Hujan deras mengguyur kota sore itu. Suara air yang menghantam jalan membuat semuanya terlihat lebih suram dari biasanya. Aku berdiri di bawah halte bus, menatap kosong ke arah jalan yang basah. Orang-orang sibuk berlari mencari tempat berteduh, sebagian besar terlihat terburu-buru dengan payung dan jaket mereka. Di antara keramaian itu, mataku tertuju pada seorang pria yang berjalan sendirian di tengah hujan. Tak ada payung, tak ada jaket, hanya langkahnya yang pelan tapi pasti.
Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu tentang pria itu yang menarik perhatianku. Rambutnya hitam basah, dan wajahnya agak tertutup oleh tetes-tetes air. Tapi, dia tidak terlihat peduli. Seolah-olah hujan bukanlah masalah baginya. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Dia benar-benar tampak berbeda dari semua orang di sekitarnya, seolah waktu berhenti hanya untuknya.
“Kenapa gue peduli banget sama orang ini, sih?” aku bertanya pada diri sendiri.
Mungkin karena dia tidak terlihat seperti orang kebanyakan. Atau mungkin karena dari caranya berjalan, aku merasa ada sesuatu yang familiar. Entahlah, aku nggak bisa menjelaskannya.
***
Hari itu dimulai biasa saja. Pagi-pagi, seperti biasa, aku bangun dengan malas, mencoba menarik tubuh dari kasur yang rasanya makin berat setiap harinya. Aku menatap jam di dinding, sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. “Lagi-lagi telat,” pikirku sambil buru-buru bangkit dan masuk ke kamar mandi. Rutinitas pagi ini rasanya nggak ada bedanya sama hari-hari sebelumnya. Membosankan.
Aku bekerja di sebuah kantor desain grafis kecil di pusat kota. Bukan pekerjaan yang buruk, sih, tapi nggak bisa dibilang menyenangkan juga. Setiap hari rasanya sama aja, seperti roda yang berputar tanpa ada arah baru. Kadang gue mikir, "Ini bener nggak, sih, jalan yang gue pilih? Atau gue harus nyari sesuatu yang lain?"
Ketika aku sampai di kantor pagi itu, aku papasan dengan seorang pria di lobi. Aku belum pernah lihat dia sebelumnya. Tingginya sekitar 180 cm, rambutnya hitam agak panjang, dan wajahnya... well, ada sesuatu yang nggak biasa. Matanya gelap, dan tatapannya tajam, kayak bisa ngelihat lebih dalam dari yang seharusnya.
Aku cuma bisa diam, memandangnya beberapa detik sebelum dia beranjak pergi. Setelah itu, sepanjang hari, gue nggak bisa berhenti mikirin dia. Ada sesuatu tentang pria itu yang bikin gue penasaran. Siapa dia? Kenapa rasanya seperti gue pernah ketemu dia sebelumnya, padahal jelas-jelas baru kali ini lihat mukanya?
Waktu terus berlalu, dan siang pun datang. Di kantor, pekerjaan menumpuk, tapi otakku entah kenapa nggak bisa fokus. Bayangan pria tadi terus-terusan muncul di kepala, sampai-sampai rasanya absurd. Gue nggak kenal dia, tapi perasaan ini kayak udah lama ada. Kayak ada sesuatu yang gue lupa, tapi penting. Aneh.
Hujan mulai turun waktu aku keluar kantor sore itu. Jalanan licin dan udara dingin makin menambah suasana hati yang udah nggak karuan. Gue nggak bawa payung, jadi nunggu di halte bus deket kantor. Tapi, mata gue terus bergerak, mencoba mencari-cari sesuatu. Dan tiba-tiba, di antara orang-orang yang berlalu lalang, gue ngelihat dia lagi — pria yang sama.
Dia lagi-lagi nggak pakai payung, tapi tetap jalan pelan di bawah hujan, kayak nggak peduli sama basah atau dingin. Gue nggak bisa nahan diri, kaki ini otomatis melangkah keluar dari halte, mengikutinya. Rasanya bodoh, tapi gue nggak bisa berhenti. Ada sesuatu yang harus gue tahu, sesuatu yang bikin gue merasa harus terus berjalan di belakang dia.
Pria itu terus berjalan, membawa gue makin jauh dari keramaian. Kami sampai di sebuah jalan kecil yang sepi, jauh dari orang-orang dan hiruk-pikuk kota. Dia berhenti di sana. Gue juga berhenti beberapa meter di belakangnya. Diam, hanya suara hujan yang terdengar.
Tanpa berbalik, dia bicara, “Kamu udah lama ngikutin aku.”
Gue kaget. Suaranya dalam, tenang, tapi ada sesuatu yang bikin merinding. Gue nggak tau harus jawab apa, jadi cuma diam di tempat, nggak bergerak.
Akhirnya, dia berbalik. Wajahnya basah oleh hujan, tapi tatapannya tajam menembus gue. “Kamu pasti bingung kenapa merasa kenal, kan?” tanyanya.
Gue menelan ludah. “Iya... Gue nggak ngerti,” jawabku pelan.
Dia mengangguk pelan. “Namaku Alaric,” katanya, seolah nama itu harusnya berarti sesuatu buat gue. Tapi, yang bikin kaget, bukan cuma namanya. Dia bilang, “Ini bukan pertama kali kita ketemu.”
Gue bengong. “Maksud lo apa?” tanyaku.
Dia menatap gue dalam-dalam, lalu menghela napas. “Kita pernah bertemu di tempat lain, di waktu lain. Tapi kamu nggak ingat, karena setiap kali kamu bangun, semua itu hilang dari ingatanmu.”
Gue mulai merasa merinding. Apa yang dia maksud? Mimpi? Kenapa gue ngerasa apa yang dia bilang masuk akal, padahal jelas-jelas absurd?
“Apa lo gila?” tanyaku, mencoba mencari kejelasan.
Dia tersenyum kecil, tapi bukan senyum hangat. Lebih kayak senyum yang tau sesuatu yang gue nggak tahu. “Kamu pernah bermimpi tentang tempat yang nggak pernah kamu lihat di dunia nyata, kan? Sesuatu yang terasa familiar tapi asing pada saat yang sama. Itu karena kita bertemu di sana, Reyna.”
Gue mundur satu langkah. “Gimana lo tahu nama gue?” tanyaku, sekarang mulai panik.
“Karena kita terhubung,” jawabnya. “Sejak lama. Ini bukan pertemuan kebetulan. Ini sesuatu yang sudah direncanakan jauh sebelum kita sadar.”
Gue merasa jantung gue berdebar makin cepat. Apa yang dia bicarakan? Semua ini mulai terasa terlalu aneh, terlalu nggak nyata. Tapi di saat yang sama, gue nggak bisa menyangkal apa yang dia bilang. Ada bagian dari diri gue yang merasa benar. Bahwa ada sesuatu di balik semua ini yang gue belum ngerti.
“Lo siapa sebenernya?” gue akhirnya berani bertanya.
Dia mendekat, hanya beberapa langkah dari gue sekarang. “Aku adalah bagian dari masa lalu yang kamu lupakan, dan masa depan yang akan kamu jalani,” jawabnya.
Gue ngerasa makin bingung. “Gue nggak ngerti,” jawab gue frustrasi.
“Dan kamu nggak perlu langsung ngerti,” katanya pelan. “Tapi kamu harus tahu satu hal: kita punya takdir yang terikat. Mau kamu percaya atau nggak, kita akan terus bertemu. Di dunia nyata, atau di tempat lain. Ini udah ditentukan.”
Gue diam. Semua ini terlalu banyak buat gue cerna. Tapi, saat gue berdiri di sana, di tengah hujan dengan pria asing yang bilang kalau kita terhubung oleh takdir, gue merasa sesuatu dalam diri gue berubah. Mungkin dia benar, atau mungkin gue cuma terbawa suasana aneh ini.
Tapi entah kenapa, di saat itu, gue merasa langkah gue udah nggak bisa mundur lagi.