Saat seorang pria berdiri di ambang pintu, aku menatapnya dengan penuh kebingungan. Penampilannya terlalu rapi, terlalu formal, seperti eksekutif yang tersesat di tengah area kumuh ini. Rambutnya licin, pakaiannya kaku, nyaris membuatku merasa lebih terintimidasi daripada nyaman. Tapi hal paling aneh adalah dia langsung menatapku dan tanpa basa-basi bertanya, "Kamu Kyesha, kan?"
Aku mengernyit, bingung. "...Ya," jawabku ragu. Sebenarnya siapa pria ini? Kenapa muncul begitu tiba-tiba di depan pintuku?
Dia tetap berdiri kaku di sana, wajahnya serius seperti sedang di ruang interogasi. "Di paha kirimu dekat it-itumu," lanjutnya, suaranya mulai terdengar aneh. "Kamu punya tanda lahir merah, mirip tikus?"
Wajahku langsung memanas. Apa-apaan ini? Siapa pria ini, dan dari mana dia tahu soal itu? Tanda lahirku, di tempat yang sangat... pribadi. Rasa malu campur amarah mulai naik ke permukaan. Aku menatapnya tajam, tapi lidahku kelu, tak tahu harus merespons bagaimana.
Melihat reaksiku, dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius, "Dua tahun yang lalu, di Hotel Grand Double Tree, kamu salah masuk kamar, kan?"
Kata-katanya seperti petir di siang bolong. Aku menatapnya, mata membelalak, rahangku hampir jatuh. Itu... Itu malam yang ingin kulupakan. Malam yang mengubah hidupku, malam yang berujung pada banyak hal, termasuk... anakku.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" tanyaku akhirnya, suaraku bergetar.
Pria itu menghela napas, bibirnya mengerut tipis. "Karena malam itu... aku yang ada di kamar itu."
Dunia di sekitarku seakan berhenti berputar. Aku menatapnya, perasaan campur aduk melanda hatiku. Jadi, pria yang ada di malam itu... yang kukira hanya bagian dari kesalahan besar, berdiri di depan pintuku sekarang, setelah dua tahun berlalu?
Kejadian malam itu kembali melintas dalam pikiranku seperti film buruk yang tak bisa kuhentikan. Setelah pesta ulang tahun seorang teman, aku mabuk berat. Aku salah masuk kamar di hotel dan berakhir di tempat tidur orang lain. Saat itu aku terlalu mabuk untuk berpikir jernih, bahkan terlalu mabuk untuk merasa takut. Semua terasa seperti mimpi aneh. Di tempat tidur ada seorang pria, tampan, yang kurasa hanya halusinasi akibat alkohol.
Aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Yang jelas, semuanya berjalan begitu cepat. Aku tak tahu kapan semua itu berubah dari keisengan mabuk menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam. Malam itu, aku merasa seperti sedang berada di alam mimpi mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan ketika keesokan paginya aku bangun telanjang di tempat tidur yang sama, di samping pria yang tak kukenal. Pria yang kini berdiri di depanku.
Setelah bangun pagi itu, aku tak punya waktu untuk memikirkan apa yang terjadi. Teleponku terus berdering, dan saat mengangkatnya, kabar buruk datang. Ayah angkatku meninggal dunia. Aku langsung panik, bergegas bangun, pakai baju seadanya, dan kabur dari hotel tanpa menoleh ke belakang. Tak sedikit pun aku berpikir untuk melihat wajah pria itu. Yang ada di pikiranku hanya rasa sakit dan kesedihan yang begitu mendalam.
Beberapa minggu kemudian, aku mengetahui bahwa aku hamil. Dan dari situ, hidupku berubah selamanya.
"Aku tahu kamu punya anak," kata pria itu, memecah kesunyian. "Dan anak itu milikku."
Jantungku berdegup kencang. Aku sudah menduganya, tapi mendengar langsung dari mulutnya membuat semua terasa lebih nyata.
"Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang?" tanyaku dengan nada sinis. "Setelah dua tahun kamu menghilang, sekarang kamu datang begitu saja? Mau apa?"
Dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa kubaca. "Aku Chandra," katanya dengan nada rendah. "Dan aku di sini untuk membawa kamu dan anak kita pergi dari tempat ini."
Aku menatapnya, bingung dan sedikit marah. Membawa kami? Apa-apaan ini? Pria ini muncul tiba-tiba, lalu dengan percaya diri mengatakan dia akan membawaku dan anakku pergi? Seakan-akan selama ini kami menunggu kedatangannya.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah yang perlahan naik ke permukaan. "Dengar," kataku, berusaha tetap tenang. "Selama dua tahun ini, aku membesarkan anak ini sendirian. Kamu nggak ada di sini, nggak tahu bagaimana sulitnya hidup kami. Jadi, apa yang membuatmu berpikir kalau aku mau ikut denganmu sekarang?"
Dia mengerutkan kening, ekspresinya berubah menjadi lebih keras. "Aku sudah mencari kamu," jawabnya dingin. "Tapi kamu menghilang, sulit ditemukan. Sekarang aku tahu kamu ada di sini, dan aku tidak akan membiarkan anakku tumbuh di tempat seperti ini."
Aku melirik sekeliling, mataku menyapu ruangan kecil yang selama ini kami sebut rumah. Ya, tempat ini mungkin jauh dari ideal. Dindingnya kusam, catnya mulai terkelupas, dan sofanya sudah tua. Tapi ini adalah hasil kerja kerasku, tempat di mana aku dan anakku bertahan hidup. Dan meskipun tidak sempurna, aku bangga dengan apa yang telah kulakukan sejauh ini.
“Kamu datang tiba-tiba dan bicara soal ‘membawa kami pergi’, seolah-olah kamu punya hak,” kataku, suaraku semakin tinggi. “Selama ini, aku yang membesarkan anak ini sendirian! Kamu nggak tahu apa-apa soal kami.”
Dia mendesah, tampak tidak sabar. "Aku tahu, Kyesha. Dan justru karena itulah aku di sini. Aku ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk anak kita. Tempat ini... ini nggak layak buat dia."
Aku menggigit bibir, tak tahu harus berkata apa. Tentu saja, aku ingin yang terbaik untuk anakku. Tapi aku tidak yakin bisa percaya pada pria yang selama ini tak pernah ada di hidup kami.
"Ke mana kita akan pindah?" tanyaku akhirnya.
Dia tersenyum tipis, seolah-olah baru saja memenangkan sesuatu. “Ke rumahku,” jawabnya. “Di pegunungan, jauh dari hiruk-pikuk kota. Tempat itu aman, nyaman, dan anak kita akan tumbuh dengan baik di sana.”
Pegunungan? Jauh dari kota? Sesuatu di dalam diriku berontak mendengar itu. Hidup di tempat yang terpencil, bersama pria yang hampir tak kukenal... Rasanya seperti lompatan yang terlalu besar. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang menarik dari gagasan itu. Anak kami akan tumbuh di tempat yang lebih baik, dan mungkin... mungkin hidupku akan menjadi lebih baik juga.
Aku terdiam, mencoba mencerna semuanya. Chandra masih berdiri di sana, menunggu jawabanku. Aku melihat matanya, mencoba mencari tanda-tanda bahwa dia sungguh-sungguh, bahwa dia benar-benar peduli pada anak kami. Tapi yang kutemukan hanyalah tatapan dingin dan tajam, seperti obsidian gelap yang tak bisa kutembus.
"Baiklah," jawabku akhirnya, suaraku lemah. "Aku akan ikut denganmu. Tapi ingat, ini bukan soal kamu. Aku melakukan ini untuk anak kita."
Dia mengangguk, seolah sudah tahu jawabanku dari awal. “Kamu nggak akan menyesal,” katanya, suaranya lebih lembut kali ini.
Aku hanya bisa berharap dia benar.