Suara Adzan subuh berkumandang, menandakan bahwa waktu subuh telah datang. Dia, Ayahku terbangun dari tidurnya dan segera mengambil air wudhu untuk beribadah kepada sang Khalik. Wajah Ayah begitu teduh, dia duduk dan menengadah kan kedua tangan, bermunajat kepada sang Khalik. Aku tidak tahu apa yang dia minta pada sang Khalik, namun ada air mata yang menetes di sudut matanya.
Hatiku terenyuh, hampir tidak pernah aku melihat Ayah meneteskan air matanya. Tapi kali ini dia menangis di hadapan sang Khalik, aku tidak tahu apa yang terjadi tapi hatiku terasa begitu sesak.
Ayah duduk begitu lama di atas sajadah, dan setelah selesai melaksanakan shalat subuh Ayah segera bangkit dan bernganti pakaian untuk pergi bekerja. Jam masih menunjukan pukul setengah lima pagi, dan Ayah sudah harus berangkat untuk kerja.
Aku duduk di depan jendela dan hari masih agak gelap, cuaca juga agak dingin mampu menusuk pori-pori kulit. Suara mobil bak Ayah terdengar, dia akan pergi ke pasar. Jika sebagian orang masih asik terlelap ke alam mimpi, maka sebagian orang lainnya akan menggunakan waktu ini untuk mulai beraktivitas. Ada banyak kehidupan di mulai saat kita masih asik tertidur.
Aku menghela napas, sejujurnya aku merasa sungkan untuk meminta kepada Ayah. Bukannya Ayah pelit atau bagaimana, Ayahku itu sangat baik dia akan mengabulkan permintaan ku, meski tidak dalam sekejap. Dia akan berusaha dengan keras untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya.
Sebentar lagi adalah hari kelulusan, aku sedang bimbang antara melanjutkan study ke perguruan tinggi atau tidak. Kami berasal dari keluarga sederhana, dan biaya masuk ke perguruan tinggi sangat mahal. Apa mimpiku terlalu tinggi? Ibu pernah bilang, untuk apa anak perempuan bersekolah tinggi-tinggi jika mereka tetap akan berada di dapur. Kodrat seorang wanita adalah patuh pada suami, diam di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak perlu belajar tinggi, lihat tetangga sebelah! dia sekolah tinggi tapi tidak jadi apa-apa.
Lagi, aku menghela napas. Terkadang aku ingin terbang tinggi, namun terhalang dengan berbagai hal. Di mata Ibu, nilai 100 yang aku dapatkan bukanlah hal yang istimewa. Jujur saja aku ingin melanjutkan ke perguruan tinggi tapi terhalang biaya dan... Ah sudahlah.
"Apa yang harus aku lakukan? Ibu tidak akan setuju, tapi Ayah?" aku bangkit, dan masuk ke dalam kamar. Duduk di atas meja belajar yang usang, kubuka laptop lama milik temanku yang aku beli dengan uang saku sekolah. Aku perlu menabung selama 4 bulan untuk membeli laptop lama ini.
Kugulir setiap kalimat demi kalimat bertuliskan bahasa Inggris, aku sedang membaca artikel mengenal info beasiswa yang berada di luar negeri. Jujur saja aku takut dan ragu untuk mengambil langkah ini. Tapi apa salahnya mencoba.
Semua persiapan sudah aku persiapkan jauh-jauh hari, bahkan ketika aku baru menginjak bangku Sma aku sudah mulai belajar bahasa Inggris dan saat kelas dua belas aku sudah mendapatkan skor dari tes hasil ielts. Tapi bahasa Inggris yang baik saja tidak akan berguna jika kita tidak memiliki kemampuan. Ada banyak hal, yang perlu di persiapkan.
"Sera, apa yang kau lakukan?" suara ibunya terdengar dari depan pintu, wanita paruh baya itu membawa sapu di tangannya.
"Aku sedang membaca artikel, ibu."
Wanita itu berdecak. "Di pagi-pagi buta begini? Astaga, bantu Ibu membereskan rumah. Anak perempuan itu tidak boleh malas, malu sama ayam yang sudah bangun dari subuh."
"Perempuan tidak harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, bu. Perempuan juga bisa bekerja." Sera membenarkan letak kacamatanya, dia tidak sadar jika matahari sudah mulai menampakan diri.
Ibunya melotot. "Terserah kau saja, ibu sudah malas menasehati mu. Sebenarnya kau itu menurun dari siapa? Aku tidak sepertimu saat masih muda, keras kepala."
"Jika memang seperti itu, berarti aku yang menciptakan kebiasaan ku sendiri."
"Cepat sapu halaman! Ibu harus memasak sayur." Wanita itu meletakan sapu di dekat pintu lalu berjalan pergi.
****
Sudah satu bulan berlalu semenjak Sera bimbang dengan niatnya, wanita itu kini tengah duduk di sebuah gedung yang mengadakan acara pelepasan siswa kelas dua belas kedua matanya berkaca-kaca saat namanya dipanggil untuk maju ke depan. Sera Anastasia, meraih medali emas dalam Olimpiade Bahasa Inggris mewakili sekolah dan dia dipanggil atas prestasi yang dia dapatkan. Wanita itu melangkah maju, dadanya bergemuruh hebat. Dia bisa dan ini terasa seperti mimpi karena banyak sekali yang harus dia perjuangkan untuk bisa seperti saat ini. Siswi terbaik, dan dipanggil ke depan diacara kelulusan untuk prestasinya. Restu dari kedua orang tuanya sudah ia kantongi, meski awalnya sempat mendapatkan penolakan dari sang ibu. Wanita itu terus membujuk dan memberikan rayuan mautnya, kini UK tengah menantinya dia masih memiliki waktu selama satu tahun sebelum meninggalkan tempat kelahirannya. Beasiswa itu berhasil ia dapatkan meski sempat gagal berulang kali saat apply beasiswa di beberapa negara seperti Australia, Kanada dan Turki. Namun dia tidak pernah patah semangat dan Tuhan mengabulkan permintaannya untuk melanjutkan pendidikan di negara empat musim itu. Banyak hal yang harus dia lalui entah itu kepahitan, airmata, restu orang-tua dan biaya. Semuanya sudah berlalu dan ini masih awal dari perjuangan beratnya, bisakah dia? Sedangkan culture dan gaya hidup disana sangat jauh berbeda dengan negara kelahirannya.
Ini masih awal, langkahnya masih panjang. Dan Sera harus menyiapkan ini semua dengan baik.