SIWA GRAHA
Isi prasasti
1. // Swasti ………………………
2. nyalaka …………………………
3. .. // saçri ……………………….
4. nang jetrakula ………………
5. nyāpita // ……………………..
6. Pangeran muda ………, yang memiliki keagungan kerajaan (?), Melindungi negara Jawa, adil dan dengan …., agung dalam pertempuran dan pesta (?), Penuh semangat dan sempurna, menang tetapi bebas dari gairah, Raja Agung dengan pengabdian yang luar biasa.
7. Dia adalah aiwa [Shaivis] berbeda dengan ratu, pasangan pahlawan; tepat setahun adalah waktu …..; ….. batu yang ditumpuk ratusan untuk perlindungannya, pembunuh secepat angin ….. Bālaputra.
8. Seorang raja, sempurna di dunia (ini), ……….., perlindungan bagi rekan-rekannya, memang pahlawan yang tahu tugas pangkatnya; ia mengadopsi nama yang tepat untuk keluarga Brahmana terhormat (kaya) seni dan kebajikan, dan mendirikan kĕratonnya di Mĕdang yang terletak di negara (?) Mamrati.
9. Setelah (perbuatan) ini, raja Jatiningrat (“Kelahiran Dunia”) mengundurkan diri; kerajaan dan keraton diserahkan kepada penggantinya; Dyah Lokapala, yang setara dengan adik dari Lokapalas (ilahi); bebas adalah subjeknya, dibagi menjadi empat āçrama [kasta] dengan para Brāhmana di depan.
10. Sebuah perintah kerajaan pergi ke Patih bahwa ia harus mempersiapkan upacara pemakaman rapi; tanpa ragu-ragu, Rakaki Mamrati memberikan (alasan) kepada Wantil; dia malu dengan masa lalu, terutama karena desa Iwung pernah menjadi medan perang (?), (dan) sangat berhati-hati untuk tidak disamai olehnya (?).
11. Semua tindakannya selama dia di sini diilhami oleh keagungan ilahi; tidak ada musuh lagi; cinta untuknya (subyek) adalah apa yang selalu dia perjuangkan. Ketika dia akhirnya bisa membuang kekuasaan dan kekayaan, dll., wajar saja jika tempat-tempat suci dibangun olehnya, Yang Mampu.
12. Selain itu, ia memiliki pengetahuan, yang sulit diperoleh, tentang Dharma dan Adharma, tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kebohongan ….. Orang-orang jahat berhenti bertindak melawannya, ….. )?); inilah alasan mengapa Halu, yang Anda lihat sekarang, didirikan.
13. …. dia, dengan pelayannya, semua orang sederhana, posisi pria rendahan (?); bagus sekali …. membuat mereka cantik; siapa yang tidak mau menyetujui (?) dalam membawa hadiah mereka (?); (semua orang) bekerja dengan riang.
14. ……, jantung (kompleks) dengan dinding dan batu bata sendiri untuk membangun bendungan (?), untuk itu diinginkan. Penjaga pintu yang galak ….., sehingga pencuri menjadi takut …… tertangkap saat mengambil.
15. Tempat tinggal tuhan yang indah….; di pintu gerbang, dua bangunan kecil didirikan, berbeda dalam konstruksi; ada juga pohon Taŋjung … bersama (?); indahnya sejumlah bangunan kecil untuk dijadikan pertapaan, yang pada gilirannya bisa menjadi contoh (?).
16. Dari pohon Ki Muhūr (?), batangnya baru berumur satu tahun; lingkungan Tuhan adalah alasan pertumbuhannya yang tak tertandingi di sisi Timur; keindahannya luar biasa, setara dengan pohon (ilahi) Pārijātaka; itu adalah tempat di mana dewa akan turun dan (cabang-cabangnya) akan menjadi payung (untuk dewa); bukankah itu tuhan untuk tuhan?.
17. (Bangunan yang lebih kecil) adalah sama, dengan ketinggian yang sama, (melayani) tujuan yang sama, (menyatakan) pemikiran yang sama, (tetapi) mereka masing-masing berbeda dalam jumlah; siapa yang ragu dalam beribadah? Keluar dari ibadah (orang) memberi. Dalam sekejap, kuil-kuil dengan pintu gerbang dan tak terhitung banyaknya, wanita tak tergoyahkan, diselesaikan oleh para surveyor yang bekerja oleh ratusan orang.
18. Apa yang sebanding dengan (bangunan) ilahi ini; itu ada untuk pendewaan (?); apakah ini penyebab mengapa penonton kewalahan dan sensasi (normal) tidak kembali (?)? Para jamaah datang berjajar dan berkelompok (?), ratusan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun; luar biasa nama mereka... tanda bahwa mereka (gambar yang disembah?) akan membawa penyegaran (?).
19. Kalau begitu, siapa yang bukan orang pertama yang pergi dan melihat? Dia sangat menawan ……
20. ...
21. ...
22. (transisi ke bahasa populer); Anda bangau, gagak, angsa, pedagang, ……; pergi dan mandi untuk mencari perlindungan (?) …. (?) haji (?) ……; dan kamu, kalang, warga desa dan gusti tampan, kamu diperintahkan (?) untuk beribadah dengan garam berbau (?) …… dengan orang tua.
23. (kelalaian untuk akşara); Pada hari (ditetapkan untuk) kerja wajib atas nama para dewa, orang-orang yang diperintah melakukan upacara; kerumunan orang datang dan surveyor pertama datang di tempat ketiga (?); biarawan, pria dan wanita muda berpangkat, ….. (?); ……..(?); ada banyak penjaga (?).
24. (kelalaian pada anusvāra); Pada waktu tahun Saka (dilambangkan dengan) delapan, gunung dan para bhikkhu, pada paruh bulan yang cerah Mārgaçîrca, hari lunar kesebelas, pada hari Kamis, Wagai (dari lima hari seminggu) dan Wukurung (dari enam hari minggu) ….. _ itu adalah tanggal di mana (patung) dewa selesai dan diresmikan.
25. Setelah tempat suci Siwa telah selesai dalam kemegahan ilahi, sungai (jalan) diubah sehingga beriak di sepanjang dasar; tidak ada bahaya dari orang-orang jahat, karena mereka semua telah menerima hak mereka; kemudian halaman tersebut diresmikan sebagai halaman kuil….. dengan para dewa.
26. Dua tampah seukuran sawah milik candi Siwa; itu adalah hak milik Paměgět Wantil dengan nayaka dan patihnya; patihnya disebut si Kling dan kalimanya disebut rasi Mrěsi; ada tiga gustis; si Jana, rasi Kandut dan rasi Sanab.
27. Winěka adalah si Banyaga; para wahuta adalah Waranîyā, Tati dan Wukul (?); laduh adalah si Gěněng; orang-orang berikut adalah perwakilan, berbicara atas nama orang lain, yaitu Kabuh dan sang Mars, yang kemudian mewakili para tetua desa tanpa fungsi yang pasti.
28. Setelah peresmian sawah, hak milik ada, tetap menjadi hak milik (?), …… (?), ini adalah hak milik yang akan menjadi milik dewa selamanya (?).
29. Mereka (pengawas) dikirim kembali dengan perintah untuk beribadah, setiap hari, tanpa melupakan tugasnya; mereka tidak boleh lalai dalam mematuhi perintah para dewa; kelahiran kembali terus menerus di neraka akan menjadi hasilnya (jika mereka lalai).
Setelah tempat suci Siwa telah selesai dalam kemegahan ilahi, sungai (jalan) diubah sehingga beriak di sepanjang dasar; tidak ada bahaya dari orang-orang jahat, karena mereka semua telah menerima hak mereka; kemudian halaman tersebut diresmikan sebagai halaman kuil….. dengan para dewa.
Begitulah, sungai tersebut di alihkan. Banyak yang menyebut karena menyentuh sisi candi. Namun dengan melihat posisi candi dimana sedikit menyerong, kemudian di antara muara sungai kecil dan di timur ada toponim desa Telaga, kiranya sungai kecil itu, yang bukan sungai Upaga, Opak, dahulu pernah di alihkan, sehingga bagian candi di kelilingi oleh aliran sungai. Hal ini mirip dengan parid di sekeliling candi Plaosan yang sengaja di buat supaya tanah tersebut tetap basah, dan kelembabannya sedikit terjaga, walau di utara candi tersebut mengalir sungai kecil. Sehingga di komplek candi Prambanan kiranya sungai itu di alirkan mengelilingi candi, lalu menyirami pohon Tanjung, Ki Muhur, supaya tetap tumbuh subur hingga akhirnya bermuara di selatan candi setelah airnya membasahi lingkungan candi. Namun seiring waktu, seiring di tinggalnya komplek percandian itu hingga membukit, dan berbagai letusan gunung ikut menimbun, maka tertimbun juga aliran sungai tersebut, hingga merubah alirannya seperti sekarang ini.
”Wwalung gunung sang wiku” seperti kata tersebut. Walau artinya berbeda dan hanya menunjuk angka tahun, tapi peran gunung sangat kentara. Melihat bentuk awal adalah gunung yang sangat angker, sehingga cuma di fungsikan sebagai tapal batas dua negeri, juga akibat ulah gunung merapi yang terus memuntahkan lahar sehingga abunya ikut menutupnya dan membuat subur onak duri serta tumbuhan perdu yang menaunginya. Itu juga akhirnya menjadi gunung bagi sang wiku, seperti nama prambanan, para brahmana, sama dengan wiku, dimana lokasi tersebut memang terdapat banyak wiku-wiku yang menjaga candi tersebut.
“batu yang ditumpuk ratusan untuk perlindungannya, pembunuh secepat angin ….. Bālaputra.” Sehingga kalau nama ini identik dengan Balaputradewa dalam prasasti Nalanda maka sangat hebat dengan wilayah kekuasaan yang juga berada di tanah Nalanda selebar lima desa itu. Namun ini di Jawa, dan bukan di Suwarnadwipa seperti apa yang tertulis.
Atau bisa jadi suwarna dwipa yang di maksud adalah pulau Jawa, bukan Suwarnabhumi pada masa Pamalayu oleh Raja Kertanegara. Walau nama tersebut sama, tapi kondisi penulis dan lokasi di temukannya berbeda. Pada daerah nalanda, jelas sangat jauh dari indonesia, sehingga ada kemungkinan sang penulis tidak paham secara pasti akan lokasi pulau-pulau tersebut. Hal ini berlaku juga pada Ho-ling dengan lokasi yang membingungkan. Serta menurut catatan mereka sendiri menulis jawa suwarna rupya ka dwipam, untuk Jawa yang berarti emas dan perak. Itulah kiranya ada kemungkinan karena sang citraleka tidak paham secara pasti akan keberadaan daerah di luar negerinya.
Kenyataan bahwa kakeknya raja Jawa, maka tidak mengherankan bila sebenarnya yang di maksud adalah tempat ini. Dimana pada sekitar Palembang tempat negeri Sriwijaya berada dulu, juga di seluruh Sumatera sebagai Pulau Emas, Suwarnabhumi, tak pernah di temukan namanya, yang justru banyak terdapat di pegunungan Siwa Plateu. Walau dalam variasi yang beraneka, layaknya raja Balitung dengan nama yang selalu berbeda pada prasasti temuannya.
Tapi kalau membaca tulisan ini “Dia adalah aiwa [Shaivis] berbeda dengan ratu, pasangan pahlawan; tepat setahun adalah waktu ….” yang banyak mengartikan bahwa Pikatan adalah suami Pramodawardani, mengingat Rakai Pikatan yang Hindu, pendiri komplek Prambanan, dan Pramodawardani, yang meresmikan Borobudur sebagai Kahulunan, juga Jinalaya di prasasti Karangtengah serta sebagai anak Samaratungga, maka akan sedikit aneh, kalau pertempuran itu terjadi antara kedua kakak adik tadi. Yang nampak adalah Pramodawardani yang Budha juga dengan nama sanjiwana, nenek dari balitung yang namanya ada di pintu masuk candi sebagai Sri Maharaja, serta prasasti Rukam tentang Rakryan Sanjiwana. Dan Walaing yang banyak membangun candi Hindu dengan prasasti yang meresmikan hal itu. Baik Pereng, Triyambaka Lingga dan percandian lain yang banyak meresmikan candi Hindu. Karena pada sisi timur dari gapura masuk terdapat gua dengan dua arca dewa yang mencirikan agama Siwa. Jadi itulah, jika yang dimaksud adalah Pramodawardani dengan Rakai Walaing, maka ada kesesuaian. Di mana yang satu beragama Budha dan yang lain menyembah Siwa. Dalam hal ini, Walaputra yang di maksud kiranya hanya gelaran, baik pada Pramodawardani, maupun untuk Pu Kumbayoni.
Menurut Prasasti Telahap Mpu Daksa adalah cucu dari Rakryan Watan Mpu Tamer, yang merupakan seorang istri raja yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Dengan demikian, Daksa dapat disebut sebagai cucu dari Rakai Pikatan. Prasasti Plaosan yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan juga menyebut adanya tokoh bernama Sang Kalungwarak Mpu Daksa.
Inilah rupanya yang merupakan istri dari Rakai Pikatan, yakni Rakryan Watan Pu Tamer. Sementara Pramodawardani tak sekalipun di sebut istri Rakai Pikatan. Semua itu hanya karena pada candi Plaosan lor ada nama Sri Kahulunan dan Asthupa Sri Maharaja Rakai Pikatan. Ada teori yang mengatakan kalau tokoh ini istri kedua dari Mendiang di Pastika, hanya memang belum ada bukti yang kuat sehingga semua itu menjadikan satu teori yang belum tentu kebenarannya. Dan di temukannya nama Layuwatang pada prasasti pendek Plaosan, serta prasasti di Gunung Wukir yang meresmikan pembangunan ulang candi yang di dirikan oleh Sanjaya, di lokasi yang sama. Karena candi tersebut nyatanya sangat mirip dengan Sambisari dan Kedulan. Meskipun candi tersebut juga beda pendiriannya sebab yang satu didirikan era Rakai garung dan lainnya di jaman Rakai Kayuwangi. Dengan melihat ini kiranya sama saja antara Rakai Pikatan dan Watan yang sama-sama keturunan Sanjaya, serta Daksa, yang sama- sama mengagungkan Sanjaya.
Serta ada yang membedakan antara Rakai Pikatan Pu Manuku, prasasti Tulang Air 1, dengan Rakai Pikatan Dyah Saladu, Prasasti Wanua Tengah III. Namun kiranya nama tersebut merujuk satu tokoh saja, mengingat nama Balitung juga banyak, tiap prasasti maka nama atau abiseka nya juga beda-beda. Bahkan ada yang mirip antara Bahuwikramabajradewa di Prasasti Tlu Ron dengan Bahubajra nama Daksa. Padahal selisihnya sebentar saja. Juga mengngat jika menurut gambaran para ahli bahwa pikatan di sini sama usia dengan Samaratungga. Ini berarti sudah berumur dan sedikit ada selisih usia jika di bandingkan dengan Pramodawardani. Namun pertempuran itu terjadi sebelum tahun 856 M, tepatnya saat pembangunan Siwagrha. Karena sudah berganti penguasa ke Dyah Lokapala. Dan Jatiningrat mengundurkan diri. Mengingat timbunan batu sangat kokoh, nampaknya kesulitan buat menerjangnya. Kecuali bila lewat sisi timur, dimana langsung terhubung dengan pegunungan kapur. Maka masuknya dengan melewati punggung bukit dan dapat masuk dengan leluasa. Namun bila mengingat candi Sanjiwana yang tergena guntur, mungkin di sini lokasi pertempurannya. Mengingat semua terjadi di desa Iwung, hutan bambu, dan lokasi candi itu juga di Limwung, serta sekarang menjadi Dawung, bisa saja pramodawardani tewas di Limwung itu, serta di monumenkan di Candi Sojiwan, nenek Balitung. Dan pemerintahan di lanjutkan oleh Walaing. Setidaknya sampai tahun 860 dimana prasasti pereng di tegakkan. Hal ini tentu saja terjadi setelah Jatiningrat mengundurkan diri di ganti Lokapala. Walaing ini juga kekuasaannya sangat luas. Selain di Jawa dan sekitarnya juga lima desa di Nalanda, sesuai dengan prasasti nalanda, walau hanya di berikan karena berkaitan dengan bangunan suci tersebut. Walaupun tidak seluas raja seelumnya yang antara lain kehilangan kekuasaan atas Khmer karena raja Jayawarman sudah memerdekakan diri dari Jawa dan mendirikan dinasti baru. Dengan demikian tanah di nalanda itu tentunya menjadi pengganti untuk kehilangan tersebut. Namun semakin hilang ketika perang besar terus terjadi antara dua penguasa tersebut. Dan tak adanya berita di negeri nalanda itu, juga adanya serangan Rajendra atas Kadaram semakin membuat wilayah Jawa hanya di sekitar situ saja.
sri maharaja sri bahu wikra ma bajradewa mapikat khitiran waitannin parhyangn haji i tlu ron. i huwus nira mapikat madyus sira i pancuan mulih sira in kadatwan....".
Terjemahannya; "....Sri Maharaja Sri Bahuwikramabajradewa menjerat burung perkutut di timur Parhyangan Haji di Tlu Ron. Setelah menjerat perkutut, beliau mandi di pancuran. Beliau pulang kembali ke kedaton (istana)…”
Kedaton nya mungkin tak seberapa jauh yang kiranya lokasinya dekat dengan daerah itu. Walau lokasinya tentunya dekat hutan, karena burung liar tadi biasa di pepohonan yang rimbun, serta ada pemberitaan kalau pada pancuran dan dawuhan atau bendungan. Lokasi yang berdekatan adalah di Kraton Boko. Walau tidak di pastikan di situ, mengingat pada tiap raja pergantiannya juga lumayan dekat, mungkin saja sebelum menjadi raja akan tinggal di rumah sendiri yang bisa jadi berada di luar keraton tadi sesuai dengan daerah lungguh. Dan yang pasti mendiami daerah tadi hanyalah Panangkaran dan Pu Kumbayoni. Namanya yang di temukan pada prasasti. Juga nama Panabwara yang mirip dengan Panaraban yang ada di batu candi gerbangnya. Kalau demikian, nama itu generasi penerus dari Panangkaran yang tertulis pada Carita Parahyangan dan Wanua Tengah III.
Adanya Panangkaran yang Budha dan Kumbayoni Siwa, maka pertarungan antar agama memang meragukan. Walau kalau di lihat antara Balaputra dan Pikatan saling berbeda berdasar candi dan prasastinya yang menunjukkan kepercayaan masing-masing. Namun kalau melihat kisah penculikan Dyah Bhumijaya dimana dia merupakan anak dari Rakryan Manak istri Rakai Kayuwangi yang di lakukan oleh Rakryan Landhayan, maka hal tersebut semakin menunjukkan kalau pertarungan tadi bukan persoalan agama. Karena Rakai Kayuwangi suami dari Rakryan Manak adalah penganut Siwa sesuai dengan namanya Lokapala yang merupakan nama dewa, dan Dyah Wawa yang mengaku keturunan Kryan Landheyan sang lumah ri alas, yang punya nama Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamotungga. Alas di sini juga menimbulkan banyak tafsiran. Bisa dari Alas yang artinya hutan atau Kalasa yang bermakna tikar. Kalau melihat catatan sebelumnya yang ada di prasasti yakni kalasa, maka dia yang juga merupakan kerabat raja di makamkan biasa saja, mengingat anaknya juga raja yang berhasil menduduki tahta medang. Namun kalau mati di hutan, serta ada keterkaitan dengan peristiwa penculikan istri raja, maka ada peristiwa tertentu yang membuat dia mesti meninggal di hutan. Bila melihat bahwa raja wawa memerintah hanya sebentar, hal ini mungkin berkaitan dengan ketidak puasan kerabat lainnya yang kurang menyukai karena leluhurnya pernah membuat tidak sedap akibat peristiwa besar tersebut.
Memang perpindahan tersebut terjadi, entah karena letusan gunung atau cuma saling perebutan kekuasaan. Mengingat pada kurun 929 M sering terjadi pergantian kekuasaan. Mulai Daksa, Tulodong, Wawa sampai Pu Sindok dan ada juga nama Wagiswara yang di samakan dengan Wawa. Bahkan Balitung ke Daksa juga ada yang menyebut terjadi tidak wajar. Namun jika mengingat dia adalah saudara raja yang perkasa, Tat-so-kan-hiung serta seringnya mengeluarkan prasasti bersama, juga lumayan lamanya Balitung memerintah, membuat kemungkinan terjadinya perebutan kekuasaan agak meragukan, juga Daksa merupakan adik dari istrinya, Pu Kbi.
Jika itu letusan gunung karena memang endapan lahar yang dapat terlihat juga banyak contohnya, antara lain, Candi Sambisari, Candi Kedulan bahkan Petirtaan Payak yang jauh lokasinya. Dan yang masih terlihat jelas adalah Candi Abang yang masih tertimbun sehingga membentuk gunung teletubies.
Daftar Pustaka:
• Marwati D. Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
• Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
• Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Melalui Prasasti. Jakarta: KPG
• Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
• Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
• Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
• Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
• https://id.wikipedia.org/wiki/Samaratungga
• https://id.wikipedia.org/wiki/Balaputradewa
• https://id.wikipedia.org/wiki/Pramodawardhani
• https://id.wikipedia.org/wiki/Rakai_Pikatan