Kerajaan Majapahit, dengan segala kemegahannya, terhampar luas dari ujung samudera hingga perbukitan yang diliputi hutan hijau.
Istana megahnya berdiri kokoh di pusat kota, menara-menara emasnya berkilauan di bawah sinar matahari pagi.
Di dalamnya, kesibukan tak pernah reda, suara langkah kaki para pelayan, denting senjata prajurit yang sedang berlatih, dan bisik-bisik perbincangan para pejabat istana terdengar bercampur dengan semilir angin yang membawa wangi kembang dari taman-taman istana.
Namun di balik kemegahan itu, ada sebuah perasaan yang dalam dan tersembunyi, tersembunyi di hati seorang ksatria muda bernama Pawana.
Pawana adalah seorang kesatria yang dihormati di Majapahit.
Ayahnya, seorang panglima besar, telah mengabdikan hidupnya kepada kerajaan, dan Pawana, sebagai anak tunggal, dia mewarisi semangat itu.
Dengan tubuh tegap dan wajah yang gagah, ia dikenal karena keberanian dan keteguhannya di medan perang.
Namun di balik ketangguhan fisik dan mentalnya, tersembunyi perasaan yang lembut, sebuah perasaan yang tak pernah terucapkan.
Ia mencintai Putri Citra, putri dari Raja Hayam Wuruk, sejak pertama kali mereka bertemu.
Putri Citra adalah perwujudan dari kecantikan dan kecerdasan.
Kecantikannya melebihi cerita-cerita yang tersebar di kerajaan, namun bukan hanya itu yang membuatnya istimewa.
Ia memiliki keteguhan hati, keberanian, dan kebijaksanaan yang mengalir dari ayahnya.
Meski lahir sebagai seorang putri, Citra tak pernah hanya berdiam diri di dalam istana.
Ia sering terlihat bersama prajurit, menonton latihan mereka, bahkan kadang-kadang ikut berkuda bersama mereka.
Kegemaran dan keberaniannya ini membuatnya dihormati, tak hanya sebagai putri, tetapi sebagai sosok yang menginspirasi.
Pertemuan pertama Pawana dengan Citra terjadi pada hari yang tak pernah akan dilupakannya.
Saat itu, Pawana masih muda, baru beberapa tahun mengabdi sebagai prajurit kerajaan.
Ketika itu, tugasnya adalah menjaga gerbang timur istana, sebuah tugas yang cukup penting bagi seorang prajurit muda sepertinya.
Angin berhembus pelan, membawa udara segar pagi itu, dan dari kejauhan ia melihat rombongan kuda mendekat.
Putri Citra, yang saat itu berusia enam belas tahun, memimpin rombongan itu dengan anggun.
Wajahnya cerah, dengan mata yang berbinar penuh semangat.
Pawana terpaku sejenak, tak mampu mengalihkan pandangannya dari sosok putri yang berkilauan di bawah sinar matahari.
Saat ia menghentikan kudanya di depan gerbang, Pawana memberikan hormat dengan penuh penghormatan.
“Siapakah namamu, ksatria muda?” suara Citra terdengar lembut namun tegas.
Matanya yang tajam menelusuri wajah Pawana, seolah-olah mencoba memahami seseorang yang baru ditemuinya.
"Pawana, Tuan Putri," jawabnya dengan suara yang sedikit bergetar, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang.
"Apakah engkau baru di sini?" tanya Citra lagi, kali ini dengan senyum tipis di wajahnya.
"Ya, Tuan Putri. Saya baru saja ditugaskan di gerbang timur," jawab Pawana, berusaha untuk tidak terlihat terlalu gugup.
Citra mengangguk kecil, dan dengan satu gerakan anggun, ia turun dari kudanya.
Tanpa diduga, ia berjalan mendekati Pawana, membuatnya semakin tegang.
Para pengawal di sekelilingnya tetap diam, seolah paham betul kebiasaan putri mereka yang suka mendekati prajurit dengan rasa ingin tahu.
"Jaga dirimu baik-baik, Pawana," kata Citra dengan senyum hangat sebelum ia berjalan menuju istana.
Hari itu menjadi awal dari segalanya.
Sejak saat itu, Pawana sering melihat Citra saat ia bertugas di dalam istana.
Mereka tidak sering berbicara, namun setiap kali mata mereka bertemu, Pawana merasa ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka.
Citra, dengan keanggunan dan keberaniannya, mulai menarik hati Pawana, meski ia tahu bahwa jarak di antara mereka terlalu jauh untuk dijangkau.
Seiring berjalannya waktu, kehadiran Pawana semakin dekat dengan Citra.
Karena prestasinya di medan perang dan pengabdiannya yang tanpa cela, ia dipilih menjadi salah satu dari sedikit ksatria yang diizinkan mengawal Putri Citra secara pribadi.
Di situlah hubungan mereka berkembang, meski tetap dalam batas yang tidak terucapkan.
Citra mempercayai Pawana, lebih dari sekadar pelindung.
Ia melihat kesungguhan hati dan keberanian dalam diri pria itu, sesuatu yang langka ditemukannya di antara bangsawan dan pejabat istana yang seringkali hanya memikirkan kepentingan pribadi.
Pawana, di sisi lain, semakin terjebak dalam perasaannya sendiri.
Setiap kali ia berada di dekat Citra, hatinya berdebar, namun ia tahu, cintanya adalah sesuatu yang tak mungkin ia ungkapkan.
Statusnya sebagai ksatria, seorang pelayan kerajaan, membuatnya tak pantas bermimpi untuk memiliki putri raja.
Meski begitu, ia tetap setia di sisinya, menjaga dari ancaman, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi di balik intrik politik kerajaan.
Majapahit saat itu sedang berada di puncak kejayaannya, namun ancaman dari luar selalu mengintai.
Sebagai putri yang berpotensi menjadi alat aliansi politik, Citra kerap kali menjadi pusat perhatian dari kerajaan-kerajaan tetangga.
Hal itu menambah beban di hati Pawana, yang tak hanya harus menjaga putri dari ancaman fisik, tetapi juga dari kepentingan politik yang bisa memisahkan mereka.
Hubungan yang berkembang di antara mereka tetap berada dalam batas formalitas.
Tidak ada ungkapan cinta, tidak ada sentuhan yang melampaui batas seorang pelindung dan yang dilindungi.
Namun di setiap pandangan mata, di setiap percakapan singkat, tersembunyi perasaan yang tak dapat mereka utarakan.
Pawana tahu, posisinya sebagai ksatria hanya mengizinkannya untuk melihat Citra dari kejauhan, mengaguminya dalam keheningan.
Namun dalam hatinya, ia bersumpah akan selalu berada di sisinya, menjaga Citra meski cinta yang ia pendam tak akan pernah terbalas.
Bagi Pawana, kehadirannya di sisi sang putri sudah cukup, meski kenyataan yang pahit selalu menghantui pikirannya.
Hari demi hari berlalu, dan hubungan antara Pawana dan Putri Citra semakin erat, meskipun tetap di bawah bayang-bayang tugas dan tanggung jawab mereka.
Pawana, sebagai seorang ksatria pribadi yang ditugaskan untuk menjaga putri kerajaan, menghabiskan sebagian besar waktunya di sisi Citra.
Setiap pagi, saat sinar matahari perlahan muncul di balik perbukitan, mereka berdua sering terlihat di halaman istana, tempat Citra melatih keterampilan berkudanya.
Citra adalah seorang putri yang tak hanya dikenal karena kecantikannya, tetapi juga karena keberaniannya yang luar biasa.
Ia menolak untuk hanya menjadi simbol kecantikan yang duduk di singgasana tanpa berbuat apa-apa.
Sejak kecil, ia telah mempelajari berbagai seni keterampilan, mulai dari seni bela diri hingga mengendarai kuda dengan penuh percaya diri.
Ketekunan inilah yang membuat para prajurit kagum, terutama Pawana yang selalu berdiri di sisinya, siap menjaga dan melindunginya.
“Pawana, mari kita lihat siapa yang lebih cepat hari ini,” kata Citra suatu pagi dengan senyuman yang menantang.
Ia memegang tali kekang kudanya dengan tangan yang mantap, siap memacu kudanya ke ujung lapangan.
Pawana hanya tersenyum kecil, tahu bahwa putri itu sangat suka berlomba.
"Tentu, Tuan Putri." jawabnya sambil menaiki kudanya dengan gerakan anggun. "Saya harap Anda memberikan saya kemenangan kali ini,”
“Tidak usah berpura-pura, Pawana. Aku tahu kau bisa mengalahkanku kalau kau mau,” balas Citra dengan tawa kecil. “Tapi aku tetap ingin mencoba.”
Dan dengan satu hentakan, keduanya memacu kuda mereka.
Angin berdesir di telinga mereka, suara kuku kuda yang menghentak tanah terdengar kencang, memecah keheningan pagi.
Pawana, yang terlatih dalam seni berkuda, dengan mudah bisa memenangkan perlombaan ini.
Namun, seperti biasanya, ia menahan kecepatan kudanya, membiarkan Citra melesat di depannya.
Dalam setiap perlombaan kecil ini, ia selalu memilih untuk berada satu langkah di belakang sang putri, tidak ingin mengurangi semangatnya.
Saat Citra mencapai garis akhir, ia memutar kudanya dan menatap Pawana yang mendekat dengan senyuman lebar di wajahnya.
“Kau benar-benar ksatria yang terlalu baik hati, Pawana." katanya dengan semangat, namun tetap terdengar lembut. "Aku tidak akan pernah tahu seberapa cepat kudamu jika kau selalu mengalah.”
Pawana menghentikan kudanya di dekat Citra, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat.
“Tuan Putri, tugas saya adalah melayani dan menjaga Anda." ujarnya penuh hormat. "Jika saya bisa membuat Anda bahagia dengan kekalahan ini, maka saya sudah menjalankan tugas saya dengan baik.”
Citra tersenyum, tapi di matanya, ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kebahagiaan dari kemenangan kecil itu.
Selama beberapa waktu, ia telah memperhatikan kesetiaan Pawana.
Ia tahu betapa setia ksatria itu, selalu berada di sisinya tanpa mengeluh, selalu memastikan keselamatannya tanpa henti.
Namun, Citra juga menyadari bahwa Pawana jarang menampakkan emosi yang sebenarnya.
Ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap tenang dan hormatnya, sesuatu yang Citra tidak dapat sepenuhnya pahami.
Sementara itu, bagi Pawana, setiap kali ia melihat Citra tersenyum, hatinya terasa penuh dengan kebahagiaan yang terpendam.
Meskipun ia tahu bahwa cinta ini tidak akan pernah terwujud, ia tetap tidak bisa menghentikan perasaannya yang semakin dalam.
Setiap momen bersama Citra adalah momen yang berharga baginya, meskipun ia selalu menyadari batasan antara dirinya, seorang ksatria, dan Citra, seorang putri.
Selain berkuda, mereka juga sering menghabiskan waktu di taman kerajaan.
Taman itu dipenuhi bunga-bunga yang mekar dengan indah, suara air dari kolam kecil yang mengalir lembut, memberikan kedamaian di tengah kesibukan istana.
Di taman inilah, Pawana dan Citra sering berbincang, meskipun kebanyakan percakapan mereka tetap formal.
Citra sering meminta Pawana untuk menceritakan pengalamannya sebagai prajurit, terutama pertempuran yang pernah ia ikuti.
Bagi Citra, mendengar cerita tentang medan perang adalah hal yang menarik.
Namun bagi Pawana, berbicara tentang pertempuran selalu mengingatkannya pada kenyataan bahwa tugas utamanya adalah melindungi Citra, bukan mencintainya.
Suatu hari, saat mereka duduk di bawah pohon besar di taman, Citra bertanya dengan nada serius, “Pawana, apakah kau pernah merasa ingin lari dari semua ini? Dari tugasmu, dari perang, dari semua tanggung jawab?”
Pawana menatap Citra, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Mengapa Tuan Putri menanyakan hal itu?” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Tugas adalah kehormatan. Saya hidup untuk melayani kerajaan.”
Citra tersenyum tipis. “Itu jawaban yang sangat ksatria, Pawana." balasnya. "Tapi tidak bisakah seorang ksatria juga memiliki mimpi pribadi? Sesuatu yang dia inginkan, di luar tugasnya?”
Pawana terdiam.
Kata-kata Citra seolah menyentuh sesuatu yang dalam di hatinya.
Ia tahu betul apa yang diinginkannya, namun ia juga tahu bahwa mengungkapkan perasaannya sama saja dengan melawan takdir.
“Setiap orang memiliki mimpi, Tuan Putri." jawab pawana, suaranya rendah. "Namun, tidak semua mimpi dapat terwujud,”
Citra menatap Pawana sejenak, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya.
Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, seorang pelayan istana datang untuk memanggil Citra kembali ke ruang pertemuan.
Percakapan mereka terhenti, dan Citra berjalan pergi menuju ruang pertemuan.
Hari-hari terus berjalan, dan semakin banyak momen kecil yang semakin menguatkan cinta Pawana kepada Citra.
Salah satu dari momen itu terjadi saat mereka berburu di hutan dekat istana.
Citra, yang terkenal dengan keberaniannya, ingin mencoba berburu dengan busur dan panah, sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh seorang putri.
Pawana, seperti biasa, menemaninya, memastikan bahwa ia tetap aman dalam setiap langkah.
Saat mereka berjalan di antara pepohonan yang lebat, Citra tiba-tiba melihat seekor rusa kecil yang berlari di kejauhan.
“Lihat, Pawana! Aku akan mencoba menangkapnya,” seru Citra dengan antusias.
Dengan gerakan cepat, ia mengambil busurnya dan menarik tali panah.
Namun, saat ia hendak melepaskannya, rusa itu berhenti, menatap mereka dengan mata yang lebar.
Citra menahan napas, tangannya bergetar sedikit. Ia tidak bisa melepaskan panah itu.
“Aku… tidak bisa,” bisik Citra, menurunkan busurnya perlahan.
Pawana, yang berdiri di belakangnya, menatap Citra dengan penuh pengertian. “Tidak apa-apa, Tuan Putri. Bukan setiap perburuan harus berakhir dengan kemenangan.”
Citra menunduk, lalu berbalik, meletakkan busurnya ke tanah. “Kadang-kadang, aku merasa aku mencoba terlalu keras untuk menjadi sesuatu yang bukan diriku.”
Pawana berjalan mendekat, menundukkan kepalanya sedikit saat berbicara. “Tuan Putri, Anda adalah sosok yang jauh lebih kuat dari yang Anda kira. Kekuatan tidak selalu datang dari apa yang kita lakukan, tetapi dari apa yang kita putuskan untuk tidak lakukan.”
Citra menatapnya dalam diam, lalu tersenyum lembut. “Kau selalu tahu hal yang tepat untuk dikatakan, Pawana. Mungkin karena itulah aku selalu merasa aman di dekatmu.”
Kata-kata itu membuat hati Pawana terasa hangat, tetapi juga berat.
Ia merasa semakin sulit untuk menyembunyikan perasaannya, namun ia tahu bahwa kenyataan tidak akan pernah berpihak padanya.
Setiap malam, ketika Pawana kembali ke ruangannya, ia selalu merenungkan perasaannya.
Rasa cintanya pada Citra semakin mendalam, namun begitu pula dengan kesadarannya akan batasan yang memisahkan mereka.
Ia tahu bahwa sebagai seorang ksatria, cintanya tak akan pernah terbalas.
Citra adalah seorang putri, keturunan dari raja besar, sedangkan ia hanyalah seorang pelindung.
Bagi kerajaan, ia tidak lebih dari seorang prajurit yang setia, siap menyerahkan nyawanya kapan saja.
Tetapi cinta, meskipun tak terucapkan, tetap ada di dalam hatinya.
Setiap kali ia melihat Citra, hatinya berdebar kencang.
Setiap senyum, setiap kata yang diucapkan Citra, seolah menjadi pisau yang menusuk hatinya lebih dalam.
Ia tahu, cintanya hanya akan membawa penderitaan, namun ia tidak bisa berhenti merasakannya.
Di dalam kesendiriannya, Pawana sering berpikir apakah ia harus pergi.
Meninggalkan Majapahit, meninggalkan tugasnya, dan meninggalkan Citra.
Namun, ia juga tahu bahwa hidupnya sudah terikat pada kerajaan dan pada Citra.
Meskipun cintanya tak akan pernah terwujud, setidaknya ia masih bisa melindungi wanita yang dicintainya, meskipun dari kejauhan.
Dan dengan pemikiran itu, Pawana terus menjalankan tugasnya, menyembunyikan perasaannya di balik peran seorang ksatria setia.
Matahari masih menyemburatkan sinarnya di balik perbukitan saat kabar buruk tiba di istana Majapahit.
Dari penjuru utara, datang laporan bahwa kerajaan tetangga, Kediri, mulai memperkuat pasukannya di perbatasan.
Raja Hayam Wuruk segera memanggil dewan penasihatnya dan para panglima perang untuk membahas ancaman ini.
Ketegangan terasa di seluruh istana, termasuk bagi Pawana, yang selalu berada di sisi Putri Citra.
“Pawana, apakah kau mendengar kabar ini?” tanya Citra dengan nada cemas saat mereka berada di taman istana. Mata indahnya terlihat sedikit gelisah.
“Ya, Tuan Putri. Kerajaan Kediri tampaknya telah memperkuat pasukannya. Mereka mungkin ingin menantang kekuasaan Majapahit,” jawab Pawana dengan suara tenang, meskipun hatinya merasa tidak nyaman.
Dia selalu tenang dalam menghadapi bahaya, tetapi kali ini berbeda.
Ancaman yang datang tidak hanya mengancam kerajaan, tetapi juga orang yang paling berharga baginya—Putri Citra.
Citra memalingkan wajahnya sejenak, menatap langit biru di atas mereka.
“Ayah akan melakukan apa pun untuk menjaga perdamaian. Tetapi, jika Kediri benar-benar menyerang...,” dia menggantungkan kalimatnya, seolah takut melanjutkannya.
Pawana menunduk sedikit. “Majapahit kuat, Tuan Putri. Kita telah menghadapi banyak ancaman sebelumnya dan selalu berhasil. Saya bersumpah, saya tidak akan membiarkan apa pun menyentuh Anda.”
Meskipun kata-kata Pawana dimaksudkan untuk menenangkan, Citra merasakan lebih dari sekadar janji seorang ksatria.
Di balik suara tegas itu, ada ketulusan yang membuat Citra merasa sedikit lebih tenang, meskipun ancaman dari Kediri semakin nyata.
Hari-hari berlalu dengan ketegangan yang terus meningkat.
Pasukan Majapahit mulai dikerahkan di perbatasan, dan persiapan untuk menghadapi kemungkinan perang semakin serius.
Raja Hayam Wuruk sendiri memimpin strategi, dengan bantuan panglima-panglimanya yang terbaik.
Di balik strategi militer itu, Pawana memainkan peran penting sebagai pengawal pribadi Citra, memastikan keselamatannya setiap saat.
Suatu pagi, ketika matahari baru mulai menyingsing, lonceng peringatan bergema di seluruh istana.
Teriakan prajurit yang panik terdengar dari luar.
Pawana segera bergegas menuju aula utama, di mana Citra telah bersiap dengan keberanian yang luar biasa di wajahnya.
“Kediri telah menyerang perbatasan, mereka bergerak cepat ke arah istana!” seorang prajurit melaporkan dengan napas terengah-engah.
Pawana langsung menatap Citra, yang meskipun tampak tegar, tidak bisa menyembunyikan sedikit ketakutan di matanya.
“Tuan Putri, saya harus membawa Anda ke tempat aman.” katanya, suaranya terdengar panik.
Namun, Citra menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa hanya bersembunyi, Pawana. Aku putri Majapahit, ini juga tanahku. Aku ingin bersama rakyatku dan mendukung ayahku.”
Pawana terkejut dengan keteguhan hati Citra, tetapi ia juga tahu bahwa keselamatan Citra adalah hal yang paling penting.
“Tuan Putri, Anda sangat berani, tetapi saya mohon, pikirkan keselamatan Anda." ucapnya meyakinkan. "Jika sesuatu terjadi pada Anda, Raja... dan saya, tidak akan pernah memaafkan diri kami.”
Citra mendekatkan dirinya pada Pawana, menatapnya dalam-dalam. “Aku tahu kau akan melindungiku, Pawana. Aku mempercayaimu lebih dari siapa pun.”
Kata-kata itu membuat hati Pawana bergetar.
Dalam situasi genting ini, Citra masih menunjukkan kepercayaan penuh padanya, kepercayaan yang baginya lebih berharga daripada hidupnya sendiri.
Dengan berat hati, Pawana setuju untuk membawa Citra ke ruang bawah tanah istana, tempat perlindungan yang dirancang khusus untuk keluarga kerajaan selama masa perang.
Namun, sebelum mereka sampai, pasukan Kediri telah menerobos pertahanan luar, menyerbu istana dengan kekuatan penuh.
Di halaman istana, pertempuran sengit terjadi.
Para prajurit Majapahit berjuang mati-matian untuk mempertahankan tanah mereka.
Pawana, yang tidak bisa tinggal diam melihat rekannya bertarung, memutuskan untuk ikut bergabung dalam pertempuran.
Dia berkata. “Tuan Putri, saya akan mengantarkan Anda ke tempat aman, tapi saya harus kembali bertempur.”
Citra mengangguk, meskipun tampak enggan. “Berhati-hatilah, Pawana. Aku akan menunggumu kembali dengan selamat.”
Setelah memastikan Citra berada dalam perlindungan yang aman, Pawana segera kembali ke medan pertempuran.
Di sana, ia menunjukkan keahlian yang luar biasa sebagai ksatria Majapahit.
Dengan pedang di tangan, ia melawan musuh dengan keberanian yang tiada tara.
Setiap ayunan pedangnya begitu cepat dan tepat, menumbangkan setiap prajurit Kediri yang berani mendekat.
Meski tubuhnya lelah dan keringat membasahi kulitnya, semangat Pawana tidak pernah surut.
Ia bertarung bukan hanya untuk kerajaan, tetapi juga untuk melindungi Putri Citra, sosok yang menjadi pusat dari semua yang ia perjuangkan.
Namun, dalam pertempuran yang semakin sengit, ada momen ketika Pawana terdesak.
Sekelompok prajurit Kediri yang lebih besar mengepungnya, membuatnya hampir tidak punya ruang untuk bergerak.
Dalam situasi itu, Pawana tetap tenang.
Dia tahu, sebagai seorang ksatria, dia tidak boleh kehilangan kendali atas pikirannya.
Dengan gerakan cepat, ia memutar tubuhnya, menggunakan pedangnya untuk menangkis setiap serangan yang datang.
Darah musuh bercipratan di tanah, tetapi Pawana tampak tak terganggu.
Ketika situasi tampak semakin memburuk, tiba-tiba Citra muncul dari balik kerumunan prajurit Majapahit yang datang membantu.
Melihat Pawana yang terdesak, ia berteriak, “Pawana!”
Mendengar suaranya, Pawana seketika tersentak.
Dengan dorongan baru, ia mengerahkan seluruh kekuatannya, menebas musuh terakhir yang mencoba mendekatinya.
Setelah musuh-musuh itu tumbang, Pawana berlari mendekati Citra.
“Tuan Putri, apa yang Anda lakukan di sini? Ini terlalu berbahaya!”
Namun, Citra hanya tersenyum lemah, meskipun jelas bahwa dia terkejut dan cemas melihat situasi pertempuran. “Aku tidak bisa hanya bersembunyi, Pawana. Aku ingin menunjukkan bahwa aku juga peduli, bahwa aku juga berani.”
Pawana terdiam sejenak, menatap Citra yang berdiri di depannya dengan teguh.
Dalam situasi paling berbahaya ini, keberanian dan cinta Citra pada kerajaannya—dan mungkin pada dirinya—terlihat begitu jelas.
Keberanian yang ia tunjukkan tidak hanya untuk rakyatnya, tetapi juga untuk orang-orang yang ia pedulikan.
Dengan keberanian Citra yang semakin menguatkan tekadnya, Pawana kembali ke pertempuran, kali ini dengan lebih bersemangat.
Bersama-sama, pasukan Majapahit akhirnya berhasil memukul mundur prajurit Kediri, memaksa mereka kembali ke perbatasan.
Meskipun banyak nyawa yang hilang, Majapahit berhasil mempertahankan istananya.
Setelah pertempuran berakhir, Pawana menemui Citra yang telah kembali ke tempat perlindungannya.
Saat mereka bertemu, Citra mendekat dengan senyum lelah di wajahnya. “Kau bertarung dengan sangat gagah, Pawana.”
Pawana, meskipun lelah, menundukkan kepalanya dengan hormat. “Tuan Putri, itu adalah tugas saya.”
Namun, Citra menatapnya lebih dalam, kali ini dengan mata yang menyimpan perasaan yang lebih mendalam. "Aku melihat apa yang kau lakukan. Kau melindungi kita semua, dan aku... aku sangat menghargaimu.”
Beberapa hari kemudian setelah saat itu, suasana di istana Majapahit tampak tenang.
Matahari pagi menyelimuti halaman dengan cahaya lembut, dan kehidupan istana berjalan seperti biasa.
Namun, di balik keheningan itu, kabar yang akan mengubah segalanya sedang beredar di kalangan para bangsawan.
Kabar yang tak terelakkan, yang akan segera menyentuh kehidupan Putri Citra dan, lebih dalam lagi, kehidupan Pawana.
Di ruang pertemuan istana, Pawana berdiri di sisi luar, menjaga keamanan seperti biasa.
Tapi kali ini, perasaannya lebih waspada.
Ada pertemuan penting yang diadakan oleh Raja Hayam Wuruk, dan dia diberitahu bahwa keputusan besar akan diambil hari ini.
Meski tak diberi penjelasan langsung, Pawana merasakan kecemasan yang menggelayuti pikirannya.
Sementara itu, di dalam ruangan, Putri Citra duduk dengan hati yang tak tenang.
Raja Hayam Wuruk, ayahnya, memulai pembicaraan tentang hubungan diplomatik Majapahit dengan kerajaan tetangga, Kerajaan Sunda.
Di hadapan dewan penasihat kerajaan, sang raja menyatakan bahwa demi perdamaian dan kekuatan politik, Putri Citra akan dinikahkan dengan Pangeran dari Kerajaan Sunda.
"Ini keputusan terbaik untuk Majapahit," kata Raja Hayam Wuruk dengan nada bijaksana, meskipun dalam matanya tampak kebimbangan. "Aliansi ini akan memperkuat hubungan kita dengan Sunda dan memastikan keamanan wilayah kita. Sudah lama mereka menjadi sekutu yang penting, dan melalui pernikahan ini, kita akan mengokohkan ikatan tersebut."
Citra terdiam, jantungnya serasa berhenti berdetak.
Pikirannya langsung melayang pada Pawana—pada cinta yang selama ini dia pendam dalam diam.
Meski dia belum pernah mengungkapkan perasaannya secara terbuka, Citra tahu bahwa di dalam hatinya, Pawana adalah satu-satunya orang yang dia inginkan.
Namun, tugas dan tanggung jawab sebagai seorang putri kerajaan sekarang mengharuskannya untuk melepaskan itu semua.
"Pernikahan ini harus segera dipersiapkan," lanjut Raja Hayam Wuruk, "Kita tidak bisa menunda lebih lama. Aku mengerti ini tidak mudah bagimu, Citra, tapi sebagai putri Majapahit, kau tahu betapa pentingnya tugas ini."
Citra menunduk, menelan kesedihannya.
Dia tahu ayahnya benar, dan sebagai putri kerajaan, dia tidak memiliki pilihan lain.
Namun, perasaan cinta yang mendalam pada Pawana menimbulkan luka di hatinya, luka yang sulit diobati oleh sekadar kewajiban.
Setelah pertemuan itu selesai, Citra berjalan perlahan menuju taman istana, tempat di mana dia dan Pawana sering menghabiskan waktu bersama.
Langkahnya terasa berat, seperti membawa beban yang tak terlihat di pundaknya.
Di sana, dia melihat Pawana yang berdiri tegak di dekat gerbang taman, selalu waspada, selalu siap melindunginya.
Pawana segera menyadari kedatangan Citra.
Dia membungkukkan kepala dengan penuh hormat, tetapi ketika dia melihat wajah Citra yang tampak pucat dan lelah, dia merasakan ada sesuatu yang salah.
“Tuan Putri, ada yang ingin Anda sampaikan?” tanya Pawana, berusaha menjaga ketenangannya.
Citra menatap Pawana sejenak, matanya penuh dengan kesedihan yang dia coba sembunyikan.
Namun, ketika dia mencoba berbicara, suaranya bergetar, dan dia tidak bisa lagi menahan perasaan yang bergolak dalam dirinya.
"Pawana...," suaranya pelan, namun terdengar jelas di telinga Pawana. "Aku akan... segera dinikahkan dengan Pangeran dari Kerajaan Sunda."
Kata-kata itu jatuh seperti petir yang menyambar hati Pawana.
Meski wajahnya tetap tenang, di dalam hatinya, Pawana merasakan dunia runtuh.
Semua impian, semua harapan yang selama ini dia simpan rapat-rapat, seketika hancur berkeping-keping.
Dia tahu, sejak awal, bahwa cintanya pada Citra adalah sesuatu yang tidak mungkin terwujud.
Tapi mendengar langsung bahwa Citra akan menikah dengan pria lain, pria yang dipilih karena alasan politik, itu adalah pukulan yang terlalu berat untuk diterima.
Pawana menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan kepedihannya. "Itu... keputusan yang bijaksana, Tuan Putri. Saya yakin aliansi ini akan membawa kemakmuran bagi kedua kerajaan."
Namun, Citra dapat melihat di balik ketenangan itu, betapa dalam luka yang dirasakan Pawana.
Dia tahu bahwa kata-kata Pawana hanya berusaha menjaga kehormatannya sebagai ksatria, tetapi di dalamnya, Pawana merasakan kesedihan yang sama seperti yang dia rasakan.
"Pawana, aku tidak bisa berpura-pura di hadapanmu," kata Citra dengan suara yang lebih lembut. "Aku tahu ini adalah tugas, tetapi... hatiku tidak bisa begitu saja menerima kenyataan ini."
Pawana mengangkat kepalanya, dan untuk pertama kalinya, dia melihat air mata menggenang di mata Putri Citra.
Hatinya seakan terkoyak melihat wanita yang dia cintai begitu terluka.
Namun, sebagai seorang ksatria, dia tahu bahwa tugas dan kehormatan selalu berada di atas perasaan pribadi.
"Tuan Putri," Pawana berkata dengan suara yang penuh kendali, meskipun dalam dirinya ia berjuang melawan badai emosi, "tugas Anda kepada kerajaan adalah hal yang paling penting. Anda selalu mengutamakan kebaikan rakyat, dan saya menghormati itu."
Citra menatapnya dengan mata yang semakin berkaca-kaca. "Pawana, kau selalu mengatakan itu... tugas, kehormatan... Tapi bagaimana dengan perasaanmu? Apakah kau benar-benar bisa hidup tanpa...?"
Citra tak sanggup melanjutkan, sementara Pawana terdiam sejenak.
Di dalam hatinya, ia ingin mengungkapkan segala perasaannya—bahwa dia mencintai Citra lebih dari apa pun, bahwa selama ini dia hidup hanya untuk melihat senyum Citra, bahwa setiap detik di sampingnya adalah kebahagiaan yang tak terbandingkan.
Tetapi Pawana tahu, tidak ada ruang bagi perasaan pribadinya di antara tanggung jawab besar yang dipikul oleh Citra.
"Perasaan saya," Pawana akhirnya berkata dengan suara yang terdengar berat, "tidak pernah lebih penting daripada kewajiban Anda, Tuan Putri. Apa pun yang saya rasakan, itu bukanlah hal yang bisa mengubah takdir Anda."
Citra menggelengkan kepalanya pelan, merasakan kesedihan yang mendalam. "Pawana, mengapa kita harus terikat oleh semua ini? Mengapa kita tidak bisa memiliki hidup kita sendiri?"
Pawana hanya bisa menatapnya dengan tatapan yang penuh rasa sakit. "Karena kita bukan orang biasa, Tuan Putri. Anda adalah simbol kekuatan Majapahit. Anda adalah harapan rakyat. Dan saya... saya hanyalah seorang ksatria yang bertugas melindungi Anda. Itu adalah takdir kita."
Kata-kata itu membuat Citra merasa semakin terjebak. Sebagai putri kerajaan, dia tahu bahwa tugas dan tanggung jawab selalu berada di atas segalanya.
Tetapi di dalam hatinya, dia merasa seperti kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting—cinta yang selama ini terpendam dan tak pernah bisa diungkapkan.
Beberapa hari setelah kabar pernikahan itu diumumkan, persiapan untuk pernikahan Citra dengan Pangeran Sunda mulai dilaksanakan.
Istana dipenuhi dengan kegiatan yang sibuk, dan semua orang tampak bersemangat dengan aliansi baru ini.
Namun, di dalam hati Pawana, hanya ada kesedihan yang mendalam.
Setiap kali dia melihat Citra, dia harus berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan perasaannya, untuk tetap menjadi ksatria setia yang menjaga kehormatan dan tugasnya.
Di sisi lain, Citra pun merasakan beban yang semakin berat.
Meskipun dia tahu bahwa ini adalah jalan yang harus dia tempuh sebagai seorang putri, perasaannya terhadap Pawana tidak bisa dia abaikan begitu saja.
Setiap kali dia melihat Pawana, hatinya bergetar.
Dia tahu bahwa pria yang selama ini selalu di sisinya adalah seseorang yang dia cintai, seseorang yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Namun, dia juga tahu bahwa mereka tidak bisa bersama.
Takdir telah menulis jalan yang berbeda untuk mereka berdua.
Malam sebelum hari pernikahannya, Citra berjalan sendiri di taman istana, tempat di mana dia dan Pawana sering berbagi momen-momen indah.
Di sana, di bawah sinar rembulan, dia melihat Pawana berdiri sendirian, seolah sedang menunggu sesuatu.
"Pawana," panggil Citra dengan suara lembut.
Pawana menoleh, dan melihat Citra mendekat, dia membungkukkan kepalanya dengan hormat. "Tuan Putri, apakah Anda baik-baik saja?"
Citra mengangguk pelan, lalu mendekat hingga berdiri hanya beberapa langkah dari Pawana. "Aku hanya ingin... mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena selalu ada untukku, karena selalu melindungiku."
Pawana menatapnya, dan untuk sesaat, ada keheningan di antara mereka. "Itu adalah tugas saya, Tuan Putri. Dan akan selalu menjadi kehormatan saya."
Citra tersenyum tipis, meski air mata tampak mengalir di pipinya. "Pawana... meskipun takdir memisahkan kita, aku ingin kau tahu bahwa aku selalu... mencintaimu."
Kata-kata itu menghantam Pawana dengan kekuatan yang luar biasa.
Dia tahu, selama ini mereka tidak pernah mengucapkan kata-kata itu secara langsung.
Cinta mereka adalah cinta yang tersembunyi di balik kehormatan dan tugas.
Dan kini, mendengarnya langsung dari Citra membuat hatinya terasa semakin hancur.
Dengan berat hati, Pawana mengulurkan tangannya, lalu dengan lembut menyentuh pipi Citra, menghapus air matanya.
"Dan saya, Tuan Putri, selalu mencintai Anda." tutur Pawana lembut. "Tapi... cinta kita bukanlah cinta yang bisa terwujud di dunia ini."
Citra memejamkan matanya, merasakan sentuhan lembut itu. "Aku tahu... Aku tahu..."
Malam itu, mereka berdiri di bawah sinar rembulan, membiarkan perasaan yang selama ini terpendam mengalir.
Mereka tahu, esok hari segalanya akan berubah.
Takdir telah memilih jalan yang berbeda untuk mereka.
Namun, di hati mereka, cinta itu akan selalu ada, meski tak pernah terucap lagi.
Dan saat fajar menyingsing, Pawana kembali ke tugasnya sebagai ksatria, menjaga dari kejauhan.
Hari pernikahan Putri Citra akhirnya tiba.
Suasana di istana Majapahit dipenuhi dengan kegembiraan dan kemegahan yang luar biasa.
Para tamu mulai berdatangan dari berbagai penjuru kerajaan, termasuk dari Kerajaan Sunda, tempat asal calon mempelai pria.
Bendera berwarna-warni berkibar di seluruh penjuru istana, lantunan musik gamelan menggema di udara, dan aroma bunga melati serta kenanga mengharumkan seluruh taman istana.
Perayaan yang mewah ini bukan hanya untuk menyambut pernikahan seorang putri, tetapi juga untuk merayakan aliansi besar antara dua kerajaan yang kuat.
Namun, di balik semua kegembiraan itu, Pawana merasa kesunyian yang mendalam.
Sejak fajar menyingsing, dia telah berada di istana, menjalankan tugasnya sebagai pengawal pribadi Putri Citra.
Dia telah terbiasa menahan perasaan selama bertahun-tahun, namun hari ini, beban di dadanya terasa lebih berat dari sebelumnya.
Pawana berdiri di luar kamar Putri Citra, memastikan tidak ada yang mengganggu persiapan sang putri.
Dari balik pintu, dia bisa mendengar suara-suara lembut para pelayan yang sedang membantu Citra bersiap-siap, mengatur gaun pengantinnya yang indah.
Pawana tidak bisa melihatnya, tetapi dia bisa membayangkan betapa anggunnya Citra saat ini, dibalut dalam pakaian pengantin yang dirajut dengan sutra terbaik, dihiasi dengan permata yang berkilauan.
Sementara itu, di dalam kamar, Citra duduk di depan cermin besar, memandangi bayangan dirinya yang anggun namun terlihat sendu.
Para pelayan tersenyum padanya, memuji kecantikannya, tetapi Citra hampir tidak bisa mendengarkan mereka.
Pikirannya melayang pada masa lalu—pada semua momen yang dia habiskan bersama Pawana, cinta yang tak pernah bisa dia ungkapkan.
Di tengah kegembiraan istana yang bersiap merayakan pernikahannya, Citra justru merasa terasing.
Hatinya dipenuhi oleh rasa sedih yang tidak bisa ia bagi kepada siapa pun.
Saat persiapan hampir selesai, salah satu pelayan memanggil Pawana masuk untuk memberi laporan terakhir tentang keamanan.
Ketika Pawana melangkah ke dalam ruangan, dia melihat Citra yang duduk di sana, anggun dalam gaun pengantinnya.
Untuk sesaat, waktu terasa berhenti.
Hatinya bergetar melihat kecantikan yang terpancar dari sosok wanita yang dia cintai.
Citra menoleh dan menatap Pawana melalui cermin, mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ada banyak hal yang tak terucapkan.
“Pawana,” Citra memulai dengan suara lembut, “apa semuanya sudah siap?”
Pawana menganggukkan kepala, berusaha menjaga ketenangan. “Ya, Tuan Putri. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Keamanan diperketat, dan tamu-tamu dari Sunda sudah tiba di istana.”
Citra mengangguk, mencoba tersenyum. Namun, senyuman itu terasa hampa, seperti bayangan dari kegembiraan yang tidak pernah dia rasakan.
“Terima kasih, Pawana." ucapnya. "Kau selalu melakukan segalanya dengan sempurna.”
Pawana ingin mengatakan sesuatu—sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata formalitas.
Tetapi lidahnya kelu.
Dia tahu bahwa apa pun yang dia katakan saat ini tidak akan mengubah kenyataan.
Putri Citra akan segera menikah, dan tidak ada ruang bagi cintanya di kehidupan wanita itu.
Pawana hanya bisa menundukkan kepala, menyembunyikan perasaannya yang mendalam.
Citra menatapnya dari cermin, dan meski tidak ada kata-kata yang terucap, dia tahu betapa berat beban yang ditanggung oleh Pawana.
Dia merasa bersalah, bukan karena keputusan pernikahannya, tetapi karena dia tahu bahwa Pawana akan selalu menyimpannya di dalam hati, meski mereka tidak bisa bersama.
“Pawana,” Citra memanggilnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Aku ingin berterima kasih kepadamu. Bukan hanya karena kau selalu menjagaku, tapi juga... karena kau selalu ada di sisiku. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan semua ini, tapi aku ingin kau tahu bahwa... hatiku selalu bersyukur karena kau.”
Pawana merasa tenggorokannya tercekat.
Dia tidak pernah mengharapkan ungkapan semacam itu dari Citra.
Dengan susah payah, dia berhasil menenangkan suaranya. “Itu adalah tugas saya, Tuan Putri. Kehormatan saya adalah melayani Anda.”
Tetapi Citra menggeleng pelan. “Ini bukan soal tugas atau kehormatan, Pawana. Kau lebih dari sekadar ksatria bagiku. Kau... adalah teman yang paling kupercayai, dan di balik semua yang terjadi, aku ingin kau tahu bahwa aku... akan selalu menghargai itu.”
Pawana hanya bisa mengangguk.
Hatinya terasa remuk, tetapi dia harus tetap kuat di hadapan Citra.
Dia harus menjalani perannya dengan sempurna, meski perasaannya sendiri seolah hancur berkeping-keping.
Upacara pernikahan berlangsung di aula besar istana.
Dekorasi mewah memenuhi seluruh ruangan, dari kain sutra berwarna emas hingga bunga-bunga segar yang menggantung di seluruh sudut.
Para bangsawan dari berbagai kerajaan hadir untuk menyaksikan momen bersejarah ini—pernikahan yang akan mengikat Majapahit dan Kerajaan Sunda dalam perjanjian aliansi yang kuat.
Pangeran Sunda, calon suami Citra, berdiri dengan gagah di depan altar, mengenakan pakaian tradisional Sunda yang dipenuhi ornamen emas.
Dia tampak tenang dan percaya diri, seorang pria yang siap mengambil peran besar dalam sejarah kedua kerajaan.
Di sampingnya, para pejabat dan tamu undangan berdiri dengan penuh hormat, menanti kedatangan sang mempelai wanita.
Ketika Citra melangkah masuk ke aula, semua mata tertuju padanya.
Dia tampak luar biasa dalam balutan gaun pengantin yang memancarkan keanggunan dan kekuatan.
Namun, di balik wajahnya yang tenang, hanya Pawana yang tahu bahwa hati Citra penuh dengan kesedihan.
Dari posisinya di belakang barisan para ksatria, Pawana bisa melihat Citra berjalan dengan langkah yang lembut, tetapi di setiap langkahnya, dia bisa merasakan beban yang tak terlihat.
Pawana berdiri di sisi ruangan, mengawasi dengan tatapan kosong.
Meskipun tugasnya adalah menjaga keamanan, matanya tertuju pada Citra.
Setiap detik berlalu seperti belati yang menusuk hatinya.
Dia menyaksikan dengan pilu bagaimana wanita yang dia cintai berjalan menuju pria lain, menuju kehidupan yang bukan miliknya.
Saat Citra mendekati altar, dia sekilas menoleh ke arah Pawana.
Hanya sedetik, tapi cukup bagi mereka berdua untuk saling memahami.
Tidak ada kata-kata yang terucap, namun dalam tatapan itu, mereka mengucapkan selamat tinggal yang tak bisa diungkapkan dengan bahasa.
Citra tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kesedihannya, tetapi Pawana tahu bahwa senyum itu bukanlah senyum kebahagiaan.
Itu adalah senyum seseorang yang menerima nasib, meski hatinya ingin memberontak.
Upacara dimulai, dipimpin oleh pendeta tertinggi Majapahit.
Suara lantunan doa dan ritual mengalir, memenuhi aula dengan kekhidmatan.
Citra berdiri di samping Pangeran Sunda, berusaha menunjukkan ketegaran, meskipun di dalam dirinya, ada perasaan yang tak bisa dia kendalikan.
Saat pendeta mulai mengucapkan ikrar pernikahan, Citra merasa seolah-olah seluruh dunia berputar tanpa kendali.
Di sudut ruangan, Pawana hanya bisa berdiri dan menyaksikan.
Jantungnya terasa berat, dan matanya mulai berkaca-kaca, meskipun dia berusaha keras menahan air mata.
Dalam hatinya, dia tahu bahwa inilah akhir dari segala harapan yang pernah dia miliki.
Cinta yang dia pendam selama bertahun-tahun kini benar-benar musnah.
Dia harus merelakan Citra, merelakan kebahagiaannya, dan hidup dengan bayangan bahwa cinta itu tidak pernah akan terwujud.
Saat ikrar pernikahan selesai, Pangeran Sunda dan Putri Citra resmi dinyatakan sebagai suami istri.
Tamu-tamu bersorak dan bertepuk tangan, merayakan momen bersejarah ini.
Namun, di tengah sorakan dan kebahagiaan, Pawana hanya merasakan kehampaan.
Dia tahu bahwa dia harus menerima kenyataan ini, meskipun hatinya belum siap untuk melepaskan.
Setelah upacara berakhir, Citra dan Pangeran berjalan keluar aula menuju taman istana, diiringi oleh sorak-sorai tamu dan bangsawan.
Pawana mengikuti dari belakang, menjaga jarak seperti biasa.
Namun, kali ini, setiap langkah yang dia ambil terasa seperti beban yang tak tertahankan.
Dia tahu, mulai hari ini, dunianya tidak akan pernah sama lagi.
Malam itu, setelah perayaan pernikahan berakhir, Pawana duduk sendirian di bawah pohon beringin besar di tepi taman istana.
Angin malam berhembus pelan, membawa serta wangi bunga melati.
Hatinya terasa kosong, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang untuk selamanya.
Citra kini telah menjadi istri orang lain, dan dia harus hidup dengan kenyataan itu.
Tetapi meskipun dunia mereka telah berubah, cinta Pawana kepada Citra akan selalu ada, tersembunyi di sudut hatinya, tak pernah mati.
Dan meskipun takdir memisahkan mereka, dia akan selalu menjadi ksatria yang setia, menjaga dari kejauhan, bahkan jika itu berarti mengorbankan perasaannya sendiri.
................
Setelah pernikahan megah itu, suasana di istana Majapahit seolah-olah terperangkap dalam kemewahan dan kebahagiaan yang diciptakan untuk Citra dan Pangeran Sunda.
Namun, bagi Pawana, semua itu terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.
Dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi tinggal di tempat yang menyimpan kenangan indah dan menyakitkan bersamaan dengan cinta yang tidak terbalas.
Keputusan untuk mengundurkan diri dari posisi pelindung putri bukanlah hal yang mudah.
Selama bertahun-tahun, Pawana telah mengabdikan hidupnya untuk melindungi Citra, menjaganya dari segala bahaya, dan selalu berada di sisinya.
Tetapi setelah melihatnya menikah dengan orang lain, dia menyadari bahwa perasaannya yang mendalam hanya akan menyakitinya lebih jauh.
Malam setelah pernikahan, Pawana menemui Raja dan mengungkapkan keinginannya untuk pergi.
Raja, yang tahu betapa dekatnya hubungan Pawana dengan putrinya, terkejut.
"Mengapa kau ingin pergi, Pawana? Apakah kau tidak ingin melihat putriku bahagia?" tanya Raja dengan nada penuh perhatian.
Pawana menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. "Yang Mulia, saya hanya ingin memberikan ruang bagi Tuan Putri untuk menjalani hidupnya."
Raja menghela napas dalam-dalam, memahami kedalaman perasaan Pawana. "Kau adalah ksatria terbaik yang pernah aku miliki, Pawana. Jika itu yang kau inginkan, aku tidak bisa memaksamu untuk tinggal. Tetapi, pintu istana akan selalu terbuka untukmu."
Dengan perasaan campur aduk, Pawana meninggalkan istana yang telah menjadi rumahnya selama bertahun-tahun.
Dia melangkah ke luar gerbang dengan langkah berat, membawa serta kenangan indah dan pahit tentang Citra.
Dia tidak tahu ke mana tujuannya, tetapi dia merasa bahwa dia harus menjauh dari tempat itu, jauh dari semua yang mengingatkannya akan cinta yang tidak terbalas.
Citra, di sisi lain, berusaha menjalani hidup barunya sebagai istri Pangeran Sunda.
Meskipun dia tahu bahwa pernikahannya adalah untuk kebaikan kerajaan, hatinya masih terikat pada Pawana.
Dia mencoba untuk bahagia, tersenyum saat menghadiri acara-acara kerajaan, namun bayangan Pawana selalu menghantuinya.
Dalam setiap tawa yang terdengar di istana, ada kepedihan yang mengikutinya.
Dalam setiap kebahagiaan yang dia rasakan, selalu ada kekosongan yang tak bisa dia isi.
Setiap malam, sebelum tidur, Citra sering merenung.
Dia teringat saat-saat di mana Pawana selalu ada di sampingnya, bagaimana mereka berbagi tawa dan momen kecil yang tidak pernah bisa dia lupakan.
Di dalam hati, dia tahu bahwa Pawana selalu memperhatikannya dari kejauhan, meskipun mereka terpisah oleh takdir.
Citra berusaha menjalin hubungan yang baik dengan suaminya, tetapi ada saat-saat ketika dia merasa terjebak dalam kewajiban.
Pangeran Sunda adalah sosok yang baik, tetapi dia tidak bisa menggantikan tempat Pawana di hati Citra.
Momen-momen kecil, seperti saat dia melihat langit malam dan mengenang pertemuan pertama mereka, selalu membuatnya merindukan Pawana lebih dalam.
Dia sering mendapati dirinya berdiri di balkon istana, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit.
Dalam keheningan malam, dia berdoa agar Pawana baik-baik saja, berharap dia menemukan kebahagiaan di mana pun dia berada.
Namun, di dalam lubuk hatinya, Citra tahu bahwa tidak ada yang bisa menggantikan cinta yang telah tumbuh dalam dirinya selama bertahun-tahun.
Waktu berlalu, dan Pawana hidup sebagai pengembara, menjelajahi berbagai tempat di luar Majapahit.
Dia melatih diri dengan giat, mengasah keterampilannya dalam bertarung dan menjaga diri.
Meski dia menghindar dari kehidupan istana, ingatan tentang Citra selalu membayangi langkahnya.
Dia berusaha untuk tidak memikirkannya, tetapi setiap kali malam tiba, ketika dia duduk di bawah langit berbintang, ingatan itu kembali menghantuinya.
Di setiap tempat yang dia kunjungi, Pawana merasa bahwa dia tidak pernah bisa menemukan kedamaian.
Dia menyaksikan orang-orang jatuh cinta, pasangan bahagia, tetapi hatinya selalu terasa kosong.
Dia terus-menerus berjuang melawan rasa sakit yang menggerogoti hatinya, berusaha untuk melanjutkan hidup, meskipun terjebak dalam masa lalu.
Bertahun-tahun berlalu, dan Pawana telah menjadi pria tua dengan rambut yang memutih dan wajah berkerut.
Namun, di dalam hatinya, dia masih terjebak dalam kenangan akan cinta pertamanya.
Meskipun dia telah menjelajahi banyak tempat, tidak ada yang mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan Citra.
Dia merasa seolah-olah hidupnya terputus dari kenyataan, terjebak dalam dunia yang tidak pernah bisa dia capai.
Ketika dia melihat ke langit malam, dia akan merenung, mengenang saat-saat ketika Citra tersenyum padanya, dan bagaimana cinta itu tidak pernah bisa terwujud.
Dalam pikirannya, dia sering bertanya-tanya tentang nasib Citra, apakah dia bahagia, apakah dia mengenangnya.
Namun, tidak ada jawaban yang bisa dia dapatkan.
Akhirnya, ketika Pawana merasa waktu hidupnya semakin menipis, dia memutuskan untuk kembali ke Majapahit.
Dia tahu bahwa dia tidak akan diterima lagi dengan hangat, tetapi hasratnya untuk melihat Citra sekali lagi—meskipun dia tahu bahwa itu akan menyakitkan—memaksa kakinya melangkah kembali ke tempat yang pernah menjadi rumahnya.
Dengan langkah yang lemah, Pawana memasuki kota Majapahit yang dulu sangat dia kenal.
Namun, semua telah berubah.
Istana yang megah berdiri dengan anggun, tetapi dia merasakan perbedaan di atmosfer.
Ketika dia berjalan melewati jalanan yang ramai, orang-orang menatapnya dengan curiga, tidak mengenali sosok tua yang pernah menjadi ksatria handal.
Dia berjalan menuju istana, di mana dia berharap untuk melihat Citra, setidaknya satu kali lagi.
Saat dia berdiri di luar gerbang, kenangan-kenangan lama membanjiri pikirannya.
Dia teringat momen-momen indah bersama Citra, dan saat-saat ketika dia berjanji untuk melindunginya.
Namun, saat ini, dia tidak bisa melindungi dirinya sendiri.
Dengan napas yang berat, Pawana melangkah ke dalam istana.
Suasana di dalam istana masih sama, tetapi sepertinya semua kebahagiaan yang pernah ada di sana telah memudar.
Dia melihat sekelompok orang berkumpul di ruang pertemuan, tertawa dan berbincang, tetapi suara tawa itu tidak menghangatkan hatinya.
Akhirnya, dia menemukan keberanian untuk mendekati penjaga istana. “Apakah Tuan Putri Citra masih tinggal di sini?” tanyanya dengan suara yang bergetar.
Penjaga itu menatapnya sejenak, seolah mencoba mengenali sosok tua di hadapnya. “Tuan Putri Citra sudah pergi, Tuan. Dia sekarang tinggal di istana Pangeran Sunda.”
Hati Pawana terasa hancur mendengar kata-kata itu.
Dia tahu bahwa Citra telah menikah, tetapi mendengar bahwa dia tidak lagi berada di istana membuatnya merasa seolah semua harapannya telah pupus.
“Di mana aku bisa menemukan mereka?” tanyanya lagi, suaranya penuh dengan keputusasaan.
Penjaga itu menjelaskan bahwa Pangeran Sunda dan Citra sedang tinggal di kediaman mereka sendiri, dan saat ini, mereka sedang mempersiapkan perayaan besar untuk memperingati aliansi antara dua kerajaan.
Dengan langkah lemah, Pawana berbalik dan meninggalkan istana.
Dia tahu bahwa tidak ada tempat untuknya di sana, tidak ada ruang untuk kenangan indah yang pernah ada.
Pawana pergi ke tepi sungai yang mengalir di dekat istana, tempat tenang dan menyejukkan.
Dia duduk di atas batu besar, menatap air yang mengalir, dan merasakan kerinduan yang mendalam.
Dalam pikirannya, dia melihat kembali ke masa-masa indah ketika dia bersama Citra, saat-saat yang tidak akan pernah bisa dia ulang.
Ketika malam tiba, Pawana terbaring di atas batu, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit.
Dia merasakan kehadiran Citra di sana, seolah-olah dia bisa mendengar suaranya memanggil namanya.
Dalam hati yang penuh kerinduan, Pawana mengucapkan selamat tinggal pada cinta yang tidak pernah terbalas.
Dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi berjuang melawan waktu.
Di sinilah dia, seorang ksatria tua yang telah kehilangan arah, merindukan cinta yang seharusnya menjadi miliknya.
Tanpa istri, tanpa anak, dan tanpa harapan untuk masa depan.
Ketika dia menutup matanya, dia merasa bahwa dia akhirnya bisa melepaskan semua rasa sakit yang membebaninya.
Dia tahu bahwa cinta sejatinya akan selalu ada di dalam hatinya, meskipun takdir telah memisahkan mereka.
Dengan satu tarikan napas terakhir, Pawana meninggalkan dunia ini dengan damai.
Dia mengingat Citra, senyumnya, dan semua kenangan indah yang akan selalu terukir dalam ingatannya.
Meskipun hidupnya penuh dengan kesedihan, dia berjanji untuk menjaga cinta mereka selamanya, bahkan jika hanya dalam kenangan.
Dalam senyap malam, di bawah langit berbintang, Pawana akhirnya menemukan ketenangan yang dia cari selama ini.