Aku terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Waktu seolah melambat ketika aku memandang ke arah Sinta, istriku yang setia. Matanya yang sembab dan wajah yang lelah tidak bisa menutupi kesedihan yang tersirat. Aku tahu, harapan mulai memudar di antara kami. Penyakit ini telah mengambil hampir segalanya, termasuk hari-hari terakhir kami bersama.
"Aku ingin kamu bahagia, Sinta," kataku dengan suara serak, mencoba tersenyum meski rasa sakit terus mendera tubuhku.
Air mata mulai jatuh di pipinya, tapi dia menahannya. "Jangan bicara begitu, Akmal. Kau masih bisa bertahan. Aku yakin kau bisa."
Aku ingin percaya. Tapi aku tahu kenyataan. Nafasku semakin pendek dan detak jantungku terasa lemah. Mungkin tak banyak waktu yang tersisa untukku. Meski begitu, ada satu hal yang ingin aku katakan padanya, satu harapan yang selalu aku simpan dalam hati.
“Sinta,” suaraku bergetar, tapi aku memaksakan diri, “Jika kehidupan selanjutnya benar-benar ada, aku ingin menjadi pasanganmu lagi. Aku ingin kita bersama lagi, di mana pun itu.”
Dia terdiam, memandangku dengan mata berkaca-kaca. Tangan kami bertaut, dan dia mengecup keningku lembut. “Aku juga, Akmal. Di kehidupan manapun, aku ingin bersamamu.”
Di tengah semua rasa sakit dan penderitaan ini, ada harapan kecil yang tumbuh dalam hati kami. Mungkin nanti, di kehidupan yang berbeda, kami akan kembali bertemu, dalam keadaan yang lebih baik, tanpa rasa sakit, tanpa perpisahan.
Aku tersenyum untuk terakhir kalinya. Sinar matahari yang masuk melalui jendela terasa hangat di wajahku, seperti sinar kehidupan baru yang memanggilku. Di detik terakhir, hanya ada satu hal yang tersisa di pikiranku—janji itu. Bahwa di kehidupan selanjutnya, kami akan bersama lagi.
Dan aku pergi dengan keyakinan itu.