheningan mendominasi, namun hawa dingin yang menyelimutinya menjadi semakin tak tertahankan. Reya tahu ia harus segera keluar. Ia berlari menuju pintu, namun saat ia hampir mencapainya, tiba-tiba suara keras terdengar di belakangnya.
“KRAK!”
Jendela pecah. Kepingan kaca beterbangan ke segala arah, dan dari celah jendela itu, hawa dingin yang sangat menusuk tulang masuk ke dalam ruangan. Reya terhenti, jantungnya berdetak kencang, tetapi ketakutan membuatnya mematung. Di tengah pecahan kaca, ia melihat sesuatu muncul dari kegelapan di luar sana.
Sosok itu bukan lagi anak kecil. Bayangan besar dengan bentuk yang tak jelas, menggeliat di antara serpihan kaca yang berjatuhan. Mata-mata merah menyala bermunculan dari kegelapan, seolah-olah ada lebih dari satu makhluk yang sedang mengintai di sana. Sosok-sosok itu bergerak mendekat dengan gerakan yang sangat lambat, nyaris tak terlihat, tapi semakin dekat, semakin besar rasa ancaman yang Reya rasakan.
Dengan seluruh tenaga yang tersisa, Reya memutar tubuhnya dan berlari keluar dari rumah itu, tanpa memedulikan apapun lagi. Dia berlari menembus malam, meninggalkan rumah itu jauh di belakang, sementara suara bisikan-bisikan yang mengerikan masih terdengar samar-samar di telinganya. Seolah mereka mengejarnya, memanggilnya kembali.
Setelah mencapai jalan besar, Reya berhenti untuk mengambil napas. Tangannya masih gemetar hebat, wajahnya basah oleh keringat dingin. Pikirannya melayang-layang, antara percaya dan tidak percaya akan apa yang baru saja terjadi. Namun satu hal yang pasti: ada sesuatu di rumah kakeknya, sesuatu yang berbahaya dan tidak seharusnya dibangunkan.
Reya tahu, bagaimanapun caranya, dia harus mencari tahu lebih banyak tentang makhluk-makhluk itu. Dia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Namun untuk malam ini, satu hal yang paling penting adalah selamat.
Reya terus berlari. Kegelapan malam menyelimuti jalan-jalan sepi di desa itu, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan yang berkedip-kedip seakan hidup enggan mati tak mau. Di benaknya, segala hal yang baru saja terjadi terus berputar. Sosok anak kecil, jendela yang pecah, dan bayangan besar yang mengintai di balik kegelapan. Tak ada penjelasan yang masuk akal. Ketakutan yang mencekam semakin kuat, menguasai seluruh tubuhnya. Tapi dia tahu, malam ini bukan waktu yang tepat untuk mencari jawaban. Dia butuh tempat aman.
Akhirnya, dia tiba di depan sebuah rumah yang tampak lebih tua dari rumah kakeknya sendiri. Rumah tua dengan cat yang sudah terkelupas dan jendela yang tampak menghitam, seakan-akan tidak ada cahaya yang pernah menembusnya. Rumah itu milik seorang pria tua yang dikenal sebagai penjaga sejarah desa. Pria ini, Pak Seno, sering diceritakan memiliki pengetahuan tentang hal-hal gaib yang terjadi di desa itu, meski orang-orang menganggapnya hanya sekadar cerita dongeng belaka.
Reya mengetuk pintu dengan gemetar. Tidak ada jawaban. Dia mengetuk lagi, kali ini lebih keras, memaksa dirinya untuk tetap tenang di tengah kekalutan. Setelah beberapa detik, pintu kayu itu terbuka perlahan, dan seorang pria tua dengan sorot mata tajam berdiri di baliknya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, malam-malam begini?” Pak Seno bertanya, suaranya serak namun penuh wibawa.
“S-saya butuh bantuan,” Reya terengah-engah, “di rumah kakek saya... ada sesuatu... saya tidak tahu apa itu, tapi saya melihat... makhluk di jendela.”
Pak Seno diam sejenak, matanya menyipit seolah mencoba membaca sesuatu di wajah Reya. Setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang dan membuka pintu lebih lebar, memberi isyarat pada Reya untuk masuk.
“Masuklah. Mari kita bicarakan ini.”
Reya duduk di ruang tamu kecil itu, matanya mengamati sekitar. Dinding-dindingnya dipenuhi oleh rak-rak berisi buku-buku tebal, lukisan-lukisan kuno, dan berbagai barang antik yang tampaknya berumur ratusan tahun. Suasana di rumah itu sunyi, hanya terdengar suara jam dinding tua yang berdetak pelan. Pak Seno duduk di kursi kayu di hadapannya, wajahnya serius.
“Ceritakan semuanya dari awal,” kata pria tua itu, matanya tak lepas dari Reya.
Reya mulai menceritakan semuanya tentang rumah kakeknya, tentang suara-suara aneh yang dia dengar, sosok anak kecil yang muncul di luar jendela, hingga saat jendela itu pecah dan bayangan besar mulai muncul. Pak Seno mendengarkan dengan seksama, tak sekali pun menyela.
Setelah Reya selesai, suasana ruangan itu semakin mencekam. Pak Seno berdiri dan mengambil sebuah buku tua dari rak di belakangnya. Dia membuka halaman demi halaman dengan cermat, hingga akhirnya berhenti pada sebuah gambar yang menyerupai sosok bayangan yang Reya lihat.
“Inilah yang kamu lihat,” katanya, menunjuk gambar di halaman buku itu.
Reya menatap gambar itu dengan mata melebar. Itu adalah bayangan hitam yang sama dengan yang muncul di jendela rumah kakeknya, lengkap dengan mata-mata merah yang menyala.
“Itu adalah Pengintai, makhluk gaib yang hanya muncul di desa ini pada malam-malam tertentu. Mereka adalah roh jahat yang terperangkap di antara dunia kita dan dunia lain. Mereka terikat pada objek tertentu... dan sepertinya, jendela di rumah kakekmu adalah salah satunya.”
“Jendela?” Reya tergagap, “Bagaimana mungkin sebuah jendela bisa...?”
Pak Seno menutup buku itu dan menatap Reya dalam-dalam. “Ada legenda lama di desa ini. Konon, ada keluarga yang dikutuk oleh roh jahat karena telah melanggar perjanjian dengan dunia gaib. Salah satu anggota keluarga itu mencoba mengurung roh tersebut dalam sebuah cermin... tetapi gagal. Sebaliknya, roh itu terjebak dalam jendela, menjadi pengintai yang tak pernah bisa pergi.”
Reya merinding mendengar cerita itu. “Jadi... roh itu ada di jendela rumah kakek saya?”
Pak Seno mengangguk. “Roh itu akan terus mengintai, mencari cara untuk keluar. Dan jika dia berhasil... maka tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi.”
Suasana di ruangan itu semakin mencekam, namun Reya tahu bahwa dia tidak bisa hanya lari dari masalah ini. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa dia harus menyelesaikan apa yang telah dimulai.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanyanya akhirnya, matanya penuh tekad.
Pak Seno menatap Reya sejenak, seolah menimbang-nimbang sesuatu. Akhirnya, dia berkata, “Kamu harus kembali ke rumah kakekmu... dan menutup jendela itu untuk selamanya.”
Reya terdiam sejenak, meresapi kata-kata Pak Seno. Menutup jendela itu untuk selamanya? Hanya memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduknya merinding. Kegelapan yang menyelimuti jendela itu bagaikan lubang tak berdasar, sebuah jurang yang menanti untuk menelan siapa pun yang mendekat.
“Apa kamu yakin bisa melakukannya?” tanya Pak Seno, menatap Reya dengan tajam.
Reya mengangguk ragu, tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia tak punya pilihan lain. Dia tidak bisa lari seumur hidup dari teror yang bersembunyi di balik jendela itu. Jika dia ingin hidup tenang, jika dia ingin menyelamatkan dirinya dan keluarganya, maka dia harus menghadapi Pengintai itu.
“Saya akan mencoba,” jawab Reya akhirnya, suaranya terdengar lebih tegas dari perasaannya.
Pak Seno bangkit dari kursinya dan mengambil sesuatu dari dalam lemari kayu tua di pojok ruangan. Sebuah kantung kulit kecil diserahkan kepada Reya. Di dalamnya, terdapat beberapa benda yang tampak aneh sebuah lilin, benang merah, dan sebuah cermin kecil.
“Gunakan benda-benda ini ketika kamu berada di depan jendela,” kata Pak Seno, “Lilin itu akan menjaga kegelapan tetap jauh darimu. Benang merah adalah simbol ikatan yang harus kamu buat dengan jendela tersebut. Dan cermin... cermin itu adalah kunci.”
Reya menggenggam kantung kecil itu erat-erat, merasa sedikit lebih tenang dengan benda-benda aneh tersebut di tangannya. Dia tidak tahu bagaimana benda-benda itu akan membantunya, tapi dia mempercayai Pak Seno. Orang tua itu mungkin satu-satunya harapannya sekarang.
“Terima kasih, Pak,” kata Reya pelan, matanya menatap pria tua itu dengan rasa terima kasih yang mendalam.
Pak Seno hanya mengangguk, sebelum berkata, “Hati-hati, anak muda. Pengintai bukan makhluk biasa. Mereka cerdas dan licik. Jangan biarkan dirimu terpancing oleh ilusi mereka.”
Reya hanya bisa mengangguk, kata-kata itu terukir dalam benaknya. Setelah itu, dia pamit dan berjalan kembali ke rumah kakeknya. Jalanan yang sepi dan dingin membuatnya semakin gugup, tapi dia tahu dia harus melawan rasa takutnya. Setiap langkahnya menuju rumah kakek terasa berat, seolah ada sesuatu yang berusaha menariknya kembali ke tempat aman. Namun, tekad Reya sudah bulat.
Ketika sampai di depan rumah kakek, Reya berhenti sejenak, mengatur napas. Rumah itu terlihat sama seperti ketika dia meninggalkannya sepi, sunyi, dan suram. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Kegelapan di dalam rumah tampak lebih pekat, seperti ada sesuatu yang mengintai, menunggunya masuk.
Dengan tangan gemetar, Reya membuka pintu. Suara berderit yang ditimbulkan pintu itu membuat hatinya berdebar kencang. Ruangan di dalam gelap gulita, hanya diterangi cahaya redup dari bulan yang samar-samar menembus jendela. Di sana, di ujung ruangan, berdiri jendela yang telah membawa teror ke dalam hidupnya.
Reya menyalakan lilin seperti yang disarankan Pak Seno, dan cahaya lembutnya seketika mengusir sebagian kecil kegelapan. Dengan langkah perlahan, dia mendekati jendela itu. Rasanya seperti ada sesuatu yang memerhatikannya dari balik kaca, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Ketika dia berada tepat di depan jendela, Reya mengeluarkan benang merah dan mulai melilitkannya di sekitar bingkai jendela, persis seperti yang diajarkan oleh Pak Seno. Benang itu terasa hangat di tangannya, seolah memiliki kekuatan yang tak terlihat. Setelah itu, dia menatap cermin kecil di tangannya.
“Apa yang harus aku lakukan dengan cermin ini?” gumamnya, kebingungan.
Namun sebelum dia sempat memikirkan lebih lanjut, tiba-tiba sesuatu terjadi. Jendela itu bergetar hebat, dan dari balik kacanya, sesosok bayangan besar muncul. Mata merah menyala itu kembali terlihat, menatap Reya dengan kebencian yang mendalam. Pengintai itu telah kembali.
Reya terperangah, tubuhnya membeku di tempat. Makhluk itu tidak hanya diam kali ini. Bayangan hitam itu mulai merambat ke arah Reya, menembus kaca seperti kabut yang pekat, berusaha mencapainya.
“D-d-diam di tempat!” Reya berteriak panik, tangannya menggenggam cermin dengan erat.
Cermin itu memantulkan bayangan sang Pengintai, dan tiba-tiba bayangan itu berhenti. Makhluk itu tampak terganggu, seolah-olah cermin itu memberikan perlawanan. Reya menyadari ini adalah kesempatannya. Dengan segala keberanian yang tersisa, dia mengangkat cermin itu tinggi-tinggi, memantulkannya ke arah bayangan yang terus bergerak. Sontak, makhluk itu mengerang keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. Reya menggertakkan gigi, berusaha keras menahan rasa takut yang mengalir dalam tubuhnya.
Namun, sesuatu yang tak disangka-sangka terjadi.
Bayangan itu tidak menghilang. Sebaliknya, bayangan itu berubah bentuk, mengerut, dan akhirnya berubah menjadi sesuatu yang tak pernah Reya bayangkan. Dari balik kegelapan, sosok anak kecil itu muncul lagi, kali ini dengan wajah yang jelas, menatapnya dengan tatapan kosong.
Anak itu membuka mulutnya dan berbicara dengan suara serak, “Kau seharusnya tidak kembali. Kini aku sudah bebas.”
Anak kecil itu dengan wajah kosong dan tatapan hampa berdiri tepat di depan Reya, suaranya yang serak masih bergema di telinganya. “Aku sudah bebas,” katanya lagi, kali ini dengan senyuman aneh yang membuat jantung Reya berdegup lebih kencang. Wajah anak itu semakin jelas seiring cahaya lilin yang bergoyang, memperlihatkan sosok pucat dengan bekas luka di lehernya.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Reya, suaranya nyaris tenggelam oleh ketakutannya sendiri.
Anak kecil itu tidak menjawab, tapi tatapan matanya yang dalam seolah berbicara lebih dari kata-kata. Seolah-olah, ada sesuatu yang terikat erat di dalam jiwanya, sebuah kegelapan yang mendalam yang kini dilepaskan dari penjaranya.
Reya mundur beberapa langkah, benang merah yang masih melilit jendela tampak mulai memudar. Apa yang dikatakan Pak Seno tentang benda-benda ini? Mengapa tidak berhasil seperti yang diharapkan? Apakah dia melakukan sesuatu yang salah?
Namun, sebelum Reya sempat berpikir lebih jauh, suara gerakan keras dari dalam rumah menggema. Suara langkah kaki. Sesuatu bergerak cepat menuju ke arahnya dari arah lorong rumah yang gelap. Bayangan besar lain muncul dari balik pintu kali ini lebih mengerikan dan jelas. Sosok jangkung itu memiliki wajah tanpa mata, hanya sebuah rongga hitam yang dalam, dan tubuhnya seolah diselimuti oleh kabut tebal yang bergerak tak tentu arah.
“Sudah terlambat,” suara anak kecil itu lagi. “Dia akan datang... untukmu.”
Reya berbalik, ingin melarikan diri, tetapi tubuhnya tak mampu bergerak cepat. Kegelapan itu terasa semakin pekat, seolah menariknya ke dalam, menghisap sisa-sisa keberaniannya. Sosok tanpa mata itu semakin mendekat, jari-jarinya yang panjang dan melengkung berusaha meraih Reya.
Tanpa berpikir panjang, Reya mengangkat cermin kecil di tangannya, mengarahkan pantulannya ke sosok mengerikan tersebut. Tapi kali ini, tidak ada erangan, tidak ada jeritan seperti sebelumnya. Bayangan itu hanya berhenti sejenak, sebelum tersenyum, sebuah senyum yang tampak tak wajar di wajah tanpa matanya.
“Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu sekarang,” desis makhluk itu dengan suara rendah, hampir tidak terdengar, namun penuh dengan kegetiran.
Tiba-tiba, pintu depan rumah terbanting terbuka. Udara dingin masuk, membawa suara gemerisik dedaunan dan debu malam. Reya memandang ke arah pintu, berharap ada seseorang, siapa pun yang datang menolongnya. Namun yang dia temui hanya kekosongan dan kegelapan luar rumah. Tidak ada orang, tidak ada tanda kehidupan.
Dengan napas terengah, Reya sadar bahwa dia kini benar-benar sendirian. Benang merah yang tadinya terikat di jendela sudah menghilang sama sekali, lilin yang menyala mulai redup, dan makhluk-makhluk itu semakin mendekat, mengelilinginya perlahan.
Tapi, di detik terakhir ketika harapan seolah hilang, terdengar suara lain suara yang asing tapi penuh dengan kepastian.
“Jangan takut, anakku.”
Suara itu datang dari belakangnya, tepat di arah jendela. Reya berbalik dengan cepat, dan untuk pertama kalinya dia melihat sosok yang sudah lama dia dengar dalam cerita-cerita keluarganya. Sebuah bayangan perempuan, tinggi dan anggun, berdiri di depan jendela. Wajahnya tersembunyi dalam kerudung gelap, tapi suaranya penuh dengan ketenangan.
“Kau tahu siapa aku,” bisiknya.
Reya tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Ada sesuatu dalam dirinya yang mengenali perempuan itu. Sesuatu yang dalam, jauh dari ingatannya, berbisik bahwa dia pernah mendengar suara itu sebelumnya.
“Kau adalah bagian dari ini semua, Reya. Hanya kau yang bisa mengakhirinya.”
Bayangan perempuan itu mengulurkan tangannya, dan tanpa berpikir panjang, Reya menggapainya. Sentuhan itu dingin, tapi menenangkan. Dalam sekejap, semua kegelapan di sekelilingnya menghilang, menyisakan hanya cahaya redup lilin dan suara lembut angin malam yang masuk dari jendela.
Ketika Reya membuka matanya kembali, dia masih berdiri di depan jendela, cermin kecil di tangannya. Tapi kali ini, jendela itu tampak berbeda. Tidak ada bayangan atau kegelapan di baliknya. Hanya pemandangan malam yang tenang.
Makhluk-makhluk itu sudah hilang, lenyap seolah tak pernah ada.
Tapi di dalam hati Reya, ada perasaan bahwa ini belum berakhir. Bahwa apa pun yang baru saja terjadi adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Dia memandang cermin di tangannya dan bergumam pelan, “Siapa kau sebenarnya?”
Namun, jawaban itu hanya akan terungkap di lain waktu, di masa yang belum tiba.
End.